CakNun.com

Yang Tak Kunjung Haji Hingga Mati (1)

Dengan rasa cemburu yang baik, dari jauh kita mengucapkan selamat dan salut kepada para penempuh ibadah haji. Baik tatkala mereka berjuang menegakkan jalan-Nya di padang-padang Baitullah maupun ketika mereka tiba kembali di kampung halaman. Baik untuk mereka yang menempuh haji dengan penuh kemudahan ekonomi sehingga seakan-akan mereka bisa berangkat ke Mekkah setiap hari maupun mereka yang memenuhi perlunasan janji kepada Allah dengan cara menjual sawah, kerbau, menabung setetes demi setetes uang dari hari ke hari.

Betapa tinggi tingkat keberuntungan para penempuh ibadah haji. Setiap hari kita semua mendengar suara azan, mendengarkan seruan “Hayya ‘alal falah!”—mari tempuh kemenangan, keberuntungan, jalan terang, kebahagiaan. Namun, tidak setiap kita, tidak setiap Muslim, tidak setiap manusia memperoleh peluang—di dalam maupun di luar dirinya—untuk mendaki ke jalan yang tertinggi sebagaimana para penempuh ibadah haji.

Manusia haji—jika jenis ibadah itu sungguh-sungguh dikerjakan dan dialami sebagai suatu tahap tinggi pencapaian rohani—adalah manusia paling berseri wajahnya di dalam sejarah, dalam arti yang sesungguhnya. Ada cahaya yang memancar melalui wajahnya, yang bersumber bukan dari wajah itu sendiri, melainkan dari Allah yang bersemayan di lubuk kehidupan. Pada suatu hari seseorang bertanya kepada Rasul Muhammad, sesudah beliau berjanji untuk berkencan dengan “orang-orang yang memperoleh kemenangan” di Telaga Haudh, “Wahai Rasul, bagaimana engkau akan bisa menandai di antara umatmu yang memperoleh kemenangan?”

Jawabannya amat sederhana, “Simahum wujuhihim min atsaris sujud.” Terdapat pancaran cahaya dari wajahnya, yang merupakan tanda dari sujud-sujud-Nya kepada Allah. Frekuensi dan intensitas, atau jumlah dan kadar kekhusyukan su- jud seseorang—jika ia sungguh-sungguh melakukannya—paralel dengan takaran keteduhan wajahnya, ketenteraman jiwanya, kebeningan hatinya, kejernihan pikirannya, serta keterpeliharaan perilakunya.

Para penempuh haji adalah hamba-hamba Allah yang menempuh ufuk terjauh dari ash-shirath-al-mustaqim. Artinya, jalan yang ditegakkan. Maknanya, masing-masing manusia itu sendiri yang menegakkan jalannya, sehingga ia akan jumpai bahwa ternyata jalannya adalah jalan-Nya. Manusia berposisi sebagai subjek atau produsen dari shirath mustaqim, bukan konsumennya. Allah hanya menugasi diri-Nya untuk menyediakan konsep dasar dan metode bagaimana menegakkannya. Selanjutnya manusia bertugas untuk menempuhnya, dan di ujung jalan itu, ia menunggu.

Penggunaan idiom “menegakkan” bukan “menjalankan”, oleh Allah ini sungguh menarik. Seusai azan dilantunkan, kemudian para jemaah mendendangkan puji-puji kepada Allah dan rasul kekasih-Nya, lantas disuarakan iqamah. Artinya, penegakan atau kegiatan menegakkan. Qad qamatish shalah… shalat telah ditegakkan, pertama-tama dalam niat pikiran, keteguhan jiwa, dan keikhlasan hati. Maka, kemudian kita berdiri dan mulai bertakbir karena penegakan badan adalah salah satu jalan agar penegakan rohani mencapai kesempurnaannya. Kita bersama-sama menegakkan badan, hati, pikiran, dan jiwa.

Shirath mustaqim” itu sendiri adalah idiom ketika aktivitas iqamah kita lakukan ke dalam atau atas diri kita sendiri. Noun-Nya: istiqamah. Paralel ilmu kata-Nya: ghasal adalah ‘mencuci’ (pakaian, piring, segaka sesuatu di luar diri kita), sedangkan ightisal adalah ‘mandi’ (mencuci diri sendiri). Maka, aktivitas haji itu semacam “mandi besar” seluruh diri sendiri, agar kemudian memiliki kesanggupan untuk “ghasal” dan “iqamah”: memandikan lingkungannya, menegakkan kebenaran di tengah masyarakatnya.

Betapa mungkin kita tak cemburu kepada saudara-saudara kita yang berkesempatan untuk mandi besar diri, untuk mandi rohani di rumah Allah langsung!

Labbaika Allahumma Labbaik!

Masya Allah …!

Haji madu dan tahap revive

Pada salah satu khazanah pemahaman klasik, ibadah haji itu berlambang madu—sesudah idiom madu itu sendiri menjelaskan tingkat kemanfaatan, dan pada konteks manusia, konteks kemanfaatan tentulah sangat beraksentuasi ke kemanfaatan sosial. Jadi, Haji madu adalah suatu keadaan kepribadian, suatu situasi mental dan atmosfer sikap rohani yang berkegunaan sosial tinggi.

Dengan kata lain, indikator kemabruran seorang haji, logikanya tecermin melalui dua dimensi. Dimensi pertama, kemabruran menurut persepsi Allah, semata-mata hanya Beliau sendirilah yang mengetahui sehingga tak pantas kita menghakimi seorang pun seolah-olah kita adalah perwakilan Allah dalam kedudukan kehakiman-Nya.

Akan tetapi, semustahil apa pun kemabruran di mata Allah, mestinya tetaplah memantul ke realitas hidup hamba-hamba-Nya. Ia mestinya termanifestasikan melalui—misalnya—social output dari perilaku hidup seorang yang bukan atau belum haji dengan seseorang lain yang sudah haji, secara teoretis, berbeda pada kadar kemanfaatan sosialnya.

Mungkin hal ini bisa kita analogikan dari konteks dan tingkat mutu sosial ibadah shalat. Shalat didefinisikan oleh Allah sendiri sebagai suatu mekanisme preventif untuk mencegah kemungkinan fakhsya dan munkar, atau segala kecenderungan yang membuat manusia merugi sendiri karena melawan arus tradisi yang diciptakan oleh Allah.

Jadi, tahap kemanfaatan shalat masih pada tahap defence. Mempertahankan diri dari berbagai ancaman yang terutama bersumber dari kandungan nafsu di dalam diri manusia sendiri. Puasa memberikan metode kepada pelakunya untuk melakukan sublimasi, transendensi, penjernihan, dan esensialisasi rohani. Sesudah tercapai kejernihan, manusia menguakkan wawasan sosial melalui kerelaan zakat. Zakat menawarkan penyempurnaan hakikat manusia sebagai makhluk sosial.

Dari dimensi kesadarannya, nalurinya, sampai setiap keputusan langkah hidupnya yang menyangkut kehidupan orang banyak.

Dengan zakat, manusia dimungkinkan untuk menjadi matang sebagai manusia sosial karena terlebih dahulu dima- tangkan kediripribadiannya oleh puasa.

Maka, dengan bekal dua kematangan itu, ibadah haji akan mengantarkan menjadi manusia pinilih. Menjadi manusia pilihan, dan yang memilih kadar tertinggi kematangannya itu tak lain dari dirinya sendiri. Haji tidak lagi membiarkan manusia berkeadaan survive dari tantangan-tantangan kejahatan dan kemungkaran hidup, sebagaimana ibadah shalat bertugas untuk tahap itu. Haji adalah bayangan dari kondisi Insan Kamil, di mana pelakunya amat bisa kita harapkan untuk “menyarangkan gol-gol kemanfaatan sosial” di lingkungan hidupnya.

Para dokter bisa menerangkan kepada kita seberapa bermanfaat madu bagi kesehatan badan kita dibandingkan segala jenis makanan atau minuman lainnya; atau setidak-tidaknya simbol madu itu bermaksud memaparkan kepada kita bahwa kalau seseorang tiba dari naik haji, bisa dipastikan ia hanya akan menyebarkan madu, dan sama sekali tidak mungkin menaburkan racun atau onak duri di kampungnya.

Mahkota kepribadian dan deprimordialisasi

Ibadah haji itu sebuah kemesraan cinta spiritual yang serius. Ia sangat romantik dan penuh tawaran adegan-adegan linking up yang mesra. Allah tak henti-hentinya memanggil hamba-hamba-Nya untuk “berkencan dalam suatu pertemuan agung”, dan ibadah haji adalah salah satu peluang sangat istimewa untuk itu. Allah, dengan bahasa dan dendang nada irama-Nya yang sangat universal dan sangat dipahami, selalu melantunkan nyanyian kasih yang memanggil-manggil. Allah menyapakan cinta-Nya, membisikkan kasih-Nya, melalui lambaian daun-daun, berembusnya angin, memancarnya sinar matahari, berlangsungnya tradisi-tradisi natur yang betapa indahnya. Juga melalui sangat banyak gejala pengalaman kecil maupun besar dalam keseharian hidup hamba-hamba-Nya. Allah tidak sekadar berkomunikasi dengan kita melalui firman-firman literer-Nya, melainkan sangat rajin “menggamit pundak” kita di pagi, siang, sore, dan malam hari kehidupan kita. Sehingga terkadang terasa seakan-akan Allah sedemikian merasa sepi sendiri karena kita sedemikian tidak peka dalam mendengarkan sapaan-Nya. Telinga kita, hati, dan kesibukan hari-hari kita lebih tertarik untuk mendengarkan sapaan-sapaan cinta palsu yang berasal dari sekitar rumah kita, dari layar televisi, halaman iklan, toko-toko, bayangan-bayangan semu yang diproduksi oleh klenik tentang kekuasaan, karier, obsesi pemilikan, dan keserakahan yang—bagaikan api—bisa membakar seluruh bumi kehidupan ini.

Maka, kesempatan berhaji adalah peluang untuk menyelenggarakan penjernihan diri kembali. Semacam “wudlu besar” yang memungkinkan seluruh wajah kita, penglihatan mata, penciuman hidung, pendengaran telinga, kepekaan seluruh saraf komunikasi—pada dimensi fisis maupun psikologis dan spiritual—mengalami pencucian total.

Ibadah haji adalah sebuah workshop pencerahan diri. Para pelakunya menguakkan pintu untuk mencapai kondisi muthahhar, ‘tercerahkan’. Kalau seseorang pulang dari berhaji, ia akan menemukan Qur`an kehidupannya lahir kembali di dalam jiwanya. La yamassuhu illal muthahharun, demikian tercantum di halaman depan Kitab Suci. Realitas Qur`an, ilmu Qur`an, cahaya Qur`an, kearifan Qur`an, keterangbenderangan petunjuk Qur`an, muatan substansi dan paparan metodologi Qur`an, tak bisa disentuh, kecuali oleh kepribadian manusia yang telah tercerahkan. Tercerahkan pada empat tataran: intelektual (objektivitas berpikir), spiritual (kejernihan jiwa, kebersihan hati, ketulusan perasaan, serta kepekaan rohani terhadap atmosfer rubbiyah atau keilahian), mental (keten- teraman, elastisitas dan relaksitas, kedamaian, keseimbangan), serta moral (integritas sosial, kesantunan kemanusiaan, sikap demokratis).

Di hadapan mata para pelaku ibadah haji terhampar cakrawala kemungkinan untuk mencapai mahkota kepribadian semacam itu. Saya sebut “mahkota kepribadian” karena pada hakikatnya ibadah haji berlangsung tidak terutama di Ka’bah dan tempat-tempat rukun lainnya di Tanah Suci, melainkan terutama terletak dan berlangsung di dalam diri masing-masing pelaku haji itu sendiri. Ka’bah dan Tanah Suci tidak kita agung-agungkan karena Allah tidak pernah memerintahkan demikian, di samping tidak masuk akal kita sendiri. Orang berhaji bukan untuk menyembah Tanah Suci dan menuhankan Ka’bah, meskipun ia adalah Baitullah, rumah Allah. Tingkat kemakhlukan manusia tiga tingkat lebih tinggi dibanding Ka’bah dan Tanah Suci, kecuali jika manusia—dengan sistem-sistem nilai dan mekanisme realitas sejarahnya—menurunkan derajatnya menjadi sepadan dengan batu-batu yang gampang diinjak-injak atau dengan serigala yang menghabiskan hidupnya untuk melakukan kekejaman-kekejaman terhadap hamba-hamba Allah.

Orang naik haji, karena itu, tidak pulang ke kampung untuk membangga-banggakan pengalamannya dengan Ka’bah karena ia bukan barusan melakukan perjalanan turistik. Orang menjadi haji artinya berhasil melahirkan kembali kepribadiannya, menjadi “makhluk” yang sama sekali baru. Kemudian mensyukurinya. Kemudian menikmatinya. Kemudian menaburkan kemanfaatannya ke lingkungannya, baik pada skala kampung, komunitas, negara, maupun universitas kemanusiaan.

Misalnya, di dalam rukun haji, ada yang namanya “Gerakan Ihram”. Suatu kewajiban di mana tidak seorang pun diperkenankan memakai pakaian, kecuali kostum ihram yang bersifat sangat universal dan memakai warna inti, warna sumber, yakni putih.

Ihram adalah gerakan deprimordialisasi. Allah menunjukkan secara gamblang kepada makhluk-makhluk-Nya bahwa tidak sepanjang hidupnya manusia boleh memelihara kebodohan untuk hanya pernah mencapai tingkat primordialisme hidup. Tidak usah menunggu tua untuk mengerti kesejatian. Tidak usah menunggu hancur untuk sanggup memahami perbedaan antara yang palsu dengan yang murni. []

**Diambil dari buku “Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai” diterbitkan Bentang tahun 1994.

Lainnya

Puasa: Menuju “Makan Sejati”

Puasa: Menuju “Makan Sejati”

Ilmu Rasulullah Saw, “hanya makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang”, telah menjadi pengetahuan hampir setiap pemeluk agama Islam, tetapi mungkin belum menjadi ilmu.

Imunitas Kultural

Imunitas Kultural

Sang Tuan akhirnya percaya bahwa ia seorang tuan.
Si Budak akhirnya percaya bahwa ia seorang budak.