CakNun.com

Hati Keluarga, Hati yang Ditetesi Kelembutan Muhammad Saw

Majelis Ilmu Padhangmbulan Jombang, Senin, 9 Maret 2020
Achmad Saifullah Syahid
Waktu baca ± 4 menit

Sebelum Pengajian Padhangmbulan dimulai, teman-teman dari Omah Padhangmbulan menayangkan lagu “Mimpi Paling Indah” yang merupakan original soundtrack film “Terima Kasih Emak Terima Kasih Abah” serta menayangkan pula trailer film baru bertema keluarga ini yang akan tayang di bioskop pada pertengahan April bulan depan.

Keluarga bukan sekadar rumah tempat berkumpulnya ayah, ibu, serta anak-anak. Lebih dari itu, setiap anggota keluarga memiliki peran dan fungsi yang substansial. Satu di antaranya adalah kesanggupan saling menguatkan dan memaafkan sesama anggota keluarga. Itulah pesan yang disampaikan Mbah Nun saat membuka Pengajian Padhangmbulan, Senin malam (9/3/2020) di Menturo Sumobito Jombang, sekaligus merespons tayangan original soundtrack film tersebut.

“Coba Anda sebut benda, satu saja, yang tidak memiliki ‘kerabat’ keluarga!” kata Mbah Nun kepada jamaah. Permintaan yang dirasa aneh, mengingat keluarga selalu identik dengan kehidupan sosial yang melibatkan fungsi ayah, ibu, anak. Mbah Nun pun menerangkan bahwa selembar daun berkeluarga dengan ranting, batang, dan akar. Pohon berkeluarga dengan tanah, air, udara, angin. Bumi merupakan salah satu anggota keluarga besar galaksi Bima Sakti.

Gamblang sudah. Keluarga memiliki makna dan pengertian yang luas. Bahkan antara Allah dan hamba-Nya terjalin hubungan “keluarga”. Demikian pula antara pemerintah dan rakyat, manusia dan alam semesta, juga terikat hubungan “suami istri”.

Ditegaskan Mbah Nun, Jamaah Maiyah adalah keluarga besar yang saling menyayangi, saling menguatkan, saling memaafkan, meskipun di antara mereka tidak kenal satu dengan yang lain. Kita menyebutnya sebagai al-mutahabbiina fillah, berkasih sayang karena dan di dalam naungan Cinta Allah.

“Hati kita adalah hati keluarga, karena hidup itu sejatinya terikat oleh jalinan kekeluargaan,” ungkap Mbah Nun.

Tetes Kelembutan Muhammad Saw

Malam itu Mbah Nun mengajarkan doa “Qathratu Luthfi Muhammad”. Apa itu? Adalah bait-bait doa agar Allah meneteskan kelembutan hati Muhammad Saw. Sesuatu yang lembut tidak bisa dilukai, tidak mempan dicederai, mustahil dipatahkan. Air tidak bisa dilukai. Udara tidak bisa ditebas oleh pedang yang sangat tajam sekalipun.

Selain itu, bukankah kalbu Muhammad Saw adalah kalbu yang ‘aziizun ‘alaihi maa ‘aniituum? Kalbu yang welas-asih — hati yang tidak tegaan terhadap nasib penderitaan umatnya. Kalbu yang selalu menangisi (masih ingat beda antara menangis dan menangisi?).

Di tengah atmosfer zaman yang setiap unsur kesadarannya semakin mengeras, kita butuh tetesan kelembutan hati Muhammad Saw. Bait-bait doa itu adalah:

Robbana atina qothrota luthfi Muhammadin fi qalbi
(Ya Allah, berilah kami tetes kelembutan Muhammad di hatiku)

Robbana atina qothrota luthfi Muhammadin fi jasadi
(Ya Allah, berilah kami tetes kelembutan Muhammad di badanku)

Robbana atina qothrota luthfi Muhammadin fi ruhi
(Ya Allah, berilah kami tetes kelembutan Muhammad di ruhku)

Robbana atina qothrota lutfhi Muhammadin fi hayati
(Ya Allah, berilah kami tetes kelembutan Muhammad di hidupku)

Jamaah Padhangmbulan membaca doa tersebut, dipandu oleh Mbak Yuli dan Mbak Nia. Spontan saja lagunya dirancang dan disepakati bersama. Teman-teman yang tergabung dalam grup musik Lemut Samudro turut menyumbangkan kekhusyukan.

Usai teman-teman menyampaikan presentasi hasil diskusi yang mengangkat tema Kutub Syukur Kutub Kufur, Mbah Nun mengajak jamaah melantunkan doa tersebut. Demikianlah, doa tersebut terus-menerus mengisi pori-pori waktu, mengaliri kesadaran jamaah selama Pengajian Padhangmbulan berlangsung.

“Alangkah bahagia Rasulullah yang hadir di sini menyaksikan Anda saat ini,” tutur Mbah Nun. Saya terperanjat. Rasulullah Muhammad hadir bersama kita. Badan saya merinding. Air mata pun mengambang.

Kutub Syukur Kutub Kufur

Tidak seperti biasanya, Kyai Muzammil membaca kitab tafsir Al-Jawaahir fi Tafsir Al-Qur’an, ditulis oleh Syekh Tantawi Jauhari. Dimulai dari tafsir yang menjelaskan kandungan ayat Basmalah. Pemaknaan Al-Rahman dan Al-Rahim diuraikan cukup detail. Al-Rahman adalah sifat Allah yang menganugerahkan segala nikmat yang “besar-besar”. Al-Rahim adalah sifat Allah yang memberi kita segala nikmat yang “kecil” dan “detail”.

Allah memberi kita udara adalah bukti dari sifat Al-Rahman. Kemampuan kita bernapas adalah bukti dari sifat Al-Rahim. Termasuk sifat Al-Rahim adalah Allah menempatkan panca indera di posisinya masing-masing. Demikian pula bentuk dan model jari-jari tangan kita adalah perwujudan dari “gagasan penciptaan” yang lahir dari sifat Rahimiyyah Allah.

Untuk melakukan pendalaman terhadap kesadaran syukur, Mbah Nun meminta jamaah membuat tiga kelompok. Setiap kelompok mendiskusikan bahan belajar yang berbeda.

Kelompok pertama menerima bahan belajar berupa cerita seorang sufi yang buta matanya, buntung tangannya, gubuk reyot tempat tinggalnya. Namun, dalam hidup keseharian, sufi tersebut tak henti-hentinya bersyukur. Ia selalu mewiridkan: “Alhamdulillaah alladzii fadl-dlolanii ‘alaa katsiirin mimman kholaqo tafdliilaa.” Segala puji bagi Allah Swt yang telah mengistimewakan aku di atas semua makhluk dengan sebuah keistimewaan.

Pertanyaannya, apa yang membuat sufi tersebut tak henti-hentinya bersyukur? Mengapa ia tidak kehilangan rasa syukur di tengah kehidupan yang menurut kita adalah penderitaan?

Kelompok kedua menerima bahan diskusi tentang dua orang yang hidupnya susah dan gembira. Anehnya, yang selalu sambatan justru orang hidupnya selalu gembira. Saking inginnya merasakan susah disarankan agar ia shalat di belakang raja. Begitu raja bangun dari sujud, pukullah kepalanya.

Ia pun mengerjakan saran tersebut. Ketika raja bangun dari sujud, dipukullah kepala raja menggunakan kayu. Alih-alih marah dan menghukum orang yang memukulnya, raja malah berterima kasih dan memberinya hadiah. Pasalnya, di atas kepala raja ada seekor kalajengking. Matilah hewan berbisa itu terkena pukulan orang yang hidupnya selalu bahagia.

Pertanyaannya, bagaimana tanggapan jamaah terhadap kisah tersebut? Adakah cara yang bisa dilakukan agar orang yang selalu gembira itu sesekali bisa merasakan kesusahan?

Adapun kelompok ketiga mendapat pertanyaan sederhana namun jawabannya cukup kompleks. Pertanyaannya, apa yang Anda syukuri dan kufuri dari Maiyah? Hanya itu. Dan ternyata jawabannya tidak sekadar “hanya itu”. Jamaah pun dibangkitkan kepekaan dan kesanggupan berpikirnya. Dibukakan berbagai kemungkinan jawaban. Dibentangkan hamparan-hamparan cakrawala.

Malam terus bergerak mengalirkan cahaya. Jamaah tetap stay tune menyimak aliran gelombang ilmu. Selain doa “Tetes Kelembutan Muhammad” ada beberapa wirid dan doa lainnya sungguh tak boleh dilewatkan begitu saja.

Lainnya

Topik