Pak Toto: Saya Tidak Pernah Melawan Ibu
Sebetulnya sudah diingatkan supaya lewat Banjarmangu, tapi karena lebih memilih mengikuti Google Maps, jadilah kami menyasar hingga ke Desa Petuguran, Punggelan, Banjarnegara.
Akhirnya setelah dua kali bertanya ke penduduk setempat, kami memutuskan untuk memutar balik, turun lagi ke bawah, ke arah Banjarmangu untuk menuju Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum untuk bertakziah atas berpulangnya Ibunda tercinta dari Bapak Toto Raharjo.
Kurang lebih Jam 03.30 dinihari, kami tiba di rumah duka disambut oleh Pak Toto, Bu Wahya istri Beliau dan beberapa keluarga. Tarub sudah terpasang di halaman rumah, sebab memang tempat tersebut di hari kemarin baru saja dipakai untuk kegiatan pengobatan gratis.
Bu Wahya yang bersama-sama dengan kami di ruangan utama mengisahkan bahwa Beliau di pagi hari masih bertelepon dengan Sang Ibunda. Kopi sudah habis, minta untuk ada yang segera menggiling, kemudian menggoreng ampyang, kalau-kalau nanti akan ada banyak tamu. Demikian pesan almarhumah Eyang Surtinah yang dituturkan oleh Bu Wahya. “Kepergiannya sangat cepat sekali”, tutur Beliau lagi.
Kami sungguh terharu menyaksikan Bu Wahya yang mengisahkan almarhumah sembari berderai air mata, “Yang penting yang diinginkan ibu sudah terwujud. Ibu berkali-kali menolak diajak pergi, diajak liburan ke Yogya juga tidak mau. Ibu hanya ingin di rumah. Kalaupun dipanggil, Ibu ingin berada di rumah, tidak di mana-mana”. Dan betul terwujud, Allah memanggil Eyang Surtinah keharibaan-Nya di rumah, tidak di klinik atau di tempat lainnya.
Disela-sela Bu Wahya menuturkan kisah, Pak Toto sesekali menyahut. Tidak bisa disembunyikan air mata di pelupuk mata Beliau. Pak Toto mengaku, “Saya ini tidak pernah melawan Ibu.”
Lanjutnya, “Itu ada sejarahnya. Sewaktu Saya SMP, Saya selalu jalan kaki kalau hendak berangkat sekolah ke kota. Sekali waktu saya berangkat dalam keadaan jengkel kepada Ibu. Tidak Saya sangka, Ibu ternyata menyusul mengejar saya, sampai begitu jauh di Pandanarum terus ke bawah sana. Saya sungguh tidak tega kepada Ibu saat itu. Dan sejak itu saya tidak pernah lagi jengkel dan marah kepada ibu.”
Desa Petuguran yang jalan aspalnya menyempit, di mana kami semalam nyasar cukup jauh, ternyata adalah rute jalan kaki bagi Bapak pendiri KiaiKanjeng di kala muda dahulu ini.
Rimbun tetumbuhan dan rute yang naik-turun serta berkelok. Dapat terbayang di benak kami, bagaimana latar berlangsungnya betapa ‘drama kasih ibu’ yang begitu istimewa seperti yang dikisahkan Pak Toto itu.
Sugeng tindak, Eyang Surtinah. Semoga Allah limpahkan maghfiroh untuk Beliau.