Corona Menagih Utang
Dalam Sinau Bareng Maiyahan sering kita diskusikan bahwa setiap manusia harus menentukan atau mengambil keputusan untuk memilih mindset apa yang mendasari semua langkah, usaha dan perjuangan hidupnya.
Salah satu yang kita eksplorasi misalnya adalah “hidup karena atau untuk membayar utang”. Tentu saja kepada pemilik hidup kita. Untuk kita ya Maha Pemilik Kehidupan Seluruhnya, Allah Yang Maha Segala-galanya. Kita sudah mendaftari betapa banyak, sangat melimpah dan tak terbayarkan serta tak tertanggungkan utang-utang kita kepada-Nya. Dari yang kecil-kecil hingga yang tak terjangkau. Dan tak cukup ruangan tulisan ini untuk mengulangi daftar dan hamparan utang kita kepada Allah.
Dari tatkala kita hanya janin hingga bayi, lantas entah bagaimana SOP-nya kok bisa keluar dari Rahim Ibunda ke dunia. Kemudian khusus badan kita saja dengan segala komplikasi rahmat yang luar biasa. Seperti ada tim pengurus setiap sel kita, daging tulang otot saraf kita, metabolismenya, hulu-hilir setiap tahap proses jasadiyahnya, kencing tinggal kencing, beol tinggal beol, makan tinggal makan, minum tinggal minum — kita tidak perlu mempelajari ilmu dan teknik untuk mengurusinya. Belum lagi udara, air, sumber-sumber kehidupan dan penghidupan di hamparan bumi sampai kedalaman laut. Segala jenis rahmat yang Allah hamparkan secara gratis dan manusia tinggal memetik, menciduk atau mengais untuk menikmati.
Lantas manusia dikasih akal, untuk berpikir, menggunakan logika dan manthiq, memahami asal-usul, sebab-akibat, hulu-hilir, sehingga Jamaah Maiyah menemukan status hidupnya adalah pihak yang dipinjami, diutangi sebegitu banyak rahmat dan nikmat oleh Maha.
Pemilik kita semua. Syahadat saja, untuk mengakui betapa tak terhitung piutang dari Allah kepada kita saja kita berkeberatan. Apakah shalat lima waktu sehari sepadan untuk membayar limpahan utang-utang kita itu? Puasa Ramadlan, Zakat dan Shadaqah kepada sesama, berbagai bentuk ibadah, mahdlah maupun mu’amalah — apakah pernah mencukupi untuk melunasi utang-utang kita?
Padahal Allah sendiri tidak memfanatiki Diri-Nya sebagai pemberi utang kepada hamba-hamba-Nya. Ia bahkan kasih pernyataan: “Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipatgandakan balasan-Nya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.” (At-Taghabun).
Kita saja yang tidak tahu diri. Ora bisa rumangsa. Sebaliknya peradaban ummat manusia dipenuhi berjejal-jejal watak rumangsa bisa. Sok punya, sok pemilik, sok tahu, sok sok sok macam-macam lainnya. Sampai berani pakai kata “kekuasaan”, “penguasa”, “pemerintah”.
Sementara Jamaah Maiyah sangat menjaga kehati-hatian untuk memilah antara apa-apa yang Allah pinjamkan kepada mereka untuk seakan-akan bisa “diketahui dan dikuasai” dengan ilmu dan kedaulatannya. Dengan hal-hal yang di luar pengetahuan dan kekuasannya. Yang pertama ilmu, khilafah dan jihad. Yang kedua, pakai iman, taqwa dan tawakkal. Berulang-ulang Allah memberikan tata hubungan-Nya dengan manusia dalam hal pemilikan dan pinjam-meminjam: “Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan (Allah dan Rasul-Nya) baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.” (Al-Hadid).
Bahkan sedemikian murah hati-Nya Allah. “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur`an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh balasannya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Muzzammil).
Jadi Jamaah Maiyah mendayagunakan dan memakai penghikmahan Derita Corona beberapa bulan ini sebagai peluang sangat besar untuk membayar hutang kepada Allah. Di Maiyahan, Jamaah Maiyah juga sering mengemukakan logika kesadaran bahwa Allah tidak akan meminta ibadahnya manusia, sebelum Ia melimpahkan rezeki dan nikmat yang melimpah. Allah mendahulukan rasio tanggung jawab-Nya kepada apa yang Ia ciptakan. Para ciptaan tidak perlu menagih tanggung jawab Allah, karena ia mendahulukannya sebelum berinisiatif menciptakan.
Ad-Diin, Agama. Ad-dain, utang. Ada pemikir dan mufassir Islam yang mengasosiasikan kata “Din” dengan “Dain”. Agama mengajarkan dan menuntun bagaimana cara-cara manusia membayar utangnya kepada Allah Swt. Meneguhkan disiplin mahdlah, memperbanyak yang sunnah, melimpahkan sebagian dari limpahan Allah ke kiri-kanan dan mana saja yang terjangkau.