Eko Itu Nas
HARI masih terlalu pagi.
Dari sebuah gang kecil di sudut timur Tebet, seorang lelaki dengan perawakan sedang, berambut gondrong, kulitnya agak gelap mengkilat, berhenti di depan pagar teras rumah orang. Sangat yakin dengan rumah yang dituju. Dipukulnya pintu pagar beberapa kali. Salah seorang penghuni rumah keluar, dan pintu pagar pun dibuka.
Sejurus kemudian sudah tergeletak. Rebahan di hamparan karpet lebar berwarna krem. Segelas kopi hitam telah tersuguh. Beringsut duduk bersender tembok. Tangannya mengambil sesuatu dari saku celana jean yang sudah tidak baru lagi. Masih ada beberapa batang rokok sisa semalam dalam perjalanan dari Semarang.
Kopi disruput, rokok dihisapnya dalam-dalam.
“Ziiir, tangi tho!” panggilnya dengan medok Tegalan.
Hari Minggu, hari malas-malasan. Seminggu nyambut gawe, untuk leyeh-leyeh bersantai, rileks sejenak, datanglah ke rumah Tebet. Jujur itu niatku. Bonusnya, kalau ada undangan acara pengajian jelang buka puasa bisa ikut nimbrung. Buka bersama di Jakarta, di kalangan ibu-ibu sosialita, suguhannya selalu menarik.
“Ya, Mas Eko,” saya gabung duduk di sandingnya.
“Mas Em?”
Pandangan mataku menyapu bergeser ke arah kanan, berhenti di sebuah pintu kamar. Cukuplah menggunakan bahasa isyarat. Siapa pun mafhum.
Di depanku salah seorang sahabat kentalnya Cak Nun, seniman serba bisa dari Semarang. Eko Tunas, satu dari empat orang yang kerap dituturkan dalam tulisan-tulisan Cak Nun, “Empat E”: Emha, Ebiet, Eko dan Eha. Tentu itu di periode-periode susah. Tahun-tahun 70-80-an. Secara umur, mereka bertiga sepantaran, dibanding ketiga kawannya, Eko yang paling muda.
Jika mau mengulik sejarah pergulatan Cak Nun, dari tiga orang kawan Cak Nun adalah Eko Tunas lah kini satu-satunya. Eha Karta telah pergi, kembali ke haribaan Allah. Sementara Ebiet G Ade, lumayan repot untuk dikorek. Siapa lagi kalau bukan Eko. Di samping itu, Eko masih kerap menghadiri acara-acara Cak Nun di Yogya maupun Semarang.
Eko berasal dari Tegal merantau ke Yogya, kuliah Seni Rupa. Pergaulannya dengan lintas seniman, terutama dengan Cak Nun, menjadikan Eko rajin menulis puisi, cerpen, dan novel. Eko juga aktif dalam pementasan-pementasan teater.
***
Pagi itu di Yogya, kedatangan tamu tak diundang. Rambut awut-awutan, raut wajahnya galak, matanya berwarna merah menyala. Sebagaimana SOP untuk menerima tamu, saya persilakan untuk duduk di teras.
“Mas Em, mana?” tanyanya.
“Belum pulang, Mas.”
“Kemana?”
“Acara, Jakarta.”
Saya pamit ke belakang untuk mengambil air minum. Lebih tepatnya konfirmasi kepada adik-adik Cak Nun, siapa tamu yang duduk di depan. Saya tidak kenal siapa tamu yang dekil ini. Perasaan tidak karu-karuan, ada rasa takut. Aroma bau mulutnya yang menjadikan rasa takutnya meningkat.
Salah satu adik Cak Nun terbahak melihat performa wajah saya. Terus terang saya rada jirih di depan orang yang dipengaruhi minuman. Mungkin lebih tepatnya, efek dari sisa-sisa minuman semalam.
“Itu Mas Eko. Sudah biasa.”
Kembali saya ke depan dengan dua gelas kopi panas. Saya tanya rokoknya apa, sekalian saya mau beli rokok.
Saya tidak bisa menemani berlama-lama. Masih ada beberapa kawan lain yang bisa sebagai kawan ngobrol. Saya ada urusan di kampus. Saya belum lulus, coy!
Sebelum saya berangkat pesan kepada salah satu penghuni rumah untuk mengambilkan sarapan nasi gudeg di warung depan. Bilang saja agar dicatat. Tiap pekan saya hitung-hitungan dengan pemilik warung, berapa utang yang harus dibayar. Kadang bikin kaget, ternyata banyak juga utangnya. Entah siapa saja yang pesan. Tamu-tamu yang silih berganti datang ke rumah Patangpuluhan, tanpa sungkan pesan makanan dan minuman. Mereka berani pesan ini itu ketika saya tak di rumah.
Sekembalinya saya diberitahu bahwa tamu telah pulang. Lebih terkejut waktu dikabarkan bahwa jaket kulit milik Cak Nun dibawa serta. Diamput. Pasti saya kena semprot. Jaket kulit warna coklat oleh-oleh dari salah seorang kawan Cak Nun, dosen UGM, Afan Gaffar, yang baru pulang study di Amerika Serikat. Jaket ini sering saya pinjam pakai. Selain saya, tidak banyak yang berani meminjam pakaian milik Cak Nun.
Hari telah berganti, Cak Nun pun sudah pulang. Saya laporkan semua hal yang terjadi selama Cak Nun pergi. Saya tuturkan secara runut kedatangan tamu dari Semarang, mulutnya bau aroma alkohol dan membawa pulang jaket kulit milik Cak Nun.
Benar saja. Raut muka Cak Nun memerah. Dugaan saya benar. Cak Nun marah. Dengan suara lirih tapi tegas, Cak Nun bilang:
“Cobalah belajar empati!”
Lho, kok empati?
“Iya, Cak...”
“Eko itu kawan saya...”
“Nggih, Cak.”
“Kasih ongkos tidak?”
Saya terdiam. Jadi ini pangkal kemarahan. Bukan soal jaket, tapi kurang rasa empati saya terhadap sahabat Cak Nun.
“Hah, tidak dikasih sangu?”
***
Kedatangannya kali ini ke Jakarta untuk menggali sosok seorang tokoh militer di DKI Jakarta, kemudian dijadikan sebuah buku biografi. Proyek penulisan buku ini digarap bertiga, bersama Uki Bayu Sedjati dan Nadjib Kertapati.
“Ko!” panggil Cak Nun.
“Ya, Mas?”
“Mandi, siap-siap yuk!”
Sore itu, beberapa orang mendampingi Cak Nun, pergi ke sebuah komplek perumahan elit di Jakarta Selatan untuk acara pengajian menjelang buka puasa.