SDA (Sumber Daya Alhamdulillah)
Saya terlambat datang ke Sinau Bareng malam ini tanggal 13 Mei 2019 M, saya tiba sekitar pukul 22.30 WIB di lokasi kemesraan digelar di kantor PLN Yogyakarta di bilangan Banguntapan, Gedongkuning, Bantul, Yogyakarta. Seorang sahabat mengabarkan bahwa acara sudah dimulakan oleh KiaiKanjeng dan kemudian bahasan mengenai kalimat thayyibah oleh Mbah Nun. Pada poster yang dibuat oleh panitia, terpampang kalimat hashtag #EnergiOptimisme dan Alhamdulillah Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng. Bulan setengah penuh di awal pekan Ramadlan ini. Panggung dengan dominasi warna putih berdiri di halaman kantor PLN, hadirin sudah padat, dan meluber hingga keluar.
Kalimat pertama yang tertangkap oleh telinga saya adalah ketika Mbah Nun sedang memberi opsi pemahaman mengenai tahajjud. Satu hal yang menarik dalam berbagai majelis Maiyah adalah Mbah Nun tidak melulu mengudar dawuh fatwa yang dengan serta merta dianut oleh jamaah. Itu membuat jamaah Maiyah bukan ummatan dicucuk hidungnya, tapi punya energi merdeka dan daulat berpikirnya terjaga.
Wacana mengenai tahajjud yang ditawarkan oleh Mbah Nun kemudian sedikit disempurnakan oleh Kiai Muzammil. Dan inilah kemesraan Maiyah, dan kami bersyukur.
Mbah Nun menyampaikan juga bahwa apabila ditanyakan apa agenda atau tujuan pribadi, “Kalau ada kemseraan antar berbagai segmen, lapisan, antara petugas dengan masyarakat. Itulah agenda saya”. Ini memang Mbah Nun ucapkan setelah nomor “Ilir-Ilir” dilantunkan bersama dengan dibarengi secara nadawi oleh KiaiKanjeng sementara seluruh hadirin yang terdiri dari berbagai lapisan ikut bernyanyi dan bergembira.
Jadi apa hubungannya antara PLN yang mengurusi energi listrik dengan kalimat syukur? Dan apalagi dengan berbagai kalimat thayyibah? Beberapa kelompok telah terbentuk, mereka memilih kalimat thayyibah sendiri untuk kemudian akan dielaborasi dengan angle dan pengalaman masing-masing. Pada satu kesempatan malam ini juga Mbah Nun menegaskan bahwa, “Satu pengalaman tidak bisa dipatahkan oleh pengalaman lainnya”. Dari sini kita bisa melihat bahwa dalam majelis Maiyah kita sesrawungan, kolektif tapi juga tidak kehilangan otentisitas pencarian masing-masing. Jadi kalau ada orang yang waswas dengan bahasan di Maiyah, itu kemungkinan karena dia terkurung dalam pemahaman sempit bahwa semua orang akan mudah diseragamkan oleh pengudar fatwa apalagi yang terlanjur berselamur mistis-mistisan.
Bersyukur adalah optimisme itu sendiri, Mbah Nun menjelaskan dengan logika dimensi waktu. Bahwa apa yang kita anggap buruk atau biasa saja pada saat ini, bisa saja malah akan menjadi hal yang baik pada perjalanan waktu ke depan. Pun sebaliknya dan begitu terus, dialektis tanpa henti. Syukur adalah kemudian kita optimis bahwa semua hal adalah baik. Wong londo Inggris punya istilah “Blessing in disguise”. Detail prosentase kelompok-kelompok workshop akan lebih menarik dituangkan dalam tulisan sendiri, saat tiba pada paragraf ini nomor Duh Gusti melantun dan terasa sangat khidmat. Sangat dalam dan energi syukur memenuhi rongga para hadirin. Logika ditegakkan, rasio dimaksimalkan dan iman digapai. Itu juga adalah bentuk syukur kita terhadap segala potensi yang Gusti Allah Swt anugerahkan pada kita.