CakNun.com

Corona Dukun Bayi

Corona, 49
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 5 menit

Kalau ada struktur kalimat berbunyi “Ibu memasak nasi”, lantas Coronavirus adalah nasinya, maka siapakah Ibunya? Bagaimana memasaknya? Dikasih ke siapa nasi itu awal mulanya? Berapa jumlah nasinya? Kenapa bisa dibagi untuk jumlah orang yang tidak terbatas?

Benda sangat kecil yang tidak kelihatan oleh mata telanjang itu ternyata monster raksasa yang mampu mengancam seluruh manusia di dunia, sanggup membikin takut seluruh penduduk planet Bumi.

Dan kalau dilihat-lihat, yang paling menakutkan bagi manusia adalah hubungan antara Coronavirus yang amat kecil itu dengan kematian manusia, sejumlah berapa saja tanpa bisa dibatasi.

Maka sangat bisa dipahami kenapa ada orang bijak yang berterima kasih kepada Corona, karena monster kecil itu telah mengembalikan barang-barang mahal yang hilang, kembali lagi kepada manusia. Barang-barang itu berupa ilmu, pengetahuan dan kesadaran tentang sangat banyak hal mendasar pada kehidupan manusia. Kesadaran bahwa pada hakikatnya manusia tidak berdaya-berdaya amat atas kemungkinan-kemungkinan dalam kehidupan. Kesadaran bahwa manusia punya kecenderungan yang terlalu besar untuk merasa besar, merasa hebat, merasa pandai, merasa paling bisa melakukan banyak hal dibanding tetangga-tetangganya makhluk lain yang sama-sama hidup di bumi.

Yang hilang lagi di dalam kehidupan manusia sendiri adalah cinta sejati. Kebersamaan yang seharusnya merupakan sumber keindahan hidup. Mahabbah dan silaturahmi yang telah dirusak oleh politik, kerakusan, kapitalisme maniak dan kegilaan untuk megah dan mewah.

Dari conton-contoh kesadaran baru yang substansial itu mestinya kengerian masif oleh pandemik Corona itu merupakan peluang bagi ummat manusia untuk menuju semacam kelahiran baru. Mestinya akan lahir pola batin kemanusiaan yang baru. Sampai mungkin “air kawah” untuk sebuah peradaban baru. Kalau tidak lahir kesadaran baru ummat manusia, ya setidaknya lahir kesadaran sejumlah individu atau kelompok. Sekurang-kurangnya Jamaah Maiyah mengalami kelahiran barunya masing-masing. Coronavirus semacam dukun bayi mereka.

Manusia digiring secara massal bergerak menuju jurang kematian, meskipun probabilitas kamatian oleh Covid-19 hanya di bawah 10%. Seharusnya yang 90% dijembatani oleh kecerdasan dan imajinasi manusia. Disambungkan ke penuntasan 100%nya oleh ilmu, ijtihad, inovasi, rasio pengetahuan ke depan, “waltandzur nafsun ma qaddamat lighad”: hendaknya engkau melihat apa akibat-akibat di hari depan dari perbuatanmu sendiri.

Kenapa sampai Rasululah Saw bersabda “Khairul mau’idlati mautun”, sebaik-baik nasihat adalah kematian, karena kematian adalah puncak kesadaran manusia hidup. Seluruh anasir kejiwaannya berujung di situ. Keseluruhan sistem psikologinya mandeg di dinding itu. Seluruh daya upaya intelektual dan keilmuannya terbentur di tembok kematian. Kecuali menganalisis jasad sisa manusia di lubang kuburan. Tetapi yang dikubur bukanlah manusia, melainkan jenazah atau mayat.

Ilmu jasad manusia bisa menyerpih-nyerpihkan segala unsur badan manusia. Tetapi Ilmu Jiwa, Psikologi, hanya dugaan dan prasangka terhadap simptoma atau gejala-gejala pada manusia yang mengekspresikan kehidupannya. Manusia yang mengekspresikan tidak sama dengan manusia.

Ada beda serius antara manusia dengan ekspresinya. Ada beda mendasar antara Lombok dengan pedasnya, antara kentut dengan baunya, antara gula dengan manisnya. Ilmu Pengetahuan paling modern pun tidak bisa menjelaskan apa itu manis atau asin. Manusia dan ilmuwan hanya bisa mengenali tanda-tanda dari yang dirasakannya, kemudian merumuskan komposisi kimiawi dan dialektika sosialnya, tetapi kenapa kalau rumusnya begitu jadinya manis, kalau rumusnya begini jadinya busuk.

Manusia bisa merasakan pahit dan manis, tetapi tidak mampu mengilmui dan mengilmukan pahit dan manis, kecuali sejauh batasan yang disepakati bahwa ini manis itu pahit. Tetapi hakiki manis dan pahit tidak terjangkau oleh manusia. Maka jangankan soal kematian.

Tampaknya maut termasuk di antara “hal-hal yang manusia dan makhluk apapun tidak punya daya untuk mengetahuinya kecuali Allah memberinya informasi”. Dalam rombongan itu ada yang lain-lainnya, misalnya Akhirat, Malaikat, Iblis, Dajjal, Ya’juj Ma’juj dan sejumlah hal lainnya. Tetapi bahkan seorang suami tidak pernah benar-benar mengetahui hati istrinya. Kalau Jin, Setan, hantu, masih ada celah atau sela-sela untuk mengintipnya.

Saya ingat sepulang dari sekolah TK hari pertama, Rampak anak bungsu saya menabrakkan pertanyaan: “Ayah, apa Agama itu penting?”. Untung saya terbimbing untuk menjawab spontan: “Tidak semua hal dalam kehidupan bisa diketahui oleh manusia. Yang kita tidak tahu itu, Allah kasih tahu lewat Agama”.

Sampai level tertentu, Agama bukan soal benar atau salah pada verifikasi intelektual manusia. Karena manusia tidak pernah bisa mengatasi relativitas, dialektika, polarisasi, pergesekan, perbenturan, permusuhan sampai ke tingkat Perang Dingin Internasional dan Perang Dunia antara “benarnya sendiri” dengan “benarnya orang banyak”, apalagi sampai “benar yang sejati”.

Islam sangat bisa dipertanggungjawabkan secara rasional intelektual, sampai level urusan tertentu. Tetapi selebihnya, tinggal opsi “beriman atau tidak”. “Faman sya`a falyu`min waman sya`a falyakfur”. Yang percaya, percayalah. Yang tidak percaya, kufurlah. Di Maiyah kita mengenal pedoman “segala sesuatu yang bisa dijangkau oleh akal, pakailah ilmu. Di luar atau di atas itu, gunakanlah iman”.

Wama utimum minal ‘ilmi illa qalila”, demikian pernyataan Tuhan. Bahkan tidak ada buku tentang warna kentut. Tidak ada jurnal tentang isi hati. Baik Nurani maupun sanubari, yang ilmu apapun juga tidak pernah mengerti beda antara keduanya itu. Maka Tuhan kasih kemudahan dan batas pemahaman: Tidaklah Aku cipratkan ilmu kepada kalian kecuali hanya sangat sedikit saja. Dan ilmu manusia yang hanya sangat sedikit itu sama sekali tidak mencukupi untuk memahami, apalagi meneliti kematian — dengan metode secanggih apapun. Kalau ada buku tentang Alam Jasad Dunia, Alam Kubur, Alam Barzakh dan Alam Akhirat — kepustakaannya pastilah berita-berita wahyu. Bukan persepsi atau hasil penelitian ilmu manusia.

Sikap pengetahuan, ilmu dan pandangan manusia tentang kematian juga berbeda-beda. Ada yang memahaminya sebagai tragedi. Ada yang justru menantikannya karena merupakan pintu untuk berjumpa dengan Kekasih Sejati. Hampir semua puisi tentang kematian adalah puisi putus asa. Sebab kematian tidak bisa dijangkau oleh akal, dan sangat banyak manusia berpendapat bahwa apa yang tidak bisa disentuh oleh akalnya, berarti tidak nyata – tetapi, sementara itu, kematian begitu nyata bagi mereka. Maka hampir semua puisi tentang kematian adalah puisi putus asa. Ada penyair yang menulis:

Maut adalah pencuri terkutuk
Pagi kau bercanda riang dengan kekasihmu
Sore maut mengambilnya di perempatan jalan

Jika kematian adalah niscaya
Mengapa hidup terasa tak berdaya
Jika kematian adalah kodrat
Maka mengapa harus berdoa?

Ada lagi yang menulis:

Nyawa tercerabut dari raga
Melayang layang menangis menyesal
Dosa terlanjut di simpan di dada
Tak mungkin kembali memperbaiki sejarah dunia

Tubuh membiru,
Lidah kelu,
Jantung berhenti berderu,
Mata tertutup selama hingga akhir waktu

Raga ditelanjangi,
Dibasuh lalu diselimuti dengan kain kafan
Diarak seperti buruan yang mati tertembak
Kubur menungguku di pemakaman

Dua malaikat siap menanyaiku
Sejengkal demi sejengkal tanah
Menutup jasadku
Sejengkal demi sejengkal perpisahan
Menutup kenangan dunia

Aku ditinggal sendiri
Keluarga hanya menangis lalu pergi
Harta berdiam diri tak perduli
Tahta hanya sebatas aku hidup
Ketika mati,
Aku tetaplah bangkai

Tuhan sendiri memberi gambaran: “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: Ini adalah dari sisi Allah, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad). Katakanlah: Semuanya (datang) dari sisi Allah. Maka mengapa orang-orang itu, orang-orang munafik itu, hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikit pun?”.

Jamaah Maiyah tidak tergolong cerdik pandai. Bukan kumpulan orang hebat. Mereka juga tidak canggih menjawab jika ditanya tentang kematian, Akhirat, empat tahap kehidupan dan lain sebagainya. Mereka fokus ke hubungannya dengan Allah saja dan meletakkan diri pada posisi “In lam takun ‘alayya Ghodlobun fala ubali”. Asalkan Allah tidak murka kepadanya, maka sejak hidup di dunia mereka belajar dan berlatih ikhlas atas apa saja yang Allah menghendaki untuk dialaminya.Termasuk urusan Corona. *****

Lainnya

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Rakyat kecil kebagian remah kemakmuran berupa upah buruh murah, dan negara kebagian remah kemakmuran berupa pajak.

Nahdlatul Muhammadiyyin
NM

Topik