10 Revolusi Jokowi dalam Berbagai Pemahaman (2)
Respon 13
MRAF
Selasa, 22 Sept 2020 23:10 WIB
Kepemimpinan Maqlub Jokowi & Lahwun Revolusi NKRI
Yang menarik buat sudut pandang subjektif saya atas ungkapan Mbah Nun: “10 Revolusi Jokowi” adalah “titik berat” redaksional dan muatan utama tematik yang terkandung pada judul ungkapannya. Jelas judulnya bukan “10 Revolusi NKRI” atau “Revolusi Satu Indonesia”, sebagaimana juga lazimnya judul-judul ungkapan Mbah Nun terhadap indonesia seperti contoh dua judul ungkapan diatas.
Objek alias yang berposisi sebagai tempat berlaku atau berlangsungnya revolusi (mendobrak stagnasi dan kejumudan nasional untuk menegakkan kembali kecerdasan dan kreativitas kehidupan bangsanya) dua contoh judul diatas adalah “NKRI” atau “Indonesia”. Bahkan untuk judul yang kedua, sudah pernah Mbah Nun tuliskan dalam bentuk sebuah esai agak panjang yang juga saya baca.
Artinya, ungkapan Mbah Nun: “10 Revolusi Jokowi” adalah kata-kata, kalimat-kalimat atau ungkapan-ungkapan “empat mata” dari Mbah Nun kepada dan hanya untuk Jokowi. Dan “titik berat” redaksional dan muatan utama tematik ini pun sesungguhnya juga sudah saya duga (meskipun besar keraguan atas dugaan itu), ketika saya membaca ungkapan tersebut dua hari sesudah tanggal terbitnya di website caknun.com.
Dan ternyata dugaan saya itu memang tidak terlalu meleset ketika hari ini saya membaca pengumuman “sayembara” dari teman-teman redaksi caknun.com, yang akan menerima, menampung dan mengakomodasi kekayaan opsi anggapan, respon dan komentar atas ungkapan Mbah Nun tersebut. Dengan memberi contoh sejumlah kata atau istilah yang merepresentasikan kekayaan opsi anggapan, respon dan komentarnya.
Bagi saya secara garis besar, Mbah Nun, melalui ungkapan “10 Revolusi Jokowi” sesungguhnya sedang memaparkan bahwa masalah utama kepemimpinan (pengelolaan pengayoman atau pengayoman yang sudah dikelola untuk umpamanya, mengIndonesiakan Indonesia, menduniakan Indonesia dan mengIndonesiakan dunia) Maqlub (informasi terbalik) justru tidak hanya dan terutama terletak atau berada pada “apa yang dipimpin” saja, tetapi juga sekaligus dan kompatibel dengan “bagaimana yang memimpin” itu sendiri.
Jarak pengetahuan antara “apa” dan “bagaimana” itulah Mau’idlah Hasanah (pembelajaran bersama yang baik) untuk sumber eksplorasi (menerapkan kecerdasan), mataair daya jelajah kreatif (wawasan futurologis) dan sumur pengupayaan penemuan-penemuan metodologi (menyusun kembali jurus-jurus masa depan) untuk menemukan dan menerapkan jenis, sifat, tipologi bahkan juga prinsip pengelolaan pengayoman (salah satu modusnya adalah pragmatisme yang direpresentasikan melalui istilah: “kebijakan”) yang mana dan bagaimana dalam rangka perolehan solusi-solusi masalah dari “apa yang dipimpin” tersebut.
Dari garis besar paparan Hija` (sindiran) Mbah Nun berdasarkan sudut pandang subjektif saya diatas, sesungguhnya Jokowi bukan hanya sedang tidak tahu “apa (seluruh bakat dan keistimewaan etnologis bangsa Indonesia) yang dipimpinnya” itu. Tetapi bahkan juga ia tidak tahu “bagaimana (kewaspadaan diri terhadap metodologi tentang seluruh kemungkinan pembaharuan pasukan dan strategi perang melawan masalah. Umpamanya, perang melawan pandemi Covid-19. Sebagai output atas pengetahuan tentang diri kapasitas dan diri ekspertasinya) yang memimpin” Indonesia. Dan ini bukan lagi sekedar Istidraj (ironi, bombongan, sarkasme) akan tetapi juga “kebodohan sekaligus kedunguan pada skala dan di taraf yang ekstra-luarbiasa.”
Kenapa bisa?
Sekarang coba pikirkan kembali. Kenapa dulu bapak dan kakak generasi bangsa Indonesia bikin negara dengan melahirkan proklamasi kemerdekaan baru sejarah bangsanya pada 17 Agustus 1945? Apakah negara dilahirkan memang untuk secara sungguh-sungguh menghimpun kembali potensi bangsanya yang terserak-serak oleh ratusan tahun kolonisasi-imperialisasi (keterpurukan ekonomi dan rasa kurang percaya diri kebangsaan) oleh sekian bangsa barat? Kemudian lihatlah sesudah 75 tahun kelahiran proklamasi kemerdekaan baru sejarah bangsanya, apakah sudah diperoleh persatuan dan kesatuan potensi bangsa yang terserak-serak untuk membuat kejutan kepada dunia dengan menyalip di tikungan sejarah?
Sebab, Bangsa Indonesia, melalui negara, dengan sistem besar tatanan proseduralnya. Telah merancang, mendorong dan menggiring sebuah mekanisme dimana “kepala” (simbolisme akal: alat untuk menemukan kecerdasan, menunjukkan kecanggihan agar dapat terwujud output berupa wibawa kepemimpinan agar dunia dan alam semesta tahu kenapa ia, jokowi tentu saja, didudukkan di singgasana) negara adalah “ujung jari” dari langkah-langkah nyata demonstrasi kepada dunia kenapa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang tidak bisa diremehkan.
Lha, kalau orang yang di Amanah (diberi kepadanya kepercayaan) oleh Husnudhdhan (sangka baik) negara untuk Da’wa (tuntutan) pengelolaan pengayoman bagi revolusi “apa yang dipimpinnya”, bahkan sekedar “apa yang dipimpinnya” pun tidak tahu, jangankan praksis pengelolaan pengayomannya. Sampai kepada taraf untuk bersikap Raja’ (merintis, memiliki pengharapan) kepadanya untuk memiliki pengelolaan pengayoman, sebagai output atas pertama dan mendasar: keseluruhan pengetahuan tentang dirinya sendiri pun (tidak hanya dalam koridor sebagai pemimpin) mestinya hanya akan menjadi Lahwun (gurauan).
Karena toh, ia tidak mengetahui dan memang ia sendiri tidak pernah berusaha untuk mencari
tahu. Sebab, ia sendiri memang tidak memiliki atensi dan empati terhadap dirinya sendiri (apalagi cakrawala kearifan ke-negarawan-an yang sungguh-sungguh kepada pengabdian untuk bangsa Indonesia yang ia pimpin) sehingga bisa merasa perlu untuk mencari tahu. Lho, kalau gitu kenapa dulu ia mau dan mencalon-calonkan diri untuk duduk di “singgasana” kepala negara NKRI? Wah, mana saya tahu jawabannya itu. Maka, apa lagi namanya itu kalau bukan “kebodohan sekaligus kedunguan pada skala dan di taraf yang ekstra-luarbiasa.”? []
Jambi, Alam Barajo, 22 September 2020.
Respon 14
NJ
Rabu, 23 Sept 2020 10:02 WIB
Bismillah.
Revolusi jokowi 9. “Sekarang saatnya Jokowi menunjukan kecerdasan, kecanggihan dan wibawa kepemimpinannya agar dunia dan alam semesta Tahu kenapa ia duduk di singgasana”.
Oleh : Ha.
Tak ayal lagi bagi kita bahwa presiden Negara Indonesia ini adalah pak Jokowi,dan siapa pula yg tidak tahu bahwa Jokowi adalah orang nomor satu di Indonesia ini? jangankan manusia bahkan mungkin semutpun mengenalnya, mengenal jejak langkah kepemimpinan pak presiden kita itu itu, sebagaimana baginda Sulaiman Nabi super canggih itu, terkenal dikalangan para semut.
“Hingga ketika mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, “Wahai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.” Q.s. An-Naml (27:18)
Meskipun begitu tetap saja kita tak dapat membanding2kan kepemimpinan Pak Jokowi dengan kecanggihan dan kebijaksanaan kememimpinan baginda Sulaiman itu, karena konteks ruang waktunya yg berbeda, apalagi jelas beliau Sulaiman As, adalah Nabiyullah. Sedang pak Jokowi adalah manusia biasa seperti kita.
Akan tetapi setidak2nya bagi kita warga Negara yg telah memilih beliau menjadi presiden, pastilah mencita2kan kwalitas kepemimpinan pak Jokowi itu tetap yang terbaik , syukur dapat secanggih, seadil, dan sebijaksana seperti baginda Sulaiman As, karena tidak menutup kemungkinan Pemimpin kita itu untuk mempelajarinya.
Namun pertanyaannya, apakah ada pemimpin Indonesia ataupun dunia saat ini yg masih mau belajar pada sejarah masa silam di tengah gemerlapnya ilmu modern yg selalu menganggap remeh kecanggihan masalalu? Mungkin tak ada!
Jangankan untuk belajar pada sejarah para Nabi, sejarah keluhuran bangsanya sendirirpun dilupakan. Jangankan tokoh pemimpin,kita saja yg mengaku umat yg mengimani para Nabi dan Rasul mungkin jarang sekali mengambil pelajaran dari kisah2 itu, bahkan mungkin manusia Modern menganggap kisah para Nabi itu hanyalah dongeng. Bukan hikmah yg harus kita gali untuk bekal mengarungi kehidupan.
Padahal bayangkan saja, jika kita ataupun pemimpin kita itu mau mempelajari masalah kepemimpinan dari salah satu Nabi, yakni Baginda Sulaiman yg mampu menundukkan angin, jin, binatang2, dls, dengan Ijin Allah itu. Bisa jadi pemimpin kita pun dengan ijin Allah juga dapat menundukan Virus Covid19.
Melihat belum ada Negara manapun yg mampu menemukan cara terbaik untuk menghadapi Virus itu,
Pastilah pak Presiden pada momentum ini akan sangat mengangkat martabat bangsa kita ini, ke kancah dunia.
Hmmm, tapi yasudahlah soal kecanggihan2 baginda sulaiman yg tidak di pelajari itu, sedang kita punya Rasulullah kekasihnya Allah pun jarang di sapa.
Adapun harapan tetap tak boleh sirna, apalagi di masa pandemi seperti ini, kita benar2 makin merasa butuh dengan sosok pemimpin yg mampu memberikan titik terang di tengah gelapnya keadaan dunia, dan untuk menjawab macam2 pertanyaan kita saat ini seperti, “Kapan selesainya situasi ini? Apakah kita akan selamat? Bagaimana dengan prekonomian kita kelak, sudahkah pemerintahan Negara kita mempersiapkan segala macam strategi yg di perlukan untuk mengantisipasi jangka panjangnya? Akankah kita sanggup bangkit melawan dan berakhir dengan kemenangan? Akankah suatu saat Indonesia benar2 menjadi Negara yg benar2 berdaulat dari berbagai macam sisi?
Maka di saat yg bersamaan, Inilah momentum dimana kita berharap dan menagih gebrakan ataupun trobosan2 Presiden kita itu, untuk menunjukan kecanggihan strategi kepemimpinannya membawa Indonesia menyalip di tikungan, memperkenalkan pada dunia kehebatan2 Nusantara Indonesia, mengembalikan wibawa bangsa. Dan untuk membuktikan kenapa ia dapat dikatakan pantas untuk menduduki singgasananya.
Karena kita optimis, dan berkhusnuzhan bahwa Pak jokowi InsyaAllah akan menyanggupi untuk membawa Indonesia pada arah yg gemilang itu.
Untuk itu kita akan tetap menunggu jawabannya dan akan terus menunggu, bahkanpun setelah pandemi ini berakhir.
Karena bagaimanapun sebelum mencalonkan diri menjadi presiden, pasti beliau telah memperhitungkan kapasitas keilmuan, intelektual, spiritual dan kesangupannya untuk memimpin bangsa besar ini.
Sekian.
Hathur Nuhun.
Respon 15
RA
Rabu, 23 Sept 2020 13:34 WIB
narasi poin 9.sulit rasanya bagi jokowi untuk menunjukan kecerdasan,kecanggihan,Dan wibawa kepemimpinan nya.Karena dia bukan pemegang strategi atau perumus strategi bangsa ini.dalam banyak kesempatan pemimpin partai pdi p dalam pidato sering berucap jokowi hanya petugas partai.sehingga hal itu kalau saya pandang dia hanya tunduk oleh bisikan partai nya Tanpa bisa menunjukkan kecanggihan dan kewibawaan nya dalam memimpin negara sebesar Indonesia.bangsa yang gemah ripah loh jinawi. Pernah juga sempat saya membaca dari berbagai sumber kepemimpinan jokowi hanya sebagai simbol yg didudukan diatas singgasana.padahal setiap keputusan strategis lebih diambil oleh menterinya yang saya anggap dialah sebenarnya presiden Indonesia luhut b.panjaitan.beliau sangat powerful dalam setiap kesempatan indonesia terjadi banyak masalah seperti kasus corona dia menjadi ketua yang menangani kasus tersebut.hal tersebut dikarenakan luhut adalah pemegang saham di pt rakabu sejahtera perusahaan furniture jokowi. Menteri rasa presiden.makanya Dari itu yang perlu diganti ya pemimpinnya.
Respon 16
KA
Rabu, 23 Sept 2020 20:38 WIB
Berkaca pada kondisi sekarang ini rasanya sulit bagi Presiden Jokowi mewujudkan salah satu dari “10 Revolusi Jokowi” yang di tulis oleh Cak Nun, perlu waktu cukup lama untuk menginternalisasikan 10 revolusi tersebut pada diri pak Jokowi sehingga output yang keluar adalah ‘Negara dan Rakyat’ sebagai prioritas utama dalam menjalankan roda kepresidenan. Nasionalisme dan cinta tanah air akan menggebu-gebu dalam diri seorang pak Jokowi jika beliau bisa melaksanakan revolusi tersebut dalam kedudukannya sebagai Presiden Republik Indonesia, di lain sisi orang-orang yang membantu pak Jokowi dalam menjalankan tugas sebagai Presiden menurut saya tidak akan bisa mendorong, mengingatkan, dan bekerjasama dengan beliau dalam rangka membangun Indonesia sebagai negara beradap yang besar dan maju, orang-orang disekeliling pak jak Jokowi harus diganti jika beliau ingin mewujudkan “Garuda”.
Saya ambil poin 1 dalam 10 revolusi jokowi yaitu tentang strategi baru melawan pandemi COVID-19, kondisi akibat pandemi sekarang memang menakutkan bukan hanya karena Virusnya sendiri juga karena media-media yang terlalu intesif membesar-besarkan virus ini yang menakuti masyarakat. Kegugupan pemerintah dalam penanganan virus ini memengaruhi tindakan-tindakan selanjutnya yang diambil, ketidakmampuan duduk satu tempak dan membicarakan pandemi ini dengan sungguh-sungguh membuat ucapan berbagai bagian pemerintah saling bertolak belakang dan masyarakat menjadi kebinguan dengan “panggung” ini. Menurut saya solusi terbaik untuk adalah duduk satu tempat dengan berbagai macam pakar dan perwakilan rakyat untuk membaca dan mengetahui solusi terbaik yang bisa diambil pemerintah dalam menentukan strategi baru untuk melawan pandemi ini.
10 revolusi Jokowi ala Cak Nun kemungkinan besar tidak akan bisa terwujud semua dalam masa kepresidenan pak Jokowi, namun beliau bisa dengan belajar lebih giat tentang prinsip-prinsip fundamental dalam bernegara sebagai presiden beliau melangkah sedikit demi sedikit menuju 10 revolusi tersebut walau tidak akan 100% terlaksana, setidaknya bapak presiden menunjukkan langkah yang menuju kesana. Hal terpenting yang sekarang harus dilakukan adalah melangkah maju dengan keberanian, tekad, dan ilmu untuk memulai langkah demi langkah, sedikit demi sedikit agar Indonesia Raya ini bisa benar-benar menjadi negara.