Di Maiyahan Kita Mencari yang Sejati


Mendadak kita gusar, resah, bingung, khawatir, karena salah satu dampak masa tanggap darurat pandemi Covid-19 ini adalah kita tidak bisa Maiyahan seperti biasanya. Untuk sementara waktu kita tidak bisa berkumpul, duduk melingkar, ngopi dan rokokan bareng, tertawa, bergembira, khusyuk sholawatan dan wiridan, dan sepertinya agak lama karena wabah Covid-19 ini tidak bisa diprediksi kapan akan berakhir.
Sekali lagi, sepintar apa pun kita saat ini, ternyata kita adalah makhluk Allah yang sangat lemah untuk sekadar berhadapan dengan Covid-19. Makhluk Allah yang tak kasat mata itu membuat kita kocar-kacir, bahkan sampai pada tingkat paranoid luar biasa. Bukan hanya tidak berani keluar rumah tetapi juga membatasi orang yang datang ke rumah.
Bersyukur kita mengenal Maiyah, dan kita dipersaudarakan di Maiyah. Banyak yang menyebut bahwa Maiyah adalah Universitas Kehidupan, Sekolah Kehidupan, atau apapun sebutannya. Di Maiyah kita belajar banyak hal, dan Mbah Nun bersama para Marja’ Maiyah telah membekali kita banyak ilmu.
Setelah Kenduri Cinta (KC) edisi Maret 2020 lalu, Mbah Nun secara rutin menulis untuk kita sebagai bekal bagaimana menyikapi pandemi virus Corona. Tentu saja tulisan tersebut menurut cara pandangan Mbah Nun, yang sebenarnya juga sudah dijabarkan jauh-jauh hari di Maiyahan. Dan sudah pasti pandangan tersebut cukup berbeda dengan cara pandang menurut tinjauan medis.
Ketika ada salah satu tulisan Mbah Nun yang membahas “uzlah” terlintas di pikiran saya mungkin ini saatnya kita mengambil jeda.
Di Maiyah kita sudah memahami bahwa salah satu ilmu puasa yang diajarkan oleh Mbah Nun adalah kesadaran tentang batas. Ilmu yang paling mendasar dari puasa adalah bagaimana kita memahami batas. Tidak melakukan sesuatu di luar batas kenormalan dan kewajaran.
Puasa mendidik kita agar melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak kita lakukan, bahkan mengerjakan sesuatu yang tidak kita sukai.
Saya jadi ingat KC edisi Januari 2015, “Manufakturing Kawulo Gusti”, yang saat itu diskusinya berlangsung cukup kental, membahas kapitalisme global, membengkaknya utang negara dan hancurnya pengelolaan negara.
Saat itu Mbah Nun menitipkan pesan yang menurut saya sangat penting. Pesan itu kurang lebih seperti ini: “Nanti Anda pulang dari Kenduri Cinta, Anda pulang dari Maiyahan, maka KC dan Maiyahan adalah masa lalu. KC dan Maiyahan akan menjadi ingatan. Tiba di rumah, Anda akan mendapati bahwa Anda sendirian. Anda akan kembali ke masalah Anda masing-masing. Anda kembali merasakan beban pekerjaan di kantor, memikirkan cicilan setiap bulan. Anda akan menghadapi semua itu—sendirian. Siapakah yang peduli dengan kegelisahan Anda? Yang peduli adalah Allah.”
Pesan Mbah Nun selanjutnya adalah, “Maka, carilah teman sejatimu itu. Temukan Allah di dalam dirimu, di dalam hidupmu, di dalam setiap hembusan napasmu.”
Sampai hari ini pun, salah satu pesan Mbah Nun yang sangat menancap dan membekas — saya dengar langsung di KC, tapi lupa tahun berapa — adalah sesuatu yang mutlak dan tidak bisa diganggu-gugat di Maiyah adalah Tauhid.
Terserah kita datang ke Maiyah dengan kepercayaan apa, dengan madzhab apa, dengan aliran apa, silakan saja. Tetapi, Tauhid adalah sesuatu hal yang sangat mutlak. Tidak ada tawar-menawar. Silakan kita menafsirkannya sendiri tauhid seperti apa yang dimaksud.
Coba kita baca kembali seri Corona yang ditulis oleh Mbah Nun akhir-akhir ini. Muatannya penuh dengan kesadaran tauhid. Mungkin saat ini Allah sedang rindu kepada kita, sehingga Corona adalah cara semesta memberi peringatan agar kita ingat bahwa ada Dia Yang Maha Menciptakan segala sesuatu.
Pada saat banyak orang menyampaikan analisis mengenai virus Corona dari tinjauan ilmu kesehatan modern, Mbah Nun hadir melalui tulisan dengan pendekatan yang sangat tidak mainstream hari ini.
Kemarin, dalam sebuah video conference dengan beberapa sesepuh Maiyah, di antaranya Kyai Toto Rahardjo, Cak Zakki, Mas Gandhie, Mas Helmi dan Mas Patub, saya menyampaikan bahwa yang dibutuhkan masyarakat kita hari ini adalah bagaimana mempersiapkan mental. Bagi saya, di sinilah teman-teman Maiyah, bukan hanya penggiat Simpul Maiyah tetapi juga seluruh Jamaah Maiyah, harus mengambil peran ini.
Dan bekal dari Mbah Nun dalam beberapa hari terakhir adalah bekal yang lebih dari cukup. Sebagai Jamaah Maiyah kita harus mampu mengambil peran untuk ikut bersama-sama masyarakat di sekitar kita di rumah, di kampung, atau di mana pun saja berjuang melawan virus ini.
Kembali ke pesan Mbah Nun tadi. Saat ini dan beberapa bulan mendatang kita tidak bisa Maiyahan seperti biasanya, tidak bisa berkumpul ngopi bareng, cangkruk bareng, tertawa bersama, sampai khusyuk sholawatan dan wiridan bersama, sudah pasti momen itu akan sangat kita rindukan. Untuk sementara waktu kita akan berpuasa Maiyahan secara langsung. Saya pribadi memiliki pandangan bahwa inilah saatnya kita muroja’ah, bahkan mungkin ini adalah imtihan.
Ada ungkapan bahwa selama ini anak-anak Maiyah terlalu enjoy sehingga larut dalam suasana Maiyahan. Lupa bahwa seharusnya ilmu-ilmu di Maiyah juga harus dipraktikkan di hidup keseharian. Bisa jadi, inilah momen ketika anak-anak Maiyah melakukan kerja nyata, praktik langsung dari ilmu dan nilai-nilai kehidupan yang didapatkan di Maiyah selama ini.
Sudah banyak literasi yang beredar tentang dampak virus Corona akan menggoyang semua sendi kehidupan. Jangan ditanya lagi; ekonomi global akan guncang. Hari ini nilai tukar Rupiah sudah sangat lemah terhadap Dolar, yang mau tidak mau akan berdampak pada harga-harga bahan pokok kita sehari-hari. As soon as possible.
Belum lagi melihat kenyataan bahwa masih banyak orang di sekitar kita yang menggantungkan hidup dari penghasilan harian: tukang gorengan, driver ojol, tukang parkir, nasgor keliling dan lain sebagainya. Ada yang memprediksi bahwa guncangan ekonomi yang akan kita hadapi sebentar lagi lebih mengerikan dari krisis moneter 1998.
Lantas bagaimana kita menyikapinya? Orang Maiyah tidak akan gagap menghadapi kondisi ini. Tidak goyah, walaupun akan ada sebagian dari kita yang mengalaminya. Apa yang disampaikan Mbah Nun melalui seri tulisan Corona adalah bekal yang sangat mendasar, bekal Tauhid untuk kita masing-masing. Tentunya setelah kita berikhtiar melakukan semaksimal mungkin apa yang mampu kita lakukan sehari-hari.
Kita yang memang bisa bekerja di rumah, bekerjalah di rumah. Nikmati masa-masa berkumpul bersama keluarga. Bisa jadi selama ini ada banyak momen yang terlewatkan yang tidak kita rasakan karena terlalu sibuk dengan pekerjaan di luar rumah.
Jangan lupa tetap menjaga hidup bersih. Bayangkan, virus Corona yang tak kasat mata ini telah memaksa kita untuk berlaku hidup bersih.
Bagi kita yang memang harus keluar rumah untuk bekerja dan mencari uang, teruslah bekerja dengan tetap menjaga kebersihan dan kesehatan. Benar bahwa umur kita di dunia adalah rahasia Allah, akan tetapi kita diberi tubuh dengan reseptor yang lengkap. Jika memang dirasa kurang sehat, beristirahatlah. Setelah kita berikhtiar, baru kita bertawakkal.
Di dalam Islam, dalam sehari Allah menyiapkan rumus sholat lima waktu sebagai metode jeda dari kesibukan kita selama 24 jam. Di dalam satu tahun, ada bulan Ramadlan yang juga kita pahami sebagai metode jeda untuk mengimbangi sebelas bulan lainnya. Mungkin, saat ini Allah sedang kangen dengan kita. Allah sedang rindu dengan kita, maka Allah meminta kita untuk berpuasa lebih awal dari biasanya.
Mungkin, Allah sedang menyampaikan pesan kepada kita: “Wahai hamba-Ku, Aku kesepian, kenapa engkau tidak menemani-Ku?” Padahal, Dia adalah teman sejati kita. Dialah yang selalu ada untuk kita, kapanpun saja.