Unlimited “N” dan Gaussian Curve


The Adjustment Mind
Pak Munir mengurai pemikiran. Masa dimana tanah Arab masih jahiliyah, tribal-tribal berkuasa hanya demi memperebutkan lahan dan air. Namun di bumi nusantara ini, di tanah yang kita cium aromanya ketika hujan tiba sudah berdiri candi-candi, dari era Kutai, Tarumanegara, sampai Kalingga. Namun pertanyaan besar yang menggumpal adalah di mana itu semua? Dimana peradaban besar itu? Kita seolah-olah terlalu mengglorifikasi masa lalu tapi sekaligus kehilangan keagungan yang kita glorifikasikan.
Berbagai pertanyaan tentu muncul, sejak kapan kita kehilangan adab, kehilangan akhlak, lalu kita terjangkiti penyakit instan yang dibawa oleh arus modern. Lebih lanjut diurai bagaimana moderisme juga membawa dampak-dampak besar dalam segala lini. Seperti banjir di tengah kota yang semakin bergeliat ‘membangun’, pengerasan tanah karena pestisida, polusi yang berdampak pada kesehatan, atau banjir informasi digital yang malah menaikkan suhu sinisme daripada memberikan khazanah pada penggunanya.
Bisa dikatakan mengapa justru muncul dampak negatif dari apa yang sering disebut usaha-usaha untuk kemajuan. Yang akhirnya hasilnya justru berkebalikan dengan apa yang dicita-citakan. Atau memang yang mereka sebut kemajuan itu justru dikendalikan oleh suatu kaum tertentu, atau sebuah tatanan tertentu? Yang mungkin kita kemudian diputus mata rantai sejarah dan tidak melanjutkan lagi apa yang sejatinya menjadi peradaban masa lalu, hingga kita tidak lagi menemui di mana keagungan Nusantara itu sekarang. Apakah tinggal mimpi? Atau kita yang tak berusaha lagi memimpikan untuk kemudian mewujudkan? Pertanyaan-pertanyaan serupa lainnya terus mengganjal untuk dijawab.
Dalam sebuah selentingan Pak Munir memuji bagaimana film-film besar Hollywood terlahir dari mimpi dan imaginasi yang besar pula, kemudian diwujudkan dalam karya. The Adjustment Bureau adalah salah satu yang disebut. Film ini singkatnya bercerita tentang takdir seseorang yang dikendalikan oleh “tatanan” tertentu namun Norris pemeran utamanya berusaha terus menerus menjadi dirinya sendiri, kembali ke “rencana awal” atau personalitas dari pemeran tanpa mau diganggu oleh “tatanan takdir”. Konsep ini sebenarnya menarik sepanjang yang pernah saya tangkap film ini, berbicara tentang Kehendak Diri dan Kehendak Tuhan lewat staf-stafnya. Bagaimana kehidupan secara virtual diatur oleh ‘tatanan’ untuk keseimbangan realitas dunia manusia, namun manusia juga punya kehendak subjektif untuk menentukan dirinya sendiri. Ulak-alik kesadaran kehendak.
Hal demikian pula juga terjadi di ranah peradaban, mungkin juga proses diskontinuasi sejarah oleh datangnya peradaban baru kemudian menutup daya serap kita terhadap teknologi masa lalu. Di masa modern kita mungkin menganggap mantra-mantra itu seperti orang tak jelas, kuno dan gagal teknologi karena peradaban kita memang dijauhkan dari teknologi itu. Padahal bagi mereka yang bisa mengaplikasikan mantra-mantra memang seperti password untuk membuka sesuatu.
Seperti aplikasi Facebook, yang ketika ingin melihati isinya kita akan disuguhkan kolom username dan password. Mungkin jika kalian kembali ke masa lalu hal sama yang akan dituduhkan kepada kalian, karena bagi mereka di masa lalu orang duduk diam memegang gadget, sibuk berselancar di internet, bisa video-call ke seseorang itu juga merupakan tindakan klenik yang sama seperti tuduhan ketika orang-orang tua kita mengutarakan mantra-mantra karena ketidaktahuan kita. Atau seperti Matahari yang sebetulnya terus bersinar tetapi keterbatasan kita mengejar rotasi bumi inilah yang menimbulkan konsep siang dan malam. Maka mengutip mas Sabrang penting bagi kita untuk selalu melakukan penyesuaian sudut, jarak, sisi, dimensi, perpektif pandang. Adjustment.
Unlimited “N” dan Gaussian Curve
Mas Arsanto melengkapi bagaimana petuah orang tuanya adalah wong Jawa aja lali Jawane. Di saat yang sama juga mempertanyakan di mana etos kerja orang Jawa dulu dalam membuat teknologi, dalam membuat susunan peradaban yang sangat kompleks dst. Geliat Moderisme yang erat dengan percepatan berujung pada budaya instan. Kita kemudian kehilangan kesetiaan pada proses, proses yang harus terus menerus dilakukan sampai mimpi-mimpi, harapan kita terwujud.
Selanjutnya mentadabburi Pemimpi(n), Mas Arsanto mengutarakan soal dimensi dalam matematika bahwa titik netral bilangan bulat ada di angka 0. Sebelah kanannya adalah bilangan bulat positif, sebaliknya negatif. Begitu dari 1,2,3,4,5 …. dan -1,-2,-3, -4, -5 … dst tak terbatas. Dan simbol yang dipakai untuk ketidakterbatasan ini adalah “n”. Sementara secara substansi Yang Tak terbatas itu hanya Allah semata. Akhirnya seperti impian, harapan yang tak terbatas dalam hidup, bekerja, bersosial pun ujungnya harus pada Pemilik ketidakterbatasan itu sendiri. Niatkanlah segala sesuatu untuk Allah, libatkanlah Dia dalam segala sesuatunya.