Fasisme Sehari-Hari
Entah di gardu kamling, di warung soto jaran, di tempat parkiran, di mushalla, di Lesehan Malioboro, atau di mana saja, Anda pasti sering berdiskusi, omong-omong. Rasan-rasan. Baik tentang analisis nomer kode TSSB, tentang razia motor, banjir, duel Persebaya-Persipura, para menteri yang turun dan yang tetap, atau apa saja.
Pasti juga sesekali Anda pernah ketanggor seseorang yang bukannya saling melayani dengan Anda dalam diskusi, melainkan yang mengatur Anda, memotong pendapat Anda, menggiring Anda untuk sama pendapat dengan dia, yang mengkafirkan atau mem-PKI-kan Anda, atau mungkin yang lantas memburuk-burukkan seluruh diri Anda hanya karena Anda tidak sependapat dengannya bahwa Oseng-Oseng Asu itu jenis makanan yang setaraf dengan pizza atau beef hamburger.
Memang susah berhadapan dengan seorang emperor. Lebih susah lagi kalau Anda terjebak dalam suatu lingkungan di mana kehidupan Anda, masa depan Anda, asap dapur Anda, kata-kata yang Anda ucapkan, serta segala sepak terjang Anda, ditentukan dan dikendalikan oleh semacam kerajaan tak kasat mata, atau semacam imperium transparan yang belitan kekuasaannya molor sampai ke pangkal sumbu kompor di dapur Anda.
Kalau menyebut ayat Allah tertentu, Anda dibilang “terlalu menonjolkan golongan”. Kalau Anda omong tentang kemiskinan, Anda dituding komunis. Kalau Anda kasih tema esoterik, Anda dianggap eskapistik. Kalau Anda berdiri, dibilang kok tidak duduk. Kalau duduk, dibibilang kok tidak jongkok. Kalau jongkok, dibilang kok tidak tengkurap. Kalau tengkurap, dibilang kok tidak ndlosor (menjulurkan kaki).
Tak hanya dalam mekanisme politik, kita berjumpa dengan kemungkinan keadaan semacam itu. Juga dalam pergaulan sehari-hari kita sering dihadang oleh fasisme kecil-kecilan seperti itu. Ciri seorang emperor seperti itu bukan hanya pada tonjolan kekuasaannya atas orang lain, tapi juga pada kesempitan dan kapasitas ‘lokal’-nya.
Kita dipaksa makan tulang, umpamanya, itu tidak cukup. Sesudah makan, kita masih diwajibkan untuk berpendapat bahwa tulang itu enak, gurih dan empuk.
(Dokumentasi Progress. Tulisan tergabung dalam buku Secangkir Kopi Jon Pakir, Mizan, 1992, hal. 193-194).