Islam Milik Bersama, Tak Perlu Dipolitisasi
Nahas nasib Islam sebagai kata benda, ia acap dipolitisasi, bahkan diakui milik sekelompok orang. Belum lagi di era yang konon diberi nama keterbukaan informasi ini. Islam yang semestinya menjadi rahmat bagi semesta alam tapi di tangan kepongahan orang, Islam direduksi habis-habisan: menjadi mazhab, aliran, serta kartu nama yang bersifat administratif belaka.
Intoleransi kemudian dijadikan kambing hitam penyebab friksi sosial dewasa ini. Itu pun ditambah dengan keterangan tambahan kata Islam. Intoleransi ternyata beragama, beridentitas, yakni — setarikan napas dengan diskursus publik — Islam.
Cak Nun dalam buku bertajuk Islam itu Rahmatan Lil Alamin Bukan untuk Kamu Sendiri (Noura Books, 2020) mengulas bagaimana pandangan “tentang Islam” terdistorsi habis-habisan. Bukan karena kedudukan Islam itu sendiri, melainkan disebabkan oleh eksploitasi manusia tertentu terhadap makna keislaman.
Uniknya buku ini ditulis khusus oleh Tim Noura Books dari bejibun nilai Sinau Bareng. Mereka mengkristalkan nilai-nilai Maiyah ke dalam esai-tematis dengan sebisa mungkin mempertahankan otentisitas gaya penyampaian Cak Nun selama Sinau Bareng berlangsung. Petikan gagasan di sana menandakan betapa Cak Nun konsisten mewacanakan Islam sebagai nilai dan praktik yang keduanya didialogkan ke dalam kehidupan sehari-hari sejak tiga dekade silam.
Cak Nun dengan jelas mengetengahkan perdebatan klasik yang masih diproduksi terus-menerus hingga hari ini: pemahaman akan Islam yang tendensius, sehingga melahirkan istilah intoleran, radikalis, maupun fundamentalis tersebabkan oleh politisasi segelintir orang.
Islam sendiri sebagai makna dan praksis memang tak terlepas dari beragam interpretasi. Hal itu telah dimulai dan berangsur selama berabad-abad. Sejarah perkembangan “politik Islam” jamak mencatat kalau Islam sebagai warisan “dogma” dari Nabi Muhammad saw. terbuka luas untuk diberi makna sesuai konteks zaman masing-masing.
Letak permasalahan berikutnya adalah apakah pemberian makna tersebut menuai intrik horizontal yang berhilir pada pertumpahan darah? Di sinilah Islam, sebagaimana ajaran-ajaran lain, niscaya terikat oleh situasi decoding dan encoding (Stuart Hall, 1973).
Di antara kedua hal itu dipertautkan oleh latar belakang budaya dan pengalaman hidup. Maka tak mengherankan kalau di satu sisi Islam dipertahankan agar memberi rahmat bagi semesta alam, sedangkan di sisi lain sekadar dipolitisir untuk kepentingan kelompoknya. Cak Nun membubuhkan istilah, “Surga dan neraka dipek dewe.”
Identitas
Sebanyak 23 topik yang termaktub di dalam buku ini dapat Anda baca secara manasuka. Tak perlu berurutan dari topik pertama dan terakhir. Saya menganjurkan demikian karena sepanjang pembacaan saya, gagasan Cak Nun di sana, sengaja disandingkan dengan kunci khusus di daun pintu tulisan. Kita dengan leluasa dapat langsung memasuki oase pengetahuan yang tersedia di tiap pintu.
Namun, patut Anda perhatikan, manakala menyelami tiap gagasan, ada baiknya kita berbekal satu konsep. Konsep itu berupa Islam sebagai kata kerja. Bagaimana gerangan?
Cak Nun secara implisit menaruh pesan pada tiap gagasannya kalau pemberian makna Islam memerlukan kejelian serta kejernihan. Islam sering dikuantifikasi ke dalam deret statistik, sehingga wacana publik di Indonesia mengkategorikannya sebagai mayoritas.
Dus, ia pun dilabelkan untuk disandingkan terhadap minoritas. Penamaan mayoritas dan minoritas ini problematis secara konseptual bila mengacu pada pandangan Cak Nun mengenai Islam. Ia bukan kata benda, melainkan kata kerja.
Sebagai kata benda, Islam sekadar terberi dan tertandai berdasarkan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Sebaliknya, sebagai kata kerja, Islam diupayakan oleh individu dalam kerangka “saling menyelamatkan satu sama lain”. Islam, karenanya, terkualifikasikan secara dinamis berkat proses-perjuangan itu.
Islam pada aras ini tak hanya keterangan KTP tapi bukti riil di masyarakat apakah yang bersangkutan menerapkan nilai-nilainya atau justru sebaliknya. Cak Nun, dengan demikian, menitikberatkan konsep Islam pada tindakan, suatu aksi nyata sekaligus interpretasi mikro terhadap rahmat bagi semesta alam.
Kata kunci “Islam identitas” dan “Islam personalitas” demikian akan memudahkan Anda selaku pembaca yang bijak nan bestari untuk menangkap dan kemudian merefleksikan tiap gagasan Cak Nun di buku dengan desain populer ini.
Refleksi
Bagi saya pribadi, pokok pikiran Cak Nun di sini hemat saya diposisikan sebagai “pengingat” sekaligus “teman dialog”. Sebagai manusia saya sering lupa dan gagasan Cak Nun berpretensi mengingatkan. Beberapa tulisan justru, saya rasa, berkecenderungan untuk mengajak berpikir lebih mendalam dan meluas.
Hal-hal sederhana di sekitar kita diracik Cak Nun ke dalam sebuah gagasan ciamik yang dominan “bercerita” ketimbang sekadar mendeskripsikan. Kekhasan demikian yang membuat saya menggandrungi buku ini untuk dibaca manasuka sesuai kegelisahan-personal diri sendiri.
Saya ambil contoh satu bahasan berjudul Menyetel Ulang Pemahaman Dakwah (hlm. 145). Bahasan ini menjadi autokritik bagi praktik dakwah segelintir orang yang sering mengkomoditaskan kafir, syirik, musyrik, bid’ah, khurafat, menghalalkan darah, dan lain sebagainya sebagai menu utama. Pendakwah tersebut lalu menyodorkan ayat tertentu dan menganggapnya sebagai dogma. Kalau tak dituruti maka masuk neraka.
Cak Nun mengkritik model dan pendekatan dakwah semacam itu yang nirkomunikasi secara personal-kultural. Bahkan mereka tak menguji argumentasi yang dilontarkan, mendeteksi pen-dogma-an segala bidang sebagai upaya yang hitam-putih. Kedudukan dogma pun, oleh Cak Nun, digeneralisasi untuk tak melulu dalam arti teologis, tetapi sebuah kata yang universal.
“Kita perlu melihat hidup secara multi-inteligensi, multi-awareness, dan multi-analisis …Dogma itu penting diterapkan pada tempat yang tepat. Jumlah dogma dalam syariat Islam — terkait dengan dogma alam — itu banyak sekali” (hlm. 147).
Pada konteks ini Cak Nun memperlebar diskursus mengenai dogma secara luas. Hukum alam yang terberi tapi tercatat dan terjelaskan secara fisikawi pun tak ubahnya merupakan dogma. Kata dogma sendiri, menurut Cak Nun, terpolitisir besar-besaran di ranah teologi. Kalaupun di wilayah teologis, Cak Nun mengembalikan posisi dogma sesuai pandangan Rasulullah: ibadah mahdah yang bersifat dogmatis, tak dapat ditawar-menawar.
“Perintah ibadah mahdah itu hanyalah 3,5% dalam Islam. Sisanya, 96,5% adalah, boleh melakukan apa saja kecuali yang dilarang Allah. Dogma hanya berlaku pada yang 3,5%. Untuk yang 96,5% berlaku prinsip demokrasi” (hlm. 148).
Masalah dogma ini di ruang publik sering diperdebatkan. Saking dipermasalahkan, padahal sekadar perbedaan versi, sekelompok orang membuat garis batas, meliyankan orang lain dan melegitimasi dirinya sebagai “ahli waris” surga. Buku ini banyak membahas masalah aktual semacam itu dengan sudut pandang aku-lirik, sehingga sidang pembaca bukan hanya “tercerahkan”, melainkan juga merasa seperti diajak vakansi ke gugusan Islam sebagai rahmat semesta alam.