Berapa Lama Corona Bertamu?
Di Maiyah sering dibicarakan terminologi misalnya “Negara Kuat Rakyat Lemah”, dengan beberapa kategori lainnya, dan Indonesia termasuk “Rakyat Kuat Negara Lemah”. Salah satu bukti riilnya adalah NKRI tidak mungkin berani “total lockdown” untuk menghindari penyebaran Coronavirus, karena kondisi lemah ekonominya Negara.
Tetapi dengan liarnya Coronavirus rakyat Indonesia tidak mungkin mengurung diri, karena kekuatan rakyat kita terutama kalangan bawah mayoritas adalah kemerdekaan dan kelonggaran untuk “iguh” dan “ubet” perekenomian sehari-hari mereka. Pemerintah NKRI tidak mungkin mampu “mentraktir” rakyatnya sangat banyak di wilayah yang sangat luas kalau mereka tidak punya peluang untuk “iguh” dan “ubet” harian itu. NKRI bukan “Kecamatan” Singapura, bahkan juga bukan “Provinsi” Korea Selatan.
Makanya sesungguhnya bangsa besar kesayangan Allah ini membutuhkan pemimpin dan kepemimpinan nasional yang “muhtadin” atau “mulhamin”, kalau perlu “mukarramin”. Pemimpin yang dipandu oleh hidayah Allah, dituntut oleh ilham-ilham-Nya, kalau perlu dilimpahi “karamah”.
Kalau melihat longgarnya regangan sosial di seluruh Nusantara dalam menangani bahaya Corona, dan kalau bercermin pada Italia dan sejumlah Negara lain, mestinya sudah jutaan orang dari rakyat kita yang terpapar Coronavirus. Tapi nyatanya sampai hari ini belum sampai seribu orang, dan yang meninggal belum sampai seratus. Sesungguhnya bangsa Indonesia sudah lama dibikin tangguh dan sakti oleh berbagai macam virus: virus biologis, virus moral, virus politik, virus budaya, virus peradaban global, dan kini mereka sedang dilatih khusus oleh Coronavirus agar menjadi pendekar yang lebih mumpuni. Tetapi kita tidak “kemendel” untuk menyimpulkan itu, sebab celaka kalau sampai kita menyentuh garis takabur.
Jamaah Maiyah hari-hari ini sebaiknya mulai menggali kreativitas dan hidayah Allah untuk melaksanakan ayat 18 Surah Al-Hasyr: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
Dengan pijakan takwa pada sebelum dan sesudahnya, Jamaah Maiyah memperhatikan apa yang selama ini ia perbuat yang esok hari akan menghasilkan sesuatu. Termasuk apa pikirannya, apa isi hatinya, apa sikap hidupnya, apa yang dikerjakannya atas kasus Coronavirus ini yang akan berbuah esok lusa. “Ma qaddamat”: apa yang engkau utamakan (apa skala prioritasmu) untuk dilakukan dan jeli pada outputnya. Setiap yang diputuskan oleh Jamaah Maiyah untuk dilakukan ada landasan aqdamiyah atau afdlaliyahnya: “ma qaddamat”, “ma fadldlalat”. Apalagi Allah sendiri akan memaparkan hulu-hilir perbuatanmu itu. “Innallaha Khobirun bima ta’ malun”. Allah menginformasikan di esok hari hasil keputusanmu hari ini.
Bahkan kalau mau lebih matang dalam rentang panjang belakang ke depan, coba diidentifikasi juga kemungkinan hadirnya Coronavirus ini merupakan “ma qaddamat” dari segala sesuatu yang kita lakukan sebelumnya. Meskipun bisa diasumsikan tidak mungkin dunia dan Indonesia melakukan “muhasabah sebab-akibat” semacam itu, tidak mengurangi urgensi dan keutamaan tradisi Jamaah Maiyah untuk tetap melakukannya.
Kalau Pemerintah mencanangkan Masa Darurat Bencana Corona hingga 29 Mei 2020, apakah anda pikir si Coronavirus mendengarkan dan mematuhinya, sehingga pada 30 Mei diumumkan Indonesia bebas Corona? Kita yang patuh kepada Corona, atau kepada yang melimpahkan Corona kepada kita. Kita tidak bisa menyusun time schedule virus sesuai dengan kemauan kita. Itu hanya perkiraan, spekulasi, harapan dan doa. Berapa lama Corona bertamu dan bekerja, bukan kita yang menentukan dan bukan Corona itu sendiri — pasti ada subjek yang lebih kuat dan lebih berkuasa dari kita.
Itu belum multiefeknya terutama ke kondisi perekonomian Negara dan Bangsa. Sedikit-sedikit kita sudah merasakan depresi dan resesi ekonomi, tapi ibarat main sepakbola ini baru menit-menit awal pertandingan. Tidak ada ilmu dan kehebatan manusia apa pun yang bisa memperkirakan “90 menit”nya ini akan berapa lama. Posisi manusia hanyalah bersemayam di planet yang bernama “semoga”. Itu pun kalau muncul harapan, planet itu sekadar beralih nama menjadi “Insyaallah”. Di Al-Baqarah 147 ditegaskan bahwa “Kebenaran” tidak pernah ada di tangan manusia, melainkan “dari Tuhanmu”. Lantas Tuhan menasihati “maka janganlah engkau termasuk orang-orang yang ragu”.
Padahal presisinya pada level rasio kita justru kita hakikatnya harus ragu pada kebenaran yang kita kenali, sedangkan yang “tidak ragu” adalah kepada kebenaran Allah. Masalahnya jarak antara kebenaran kita dengan kebenaran Allah tak akan pernah bisa kita ukur dan tempuh. Penyair Goenawan Mohamad merumuskannya:
Dingin tak tercatat
Pada termometer
Kota hanya basah
Angin sepanjang sungai
Mengusir. Tapi kita tetap saja
Di sana…
Jamaah Maiyah sebaiknya beramai-ramai mengusulkan cara Sinau Bareng untuk tantangan sangat mendesak ini, tapi tidak di lapangan seperti biasanya. ***