Copyright Allah SWT
Jamaah Maiyah sudah lama belajar dan mempelajari kelembutan kenyataan hidup. Misalnya di forum Maiyahan sering diworkshopkan perbedaan tipis lembut antara hemat dengan pelit, antara hati-hati dengan takut, antara berani dengan sembrono, antara gagah dengan bodoh, antara tekad dengan nekad, atau antara nekad dengan ngawur.
Kalau punya keyakinan “takut hanya kepada Allah”, tidak berarti berani istrinya selingkuh atau anaknya tertabrak mobil. Kalau di setiap awal shalat membaca “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”, hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu aku minta pertolongan — tidak berarti menolak minta tolong tetangga untuk mendirikan terop acara Walimahan, atau menolak ditolong oleh dokter ketika sakit, atau menolak prinsip budaya gotong royong. Kita hidup di kampung dan menolak ikut kerja bakti atau gotong royong, dengan alasan “jangan minta tolong kepada siapapun kecuali Allah”. Artinya, Allah diajak gotong royong pagi-pagi.
Iman bersaudara dengan ilmu. Keyakinan berdampingan dengan pemahaman. Istiqamah ilallah berjodoh dengan ta’lim, ta’rif dan ta`dib. Tentu saja pada niat ingsun thariqat riyadlah tertentu seseorang punya hak untuk tidak mau makan apapun kecuali yang langsung diberikan oleh Allah melalui Malaikat Jibril, sebagaimana Siti Maryam Ibundanya Nabi Isa. Dengan ukuran dan batas waktu tertentu: “Kalau Allah kasih saya makan, maka saya hidup. Kalau Allah tidak kasih, maka saya mati” — dengan maksud menafsirkan narasi hadits qudsy “Wahai hamba-Ku, engkau telanjang kecuali Aku beri pakaian, engkau lapar kecuali Aku beri makan”. Penafsir jenis ini menolak masuk warung, restoran, pasar atau Foodcourt. Juga menolak di-wèwèhi makanan oleh tetangganya sehingga ia membuangnya.
Itulah sebabnya manusia dianugerahi akal, untuk mesin berpikir, sehingga ia menjadi manusia. Kalau Maiyahan massal dengan 10-30 ribu jamaah tetap kita langsungkan pada situasi trauma-Corona hari-hari ini, mungkin sejumlah onderdil kemanusiaan dan ‘aqliyah kita prothol dari diri pengelola Maiyah. Terus kumpul Maiyahan berdesak-desakan puluhan ribu orang di lapangan, tidak bisa dengan argumentasi “kami hanya takut kepada Allah”. Sebab kejadian itu punya lingkungan konteks. Ia bisa juga merupakan kesombongan, kesembronoan, kelalaian, takabur, bahkan kedhaliman kepada siapa saja yang tidak ada jaminan akan kena sakit atau tidak. Kita semua yakin seyakin-yakinnya bahwa Allah Maha Rahman Rahim. Tetapi tidak ada sensus yang jelas Rahman Rahim Allah itu berlaku berapa persen untuk A, B atau C. Kita pasti selalu ingin mendekat kemudian merasa dekat dengan Allah, tetapi apakah Allah dekat kepada kita?
Apalagi verifikasi iman dan sensus kedekatan dengan Allah tidak bisa ditentukan oleh identitas apakah engkau Ulama, Ustadz atau ummat biasa. Apakah engkau rajin ke masjid atau tidak. Apakah engkau berakhlaq karimah atau tidak. Allah Maha Lembut dan punya perhitungan sendiri yang kita tidak punya kesanggupan untuk mengetahuinya. Juga bahan-bahan dan fakta-fakta kehidupan manusia di tangan Allah sedemikian kompletnya sehingga kita tidak mungkin membantahnya, berdasarkan metodologi, kaifiyah atau sistem hukmiyah syar’iyah secanggih apapun.
Meskipun demikian kita dianjurkan, diseyogyakan atau bahkan diawajibkan untuk ber-husnud-dhon kepada Rahman Rahimnya Allah swt. Likulli da`in dawa`. Setiap sakit ada obatnya, setiap penyakit ada penawarnya. Allah kasih sakit, Allah kasih sembuh. Tinggal di soal waktu misterinya.
Wilayah kontekstual saya hanya pada lingkup “inna lillahi wa inna ilaihi roji’un”. Apapun berasal dari Allah dan segala sesuatunya kembali mengacu pada Allah. Sejumlah kecil orang mengatakan “Semua manusia sedunia takut kepada Corona, tapi tidak takut kepada Allah”. “Mungkin justru karena semua tidak takut kepada Allah maka Allah kasih fakta amat kecil, Coronavirus, yang tak seorang pun tak takut kepadaannya. Mungkin Allah menunjukkan betapa tidak rasionalnya kehidupan ummat manusia”.
“Innallaha la yastahyi an yadlriba matsalan ma ba’udlotan fama fauqaha”. Allah tidak segan-segan memberi sanepan atau matsalan dengan memaparkan binatang sekecil nyamuk, atau yang jauh lebih kecil dari itu: Coronavirus — untuk memberi palajaran kepada manusia tentang betapa berkuasanya Ia.
Tetapi apakah manusia belajar? Saya pesimis. Selama Corona menyiksa ini hampir tak ada narasi atau ungkapan yang mencerminkan kesadaran tentang peran Allah, kekuasaan Allah, copyright Allah atas segala sesuatu. Bahkan tidak ada pemimpin Agama yang mengajak ummat manusia untuk mencari apa kesalahan kita semua ini sebagai manusia, sehingga kedahsyatan ilmu dan peradaban kita diejek dihina habis-habisan oleh hanya seekor virus Corona.