Ibrahim Pada Abad 20
Seorang teman Markesot bernama Mat Sudi menggerundel terus sepulang shalat Idul Adha di lapangan.
“Kamu kok ngedumel terus!” kata Markesot sebel, “Nanti jadi batal sembahyangmu!”
“Lho, ketika sembahyang, saya ndak ngedumel, kok.”
“Ya tapi kalau sekarang mbesot-mbesot begitu, keabsahan shalatmu bisa berkurang!”
“Biarin!”
“Biarin gimana? Gila kamu!”
“Saya nurut saja sama Tuhan. Kalau memang angka nilai sembahyang saya dikurangi oleh Tuhan, ya saya ikhlas saja. Seandainya dianggap batal, ya saya nurut saja. Bahkan kalau semua itu oleh Tuhan dianggap dosa dan membuat Tuhan memasukkan saya ke neraka, ya saya nurut saja, kok.”
Markseot geleng-geleng kepala, “Ah! Sok kamu!”
“Lho, sok gimana?”
“Kamu berlagak kayak Rabi’ah Al-Adawiyah. Minta supaya tubuhnya dibikin sebesar raksasa bengkak sehingga bisa memenuhi seluruh ruang yang tersedia di neraka.”
“Ini kan Hari Raya Qurban.”
“Lho, iya… bukan Hari Raya Ngomel!”
“Saya ngomel kan ada alasannya!”
“Ah, sok!” Markesot terus mengecam.
“Saya sudah mantap-mantap pergi sembahyang ‘Id. Hati bergetar mendengarkan gema takbir. Seluruh alam, bumi dan langit, ikut bertakbir. Tapi khutbahnya kayak gitu. Sebel!”
“Kenapa khutbahnya?”
“Pertama, kurang teatrikal, kurang puitis, kurang indah. Tidak menggetarkan jiwa, karena mungkin memang tidak berangkat dari jiwa yang bergetar…”
“Jangan sok menyimpulkan. Kalau terlalu salah, nilainya sama dengan fitnah, lho!”
“Terserah kamu,” jawab Mat Sudi, “Saya hanya melontarkan sejujur-jujurnya apa yang saya rasakan dan saya pikirkan.”
“Jujur saja tidak cukup. Harus juga benar!”
“Khutbahnya tidak ada hubungannya dengan masalah konkret kita semua!”
“Lho, kan khatibnya tadi berbicara soal Tinggal Landas?”
“Justru itu. Dia memberi gambaran yang menyesatkan tentang Tinggal Landas!”
“Maksudmu?”
“Seolah-olah kita semua ini sedang menyongsong hari Tinggal Landas di mana kita semua akan menjadi makmur sejahtera semua!”
“Ya betul tho?”
“Kamu jangan sok bloon, Sot!” Mat Sudi mengecam, “Namanya saja Tinggal Landas. Itu maksudnya, pemerintah sekarang sedang mempersiapkan infrastruktur supaya pada saatnya nanti kita siap betul berangkat menjadi suatu Masyarakat Industri.”
“Betul. Apa yang salah dari khutbah itu?”
“Pilihan industrialisasi itu sendiri kan relatif jaminannya. Industrialisasi bukan Ratu Adil atau Imam Mahdi atau Mesias. Kalau kita sudah jadi negara industri, tidak berarti bahwa segalanya akan beres. Tak berarti kita akan terbebas dari kemiskinan, kebodohan, atau kekejaman kekuasaan. Industri hanyalah sebuah cara di antara kemungkinan cara-cara lain yang dianggap bisa membantu menyejahterakan masyarakat. Tapi, pada taraf ide saja, industrialisasi tak bisa dijamin. Dalam masyarakat industri modern justru banyak kehancuran, terutama di bidang mental, iman, bahkan juga mulai tampak kehancuran kebudayaan dan peradaban!”
“Ya, lantas?”
“Khatibnya tadi bukannya memperingatkan kita soal efek samping yang negatif dari proses industrialisasi. Tapi malah ngiming-ngiming seolah-olah dengan Tinggal Landas itu berarti kita sudah akan menyongsong kesejahteraan dan kebahagiaan yang sempurna. Itu pun yang dimaksudkan hanya dimensi kebendaan. Bukankah itu mblasukno?”
“Ya, sabar dong!” kata Markesot, “Apa dalam khutbah ‘Id khatibnya harus berceramah ilmiah seperti dalam seminar-seminar di kampus?”
“Ya tidak. Tapi kan seharusnya diterangkan sesuai dengan bahasa dan tingkat pemahaman jamaah. Apa gunanya jadi kiai yang pandai kalau tidak bisa menyesuaikan bahasa komunikasinya dengan kondisi umat. Dan lagi, apakah kamu menuduh bahwa jamaah shalat ‘Id tadi orangnya bodoh-bodoh? Tidak bisa mengerti hal-hal yang ilmiah?”
“Bukan, bukan soal bodoh atau pintar. Tapi bahasa mereka lain dengan bahasa kaum cerdik cendekia.”
“Para malaikat pasti mencatat semua itu dengan terperinci, dan Allah adalah Hakim Maha Agung yang pasti menilai khutbah itu dengan penuh keadilan. Allah mencintai umat-Nya. Allah membela kepentingan umat-Nya. Allah membela kepentingan umat-Nya. Allah senantiasa mendengarkan suara hati nurani umat-Nya…”
Mat Sudi terus ngedumel sepanjang jalan pulang. Markesot makin jengkel, tapi dia sabar-sabarkan.
Salah bapaknya dulu, sih. Nama kok Muhammad Sudi. Jadinya dia terlalu sudi pada apa saja yang dihadapinya. Sebaiknya, nama anak itu jangan hanya Muhammad Sudi, tapi harus ditambah Achmad Peduli. Di kampung tertentu pasti dia dijuluki Dul Nyinyir atau Bambang Siud. Masih untung tidak dipanggil Djoko Mbegedut.
Sampai di rumah, Mat Sudi makin bersungut-sungut. Rupanya dia tidak memperoleh kiriman daging kerbau. Temannya yang dulu biasa ngasih, sekarang tugas di luar Jawa, jadi Mat Sudi ndak bisa ikut menikmati daging. Salahnya sendiri jadi orang miskin kok malu-malu. Seharusnya dia ikut antre di halaman masjid sambil bawa godhong jati sendiri.
Siangnya, ketika Mat Sudi tidur ngorok karena frustasi, tak sengaja Markesot menemukan kertas dengan tulisan seperti teks khutbah Idul Adha.
Astaghfirullah. Eh, alhamdulillah. Rupanya diam-diam Mat Sudi bikin persiapan khutbah, meskipun tak bakalan ada pengurus masjid yang memintanya berkhutbah. Memangnya ada takmir gila yang ngundang Mat Sudi nyerocos di podium? Orang dia bukan ulama, bukan dokter, bukan doktorandus, bukan B.A. atau B.Sc.!
Tapi ternyata menarik juga isi khutbah fiktifnya Mat Sudi. Judulnya “Ibrahim Ditangkap Polisi, Ismail Diamankan”. Dia membayangkan Nabi Ibrahim di kehidupan abad ke-20. Pada zaman Orde Baru ini, haji harus sadar hukum. “Jangan hanya mabrur, tapi, jadilah juga Jidarkum!” kata Amirul Haji Ismail Saleh.
Nabi pun harus merupakan seorang Bidarkum. Nabi Sadar Hukum. Maka, tatkala pihak yang berwajib mendengar bahwa Nabi Ibrahim akan menyembelih Ismail — meskipun itu anaknya sendiri dan meskipun itu perintah Allah — segera Polisi menciduk Ibrahim dan mengamankan Ismail.
Gila, dong. Masa bapak mau bunuh anaknya. Meskipun anaknya rela, itu tetap perbuatan melanggar hukum. Kalau ndak percaya, silahkan rencanakan seperti yang Ibrahim lakukan!
Bilanglah bahwa rencana Anda menyembelih anak Anda itu berdasarkan perintah Allah. Siapa yang bisa menjamin bahwa itu perintah Allah? Apakah para aparat bisa percaya? Apakah mereka boleh percaya? Apa ada kerangka pemahaman yang bisa membuat negara ini meyakini bahwa itu perintah Allah?
Maka, Ibrahim memang harus ditangkap. Ismail harus diselamatkan. Nanti dilelang di Rumah Yatim yang mau menampungnya.
“Keyakinan akan firman Allah membutuhkan proses conditioning iman. Memerlukan cuaca ketaatan kepada Allah di segala bidang. Sedemikian rupa sehingga kita dekat sekali dengan segala kehendak Tuhan. Itulah yang tak ada di negeri kita…,” kata Mat Sudi di akhir khutbahnya.
Markesot manggut-manggut. Kalau tidak takut disangka homo, gemblakan, atau mairilan, ingin Markesot menciumi temannya itu karena kagum.[]
Dari buku “Markesot Bertutur” yang diterbitkan Mizan tahun 1993.