CakNun.com

Sinau Menjadi Jam’iyyah Pengusaha Sorga

Catatan Majelis Maiyah Mocopat Syafaat, 17 April 2019

Demokrasi selalu dianggap update, sesungguhnya hanya karena ada kelas-kelas atau golongan tertentu yang selalu aktif memaknainya. Biasanya kelas intelektual yang terlanjur bergantung dari struktur-struktur yang dilahirkan oleh demokrasi itu sendiri. Maaf agak melenceng, semoga tidak terlalu jauh. Ini pemaknaan yang saya dapati ketika mendengar kalimat Mbah Nun, “Jadi yang dianjurkan oleh Allah di Al-Qur`an itu tadabbur. Kalau tafsir malah tidak ada teksnya”. Sayangnya, yang berabad-abad dimaknai manusia adalah tafsir.

Di Negeri Maiyah, kita berusaha tidak jadi tergantung pada struktur apapun. Sehingga tidak perlu ada pemaknaan yang berasal dari kemapanan posisi belaka. Mengambil istilah dari Mas Sabrang pada malam hari ini, yang kita benahi adalah “kuda-kuda”-nya. Jam’iyah Pengusaha Surga tentu akan berkaitan dengan pola perdagangan, tapi apakah kuda-kuda kesadarannya sama dengan kesadaran di dimensi lain? Untuk menjabarkan hal ini, Mas Sabrang mengajak kita untuk menelusuri semacam garis genaologi kesadaran manusia terhadap uang.

Bahasan serupa mungkin pembaca yang budiman bisa baca atau simak di materi-materi dan buku Yuval Noah Harrari. Bahasan soal ini memang mirip, tapi sekali lagi yang berbeda jelas adalah kuda-kuda kesadarannya. Harrari tidak akan membahas soal ketauhidan bukan? Di Negeri Maiyah kita selalu berawal, berperjalanan dan kembali pada tauhid. Begini poin yang mungkin saya garis tebalkan dari Mas Sabrang, “Kalau kita mencari ceruknya adalah manfaat untuk orang lain, apapaun yang kita lakukan adalah pahala. Duit yang kita terima dari orang lain itu bukan bayaran karena kita bermanfaat (tapi) duit yang kita terima adalah rasa terima kasih yang diberikan oleh orang-orang yang mendapat manfaat dari kita.”

Soal perdagangan dan spiritualitas memang ada juga yang pernah membahas, tapi rasanya yang selalu saya dengar (atau apakah pembaca juga seringnya mengalami ini?) selalu harus seolah satu mengabdi pada yang lain. Maksudnya, seperti misal dalam kumpulan kebatinan jalankan laku ini-itu, wirid dan shalawatan anu sebagainya supaya dagangan lancar. Ada juga bahasan lain yang justru ekstrem mengajak orang untuk menjauhi segala macam bentuk perdagangan yang menurut mereka riba. Dua titik ekstrim ini sudah lumrah dan mainstream. Tapi sebagai Pengusaha Surga yang dimaksud oleh Mbah Nun adalah bagaimana semua saling mengabdi-mesra satu sama lain.

Ketika perdagangan dijalankan, ya pola berdagangnya itu yang menurut Mbah Nun adalah wirid itu sendiri. Atau dengan jelasnya Mbah Nun berkata, “Semuanya adalah wiridan, apa yang bukan wiridan?” Nafas, langkah kaki, tolehan kepala, setiap bentuk transaksi, setiap hela rindu, susuran mata anda saat membaca dan semoga juga setiap pencetan tombol keyboard saat menuliskan ini, semoga. Kita berusaha bersama mewiridkan hidup kita.

Sayup-sayup ini juga akhirnya menggugat beberapa istilah yang selama ini diterima di masyarakat seolah tidak ada yang salah seperti kalimat “ekonomi syariah”. “Jadi kalau ada ekonomi syariah berarti (apakah) dia tidak punya dimensi haqiqat? Tidak punya dimensi ma’rifat? Dan tidak punya dimensi thoriqot?”, Mbah Nun mengutarakan hal ini dan sangat tepat sasaran.

Kita berada pada penyempitan-penyempitan pemaknaan yang telah dibangun berabad-abad. Masyarakat Negeri Maiyah tampaknya adalah manusia generasi awal yang menyadari kesalahkaprahan peradaban tersebut. Namun juga tidak punya ketegaan hati untuk menuding segala yang berlaku di luar sana sebagai kekeliruan. Maka manusia-manusia yang telah merasakan kelezatan ‘ajibah Maiyah ini konsentrasi membangun ke dalam dirinya. Memperkokoh kuda-kudanya, meluruskan arah perjalanannya dan menegakkan “mustaqim”-nya.

Manusia Negeri Maiyah yang saya rasakan adalah manusia yang sudah tidak bisa berada dalam kesempitan sehingga mereka harus membangun keluasannya sendiri dan itu tantangan juga. Sebab kata Mbah Nun, “Kita selalu punya kecenderungan untuk mempersempit”. Salah satu penyempitan makna yang sangat fatal dan kawin pula dengan pola pikir fakultatif adalah kesadaran seolah ada ahli ilmu dunia dan ada yang ahli imu akhirat. Kelas ulama akhirnya dimaknai dengan sangat sempit seolah hanya orang-orang tertentu yang menguasai ini-itu yang berkaitan dengan masalah ibadah mahdlah, sunnah, wiridan, shalawatan dan sejenisnya sehingga ulama (dalam definisi yang mainstream saat ini) menjadi tidak relevan untuk kita bertanya mengenai, misalnya, peta jalur investasi permodalan atau bahkan cara bertani yang efektif.

Lainnya

Kampus ITS Gemakan Advancing Humanity

Kampus ITS Gemakan Advancing Humanity

Setelah malam sebelumnya Mbah Nun hadir membersamai jamaah Padhangmbulan, tadi malam (22/9) beliau bersama Mbah Ahmad Fuad Effendy dan Dr.