CakNun.com

Belajar Keistiqomahan Pada Perjalanan Mbah Nun

Reboan on the Sky 20 Mei 2020
Fahmi Agustian
Waktu baca ± 5 menit

Memasuki minggu terakhir bulan Ramadlan, biasanya orang-orang sibuk mempersiapkan diri menyambut Idul Fitri, setelah berpuasa sebulan lamanya. Tetapi tidak dengan tahun ini, kita menyambut Lebaran dengan suasana yang tidak biasa. Tidak ada hiruk-pikuk arus mudik para perantau untuk pulang ke kampung halaman, tidak ada kemeriahan Ramadlan seperti tahun-tahun sebelumnya.

Reboan on the Sky sudah menjadi forum rutin mingguan yang diselenggarakan secara online. Setiap minggunya menghadirkan tema-tema menarik untuk dibahas. Sebanyak 1-2 peserta forum didapuk menjadi narasumber utama, berdasarkan latar belakang pengetahuan, profesi atau aktivitas sehari-hari yang saat ini digeluti. Berbagi pengetahuan, berbagi informasi, saling bertukar pikiran. Sama seperti forum Maiyahan, tidak ada yang menggurui.

Tidak mudah mengaransemen harmoni dalam forum yang diolah secara online. Maka sejak awal penggiat Kenduri Cinta menyusun rules of the game untuk Reboan on the Sky ini. Bukan semata-mata sebagai aturan main, tetapi justru untuk bersama-sama bersepakat agar forum berlangsung lancar.

Dalam hal keikutsertaan saja, semua peserta secara alami belajar bahwa meskipun dilaksanakan secara online, semua taat untuk fokus menyimak siapa pun yang sedang berbicara. Termasuk Marja’ Maiyah yang selalu ikut dalam forum ini: Yai Toto Rahardjo, Syeikh Nursamad Kamba, dan Mas Ian L. Betts setia mendengarkan yang lain dan baru akan berbicara setelah dipersilakan oleh moderator. Secara otomatis, ketaatan dan kedisiplinan ini menular kepada yang lain.

Menyambut 67 tahun Mbah Nun

Pada Reboan on the Sky 20 Mei 2020, penggiat Kenduri Cinta mengangkat tema yang lebih akrab: Home Sweet Home: Home is not where you life, but where they understand you. Tema yang sangat dekat dengan keseharian kita saat ini. Banyak dari kita yang sekarang sedang di rumah saja, sangat jarang bepergian keluar rumah. Bisa jadi, dalam dua bulan terakhir adalah masa-masa di mana kita menemukan suasana rumah yang sangat hangat dan akrab, karena seluruh keluarga lebih banyak memiliki waktu berkumpul di rumah.

Tetapi, tema ini tidak membahas mengenai apa yang kita lakukan di rumah saat ini. Beberapa tema terkini yang merespons situasi hari ini di tengah pandemi Covid-19 sudah dibahas pada edisi Reboan sebelumnya. Tema “Home” ini lebih menekankan bahwa di Maiyah, di rumah kita bersama ini, ada sosok yang sangat kita takdzimi, yakni Mbah Nun.

Bulan Mei selalu menjadi bulan istimewa bagi teman-teman Jamaah Maiyah, karena di bulan Mei, tepatnya di 27 Mei, kita semua memiliki hajatan tahunan, mensyukuri milad Mbah Nun. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, yang biasanya kita berkumpul di Padhangmbulan Menturo Jombang untuk merayakan hari kelahiran Mbah Nun, saat ini kita tidak bisa seperti biasanya, berduyun-duyun pergi ke Menturo untuk Maiyahan di Padhangmbulan.

Untuk mengganti momen tersebut, penggiat Kenduri Cinta mengkhususkan sebuah tema pada Reboan on the Sky 20 Mei 2020 lalu untuk mendengarkan paparan Mas Ahmad Karim, Mas Rony K. Pratama, dan Mas Erik Supit tentang bagaimana mereka memotret sosok Mbah Nun. Tentu saja, forum Reboan yang berdurasi sekitar 4 jam ini tidak cukup mengupas tuntas sosok beliau. Jangankan dari seluruh perjalanan Mbah Nun, dari karya-karya Mbah Nun saja sangat tidak cukup durasinya untuk membahasnya.

Mas Karim memotret sosok Mbah Nun yang saat usia muda tidak memiliki fasilitas yang lengkap di rumahnya, baik ketika di Menturo, apalagi ketika hidup di Gontor, maupun di Yogyakarta. Namun, dengan keterbatasan fasilitas yang ada, Mbah Nun menjalani perenungan hidup yang luar biasa. Di masa kanak-kanak, Mbah Nun belajar kehidupan melalui aktivitas langsung menggembala kambing yang dibelinya dari hasil uang mengumpulkan sendiri. Ketika hijrah ke Yogyakarta, produktivitas Mbah Nun dalam menulis pun dimulai. Bahkan, ada sebuah cerita ketika Mbah Nun menjadi santri di Gontor sudah menyusun buku pidato Bahasa arab yang menjadi pegangan santri-santri saat itu.

Dunia sastra memang sangat melekat dalam perjalanan Mbah Nun. Mas Rony K. Pratama mencatat bahwa karya publikasi pertama Mbah Nun adalah puisi tahun 1969 yang kemudian lahir menjadi antologi puisi M Frustasi dan Sajak-sajak Cinta pada tahun 1975. Jadi, jauh sebelum menulis esai, Mbah Nun melahirkan karya-karya puisi yang sangat berkualitas, ditambah lagi karya-karya itu ditulis dalam usia Mbah Nun yang saat itu masih sangat muda; 16 tahun!

Ada satu hal menarik yang terekam dalam ingatan Mas Ian L. Betts, seorang sahabat Mbah Nun yang menulis Jalan Sunyi Emha. Mbah Nun yang pertama kali ia temui di tahun 1998, di tengah pergolakan Reformasi saat itu, pasca-turunnya Soeharto, Mas Ian menyaksikan bahwa di salah satu sudut ruangan Mbah Nun masih ada sebuah mesin ketik yang digunakan untuk menulis saat itu. Walaupun saat itu Mbah Nun sudah mulai menggunakan laptop dan komputer, sesekali mungkin Mbah Nun masih menulis dengan mesin ketik.

Bagi teman-teman Gen-Z mungkin tidak mengenal akrab mesin ketik. Tidak seperti komputer saat ini, yang jika kita salah ketik maka dengan mudah kita menekan tombol delete di papan ketik untuk menghapus kata atau huruf yang salah ketik. Meskipun saat itu sudah ditemukan teknik menutup tulisan (bukan menghapus) yang salah dengan type-x, Mbah Nun sama sekali tidak membiasakan diri menggunakan type-x tersebut.

Yai Tohar berkisah, dalam sebuah malam, di mana masyarakat sedang menikmati gelaran turnamen Piala Dunia, di rumah Patangpuluhan biasa menjadi tempat nonton bareng bagi sahabat-sahabat Mbah Nun saat itu. Di tengah pertandingan berlangsung, menjadi hal yang biasa bahwa beberapa perwakilan surat kabar datang ke rumah kontrakan Mbah Nun di Patangpuluhan untuk meminta Mbah Nun menulis di surat kabar mereka. Tidak tanggung-tanggung, dalam satu malam bisa sampai 5 surat kabar yang meminta Mbah Nun menulis.

Dalam ingatan Yai Tohar, satu pertandingan sepakbola yang malam itu ditonton bersama-sama, bagi Mbah Nun menjadi inspirasi untuk melahirkan lima tulisan yang berbeda. Dan sekali lagi, Mbah Nun saat itu menulisnya dengan mesin ketik! Salah satu kebiasaan yang juga Mbah Nun lakukan saat itu adalah pada setiap beliau menulis selalu menggunakan kertas karbon. Lembaran pertama akan dikirimkan ke surat kabar, sementara lembaran setelah kertas karbon adalah lembaran disimpan sebagai arsip. Yai Tohar sendiri adalah “penjaga gawang” dari tulisan-tulisan Mbah Nun saat itu.

Satu peristiwa yang sangat membekas bagi Yai Tohar adalah ketika buku Slilit Sang Kiai pertama kali diterbitkan. Tulisan-tulisan yang dikumpulkan dalam buku tersebut diketik ulang oleh Yai Tohar sebelum dikirimkan ke penerbit. Yai Tohar memang tidak hanya menjadi pintu gerbang tulisan-tulisan Mbah Nun, tetapi juga mengetik ulang banyak tulisan Mbah Nun yang kemudian dibukukan. Bagi kalian yang pernah membaca buku Slilit Sang Kiai, ingatlah, bahwa ada peran Yai Tohar dalam buku tersebut.

Konsistensi Mbah Nun adalah Keteladanan

Mas Erik memiliki potret yang juga berbeda. Meskipun dalam sudut pandang yang sama, melalui karya-karya Mbah Nun yang dituangkan baik dalam bentuk puisi, esai, naskah drama, hingga skenario film.

Bagi Mas Erik, membaca tulisan Mbah Nun adalah sebuah keasyikan tersendiri. Mbah Nun piawai mengelola kata demi kata, bahkan sampai tanda baca pun diolah dengan ciamik, sehingga orang yang membaca tidak merasa lelah. Mbah Nun selalu meletakkan tanda baca, kapan harus koma dan kapan harus berhenti. Selain itu, bagi Mas Erik menjelajah tulisan-tulisan Mbah Nun itu seperti menyusuri hamparan kebun dengan beragam tanaman, yang juga kaya warna, riuh aroma, dan dalam sebuah buku, tulisan-tulisan Mbah Nun seperti tersambung antara satu tulisan dengan yang lainnya, seperti novel yang bertumpuk bab.

Pada Reboan kali ini, hadir juga Pak Indra Sjafri. Direktur Teknik PSSI yang saat ini tinggal di Yogyakarta memang sangat dekat dengan Mbah Nun dalam tujuh tahun terakhir. Pak Indra mengenang sosok Mbah Nun pada saat Reformasi 1998. Saat itu Pak Indra sangat unik memotret Mbah Nun sebagai orang dengan rambut gondrong yang masuk ke Istana Negara. Dan lagi, saat itu dalam situasi yang genting.

Pak Indra bercerita bagaimana Mbah Nun memberi dukungan moral pada saat gelaran Piala Asia U-19 di tahun 2014 lalu di Myanmar. Juga dalam Final Sea Games 2019 di Manila tahun lalu. Dalam beberapa kesempatan Mbah Nun hadir dalam Trainning Camp Timnas U-19 Indonesia di Yogyakarta. Yang sangat dicatat oleh Pak Indra adalah Mbah Nun sangat paham sepakbola, bahkan memahami beragam taktik sepakbola, padahal sama sekali tidak mengantongi sertifikat kepelatihan sepakbola.

Bulan ini, tepatnya pada 27 Mei 2020, Mbah Nun genap berusia 67 tahun. Kita semua pasti memiliki banyak sudut pandang dalam memotret Mbah Nun. Sosok multidimensional di mata kita. Dan sudah barang tentu, dalam forum Reboan on the Sky, yang pada edisi 20 Mei 2020 lalu sempat molor hingga menjelang Pukul 2 dini hari baru selesai pun tidak cukup mengupas keseluruhan perjalanan Mbah Nun. Namun, setidaknya ada satu nilai yang sangat pantas kita teladani dari sosok Mbah Nun, yaitu istiqomah.

Lainnya

Topik