Peristiwa Merealistiskan Shalawat
Selama ini, kalau saya dengar jargon “membumikan sholawat” rasanya saya tidak menangkap lebih dari sekadar memainstreamkan nada-nada serta lirik shalawat agar lebih naik ke permukaan pop-culture dan sudah. Nada shalawat memang lama-lama lumayan populer, tapi dalam ranah anfa’uhum linnas, dimanakah letak keberfungsiannya? Saya punya beberapa kawan atheis yang saat dengan sedikit terpaksa ikut kegiatan masyarakat, mereka tidak punya rasa keterkaitan dengan apa yang mereka sebut “mantra Arab” ini. Saya terhibur juga dengan istilah ini, dan jelas bukan salah mereka kalau mereka taunya seperti itu sebab begitulah wajah shalawat selama ini tampil.
Tapi yang terjadi di Sinau Bareng? Nada shalawat dan nada-nada tradisional seperti Shalli Wasallim, Eman-Eman, Ilir-Ilir dan Tombo Ati dijadikan bahan untuk kegembiraan, kemesraan dan pelajaran mengenai kekompakan masyarakat serta leadership, yang dengan sendirinya juga soal bertanggung jawab. Sebab apalah kepemimpinan bila tanpa tanggung jawab. Sesi dolanan dilaksanakan dengan media nada-nada tersebut pada Sinau Bareng di Lamongan malam ini, di mana lapangan desa yang sangat luas ini seperti ditumpahi oleh berbagai ragam jenis manusia hingga meluber-luber seperti percintaan tanpa kenal lelah. Seperti tema yang dipilih oleh penyelenggara pada malam hari ini yang terpampang di background panggung “Merajut Ukhuwah, Menebar Cinta”. Nah malam ini kita gembira dan bercinta.
Jamaah percintaan dibagi menjadi tiga kelompok besar dengan tugas menyanyikan nomer masing-masing. Ketika kode diberikan oleh petugas dolanan yakni Mas Dony, Mas Jijid dan Mas Islami, kelompok berganti. Nyanyikan nomornya. Ganti lagi. Menyanyi lagi.
Apa yang saya tangkap? Ya maaf kalau istilah membumikan shalawat sudah terlalu sering dipakai, saya memilih menyebut ini sebagai peristiwa dimana shalawat direalistiskan. Dia tidak lagi sekadar rapalan-rapalan lirik yang dikeramatkan atau nada sakti yang hanya berlaku bagi believe system tertentu. Pada peristiwa Sinau Bareng seperti di Lamongan malam ini, shalawat ditarik pada keberfungsian sosial yang real dengan kegembiraan dan kemesraan yang membahagiakan. Antusiasme tampak sekali, beberapa kesalahan dan misskomunikasi masih kerap terjadi pada awal. Tapi begitulah hidup, harus ada persoalan yang kita coba rantasi bersama. Apalagi ketika tampuk komando berupa microphone diberikan pada perwakilan jamaah, sesekali masih terjadi si pemegang microphone yang secara SOP tugasnya adalah memberi komando, malah ikut menyanyi.
Mbah Nun mengingatkan “Microphone ini simbol kekuasaan. Kalau anda berkuasa anda tidak boleh sembarangan. Harus dahulukan kebersamaan jangan selalu mementingkan karepe dewe”. Sedikit demi sedikit kesalahan diperbaiki, permasalahan diolah. Kita belajar menemukan diri, menemukan diri juga berarti menemukan kesalahan diri dan kekurangjangkepan diri bukan? Maka kita Sinau Bareng agar kita saling mengenal, saling melengkapi dan ready tandang menyelesaikan masalah dalam pergumulan yang mesra dengan realitas sosial yang konkret.