Tiga Jenis Manusia dan Perjuangan Demokrasi Nubuwah
“…Agar kalian tidak tertekan oleh apapun yang semestinya kalian tidak tertekan. Agar kalian tidak bingung, sedih, menderita, frustasi, putus asa, berang dan marah, oleh hal-hal yang tidak selayaknya membuat kalian mengalami semua itu”
(TAJUK “Yang Percaya, Percayalah Yang Ingkar, Ingkarlah”)
Kasih Mbah Nun Kepada Anak-Cucunya
Beberapa pengantar sudah dituliskan oleh Mbah Nun dalam beberapa seri Tajuk yang terbit di web kita ini. Rangkaian tulisan Mbah Nun ini sangat terasa sekali sebagai sebuah bentuk perhatian dari seorang Mbah kepada anak-cucunya. Ada perhatian, pengayoman yang merasuk di setiap spasi, huruf dan batang-batang paragrafnya. Sebuah ekspresi kasih di mana tidak akan tega seorang orangtua menyaksikan anak-cucunya ditimpa kesulitan hidup yang tidak semestinya.
Kita perlu mengkontinuasi kasih ini dengan olah ketajaman pikir, kepekaan rasa, kekokohan logika dan juga mereproduksinya kembali menjadi rangkaian Sinau Bareng penuh cinta. Kita perlu lebih produktif, lebih giat belajar, lebih berjihad, lebih total dalam penghidupan, lebih membangun kemesraan, lebih tuntas finansial dan ekonomi dan lebih tangguh ber-Islam. Demi diri kita sendiri, minimal ingat juga ini semua tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membalas kasih dari Mbah Nun yang telah begitu perhatian pada kita.
Dan dari situ kita bisa menangkap bahwa bahasan selama lebih kurang tiga bulan kedepan di Majelis-Majelis Ilmu Maiyah akan mengerucut pada pembahasan mengenai manusia nilai, manusia pasar, dan manusia istana. Sekali lagi kita perlu ingat, ini semua dibahas untuk pertama dan paling utama adalah agar lebih mempermudah keseharian kita dalam bergelut dengan kehidupan.
Pada Mocopat Syafaat bulan Agustus 2019 M kali ini pun demikian. Dan seperti biasa setiap bulannya, majelis kebersamaan dan kegembiraan ilmu kita ini tetap diadakan pada tanggal tujuh belas. Dibuka dengan pembacaan mushaf Al Qur’an oleh Mas Ramli serta jamuan-jamuan shalawat yang menenteramkan. Sementara Mbah Nun juga menyempatkan diri untuk menerima tamu dari kalangan Nahdliyin di dalam ruangan. Reportase mengenai ini sudah bisa dibaca juga. Maiyah memang tidak lahir dari rahim ormas tertentu, tapi hubungan baik dengan semuanya tetap terjalin karena kita selalu belajar menampung semua hal yang berbeda sekalipun dari kita.
Setelah menerima tamu di dalam rumah, Mbah Nun kemudian naik ke panggung dan menyapa para JM yang memadati lokasi Mocopat Syafaat. Sejak awal kita diajak untuk mengingat kembali pentingnya membangun kecerdasan kolektif. Mbah Nun mencontohkan dari syair lagu “Thola’al Badru” yang hingga sekarang belum terlalu jelas siapa pemilik hak ciptanya. Mungkin sekali dia adalah karya yang lahir dari ekspresi kolektif, kegembiraan bersama. Komunalitas memang cenderung memancing imajinasi kolektif dan dari situ sering timbul kecerdasan kekuatan bersama. Walau tentu ada kekurangannya bila dipandang dari sudut pandang modernitas rasional, yakni imajinasi kolektif biasanya tidak begitu presisi pada analitik dan detail.
Imajinasi kolektif cenderung melahirkan tradisi bersama, namun seiring waktu sering terbekukan menjadi hanya perulangan belaka. Maka inilah yang coba kita jangkepi kembali di Maiyah. Bagaimana imajinasi kolektif itu tetap menjadi penyala perjuangan namun presisi analitik juga tetap diasah. Karena itu kita Sinau Bareng. Maiyah kita tahu, selain selalu melestarikan yang sudah ada namun bila dipandang dari sisi lain juga adalah tradisi baru. Ada kegembiraan komunal dan ada kemandirian individual di dalamnya, toh memang tidak mesti terpisah.
Workshop Manusia Nilai, Manusia Pasar, dan Manusia Istana
Setelah menyapa Jamaah yang penuh akan kerinduan, Mbah Nun memanggil Mas Helmi dan kawan-kawan yang malam ini bertugas memandu workshop untuk juga terlibat di atas panggung. Sesi workshop pada malam ini dipandu oleh teman-teman dari NM dan RMS. Setelah Mas Helmi memberikan paparan ringkas mengenai hal terbaru yang termaktub di dalam Tajuk terbaru yang ditulis Mbah Nun terutama soal adanya variabel baru selain tiga jenis manusia, juga ada tiga jenis peristiwa. Jadi selain ada manusia nilai, manusia pasar dan manusia istana juga ada peristiwa nilai, peristiwa pasar, dan peristiwa istana.
Setelahnya para petugas di panggung kali ini langsung memfasilitasi terbentuknya kelompok-kelompok berdasarkan latar belakang sosial yakni kelompok mahasiswa, kelompok pedagang, dan kelompok pekerja sosial. Dan pengajuan individu yang berniat untuk terlibat dalam workshop diutamakan terlebih dahulu dari hadirin yang berada di luar pagar pekarangan TKIT Alhamdulillah, lokasi yang menjadi saksi berjalannya majelis ilmu Modopat Syafaat bertahun-tahun ini.
Soal mengutamakan yang di luar pagar ini, adalah karena dari pemantauan teman-teman di panggung, lebih sering yang terlibat dalam workshop adalah para jamaah yang selalu berada di barisan terdepan. Kita perlu berinovasi untuk lebih mampu menjangkau, menaklukkan hambatan jarak dan ruang. Dan ternyata memang animo para hadirin yang di barisan belakang juga tampak lebih menyala.
Tiga kelompok terbentuk dan dengan segera diberikan pertanyaan-pertanyaan. Pertanyaan workshop kali ini adalah: Pertama, seperti apakah manusia nilai, manusia pasar, dan manusia istana itu? (berdasarkan pembagian tema per kelompok) Kedua, ceritakan sebuah peristiwa baik dari pengalaman maupun pengamatan yang bisa dikategorikan sebagai manusia nilai, pasar dan istana dan ketiga, yang sifatnya analitik keluar diri, adalah peserta diminta memberikan refleksi mengenai kondisi kehidupan masyarakat serta bagaimana mensikapinya.
Kelompok-kelompok tersebut kemudian mengambil tempat untuk berdiskusi sementara babaran mengalir dari para petugas di atas panggung. Terutama malam ini kita juga berkesempatan memetik hikmah dari Mas Fauzi yang meceritakan pengalaman-pengalaman beliau terutama dalam kaitannya bagaimana Mas Fauzi mendialektiskan peristiwa pasar dan peristiwa nilai.
Kacamata pandang tiga jenis manusia ini tampaknya memang sangat realistis dan untuk masa ini sangat membantu dalam menangkap banyak fenomena. Baik fenomena diri maupun fenomena sosial dan kultural. Kita bisa lihat kemudian dari sesi jawaban-jawaban para peserta workshop kemudian mengalir obrolan-obrolan yang diambil dan dihikmahi dari hidup keseharian. Ilmu yang paling jitu adalah yang diambil langsung dari bumi kenyataan. Dan itu tampak sekali pada majelis-majelis Maiyah.
Kita bisa lihat kemudian ada Pak Suwono dari kelompok bakul yang menceritakan pengalamannya selama berdagang, tidak putus asa dan tak henti berikhtiar. Mempertahankan diri sebagai manusia nilai di tengah kepungan pasar dan kuasa-kuasa istana. Tapi yang terutama memang kita perlu mewaspdai istana dalam diri, bukan? Sedangkan kelompok mahasiswa menganalisis dengan kalimat-kalimat yang terdengar kekinian, gaul. Dari kelompok pegiat sosial, kita mendapat pemaparan yang bersifat rasional. Semua saling melengkapi.
Kebersamaaan itu terus berlanjut hingga malam memuncak. Sesekali diselingi nomor-nomor KiaiKanjeng, salah satunya yang sangat pas untuk malam hari ini adalah nomor “Berlaksa Cahaya” memang berlaksa cahaya sedang deras berupa kebersamaan. Bahkan, malam hari ini juga para jamaah diajak untuk terlibat menyumbang saran untuk tema yang akan diangkat pada Mocopat Syafaat bulan depan. Tentu sedikit memakan waktu, tapi bila kita bicara demokrasi, bukankah demokrasi yang sejati adalah kesediaan kita untuk meluangkan waktu barang sejanak untuk mendengarkan seluas mungkin suara? Bukan sekadar menjadikan suara manusia sebagai angka statistik dalam bilik-bilik politik.
Tapi sebenarnya untuk apa kita bersama? Apakah sekadar romantisme semata? Pintu hikmah itu membuka ketika Mbah Nun ditanya oleh seorang ibu yang tadinya tergabung dalam kelompok workshop. Ternyata ibu ini menyimpan kegelisahan sendiri. Beliau tampaknya baru malam hari ini terlibat di majelis Mocopat Syafaat dan sang ibu sangat bersyukur karena tema ini berkaitan langsung dengan kegelisahannya yang sedang diamanahi untuk mengelola dana dari beberapa pengusaha untuk menghidupkan perekonomian. Ibu ini merasa semua itu sangat di luar kemampuannya, dan meminta pendapat Mbah Nun atas persoalan tersebut. Kalimat awal Mbah Nun sangat jelas sebagai pagar “Saya tentu tidak bisa menjawab sebagaimana Allah menjawab” dan dari sini kemudian beberapa masukan, saran dari yang paling riil sampai yang sifatnya spiritual diberikan oleh Mbah Nun. Terutama soal membangun kebersamaan di dalam mengemban amanah.
Bersama Menyangga Nubuwah
Mulai dari sini kita diajak oleh Mbah Nun berpikir kembali bahwa “Kenabian memang telah berakhir tapi nubuwah tidak pernah berakhir. Maiyah adalah jalan kenabian” ini jelas tidak untuk dibangga-banggakan. Karena kita tahu, yang namanya kenabian bukanlah sebuah keistimewaan yang membuat seseorang merasa spesial. Kita tahu belaka, nubuwah adalah amanah. Dan amanah itu berat. Mbah Nun berpesan pada para jamaah, bahwa kita tidak punya kemampuan intelektual dan spiritual yang memadai seperti semua nabi dan rasul dan itulah alasan kita untuk membangun kebersamaan. Mengutip kalimat Mbah Nun “Kita harus bekerja sama menyangga kenabian”.
Doa-doa dilantunkan khidmat penuh harapan. Di kejauhan suara ayam yang paling rajin mulai membanggakan suaranya. Malam sudah akan berpulang, putra-putri mutahabbina fillah yang berjalan dari berbagai arah bermuara pada cinta telah mereguk kembali ilmu. Menjaga jarak sementara dari dunia, melihat dengan jernih kembali dan untuk kembali hidup layak dan wajar di tengah raksasa struktur dunia. Ketangguhan dibangun di Maiyah agar peran kita dalam kehidupan berjalan dengan optimal. Maiyah bukan tempat kita membangun istana-istana kuasa, kita tidak “merangkaki dinding buta” (meminjam istilah Chairil Anwar) di sini. Kita menjaga jarak sebentar dari dunia, untuk melihat dengan jelas pasar-pasar dalam diri dan kuasa istana-istana kecil-kecilan yang kita miliki berdasarkan status sosial, gender, dan lain sebagainya.
Tidak ada struktur baku di Maiyah maka dengan sendirinya tidak ada struktur yang bisa dipanjat-panjati seperti lomba panjat pinang sosial setiap perayaan ideologi nasionalisme Indonesia. Maiyah bukan pelarian karena kita tidak mampu berperan dalam struktur dunia, kita menjumput ilmu dan kemesraan di Maiyah agar “anfa’uhum linnas” dalam struktur yang sedang berlangsung, baik struktur keluarga, sosial, budaya, politik, ekonomi dan sebagainya. Perjuangan nubuwah dimulai di dunia kita masing-masing. (MZ Fadil)