Ngaji Budaya di Ibu Kota Spiritual Indonesia
Sabtu malam (21/9/2019) di Alun-Alun Jombang berlangsung Ngaji Budaya Cak Nun dan KiaiKanjeng bersama 1000 ISHARI Kabupaten Jombang.
Acara yang digelar oleh Pemerintah Kabupaten Jombang, dihadiri Bupati Mundjidah Wahab dan Wakil Bupati Sumrambah beserta jajarannya.
Malam itu warga Jombang memadati Alun-Alun sejak usai shalat Maghrib. Tampak pula rombongan masyarakat berseragam warna hijau. Mereka adalah kelompok Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia (ISHARI) yang datang dari berbagai kecamatan di Jombang.
“Setiap kecamatan mengirimkan personil empat puluh hingga lima puluh orang,” kata Bapak Maslikan, salah seorang anggota ISHARI dari Kecamatan Sumobito.
Anggota ISHARI Kab. Jombang sengaja dihadirkan pada Ngaji Budaya Cak Nun dan KiaiKanjeng. Selain untuk bershalawat, kehadiran mereka cukup berarti di tengah perjalanan sejarah Kab. Jombang.
Organisasi ISHARI yang berdiri tahun 1959 ini memiliki sejarah yang panjang. Adalah Habib Botoputih Surabaya yang mengajarkan seni hadrah, sejak tahun 1830. Usia yang cukup tua bila dibandingkan dengan Indonesia yang berumur 73 tahun.
Seni hadrah semakin memasyarakat ketika KH Abdurrahim bin Abdul Hadi dari Pasuruan membentuk kelompok hadrah di tengah masyarakat.
Menjadi bagian dari perlawanan terhadap kolonialisme, seni hadrah berperan sebagai jalan bagi konsolidasi para ulama. Seni hadrah juga menjadi media perlawanan kepada gerakan komunisme.
Sejarah perjalanan Jombang tidak bisa dipisahkan dari seni hadrah. KH Wahab Hasbullah, saat itu menjadi Rais Aam PBNU, mengorganisir kelompok hadrah, membaca shalawat bersama untuk membentengi masyarakat dari gerakan kelompok kesenian PKI.
Di desa Mentoro Kec. Sumobito, desa kelahiran Mbah Nun, kesenian ISHARI bukan barang baru. Ayah Muhammad, orang tua Mbah Nun, adalah penggerak sekaligus pelaku kesenian hadrah.
Sejarah panjang ISHARI, terutama di Kab. Jombang, dijadikan Mbah Nun sebagai pintu masuk untuk memulai Ngaji Budaya.
“Indonesia perlu belajar kepada ISHARI dan sejarah Jombang. Keduanya memiliki usia perjalanan yang lebih tua dari Indonesia,” jelas Mbah Nun.
Malam itu terjadilah peristiwa cinta di mana bacaan shalawat diiringi pukulan terbang, berpadu dengan ketrek (keplokan tangan), serta dipertegas oleh tarikan suara cerik sebagai penanda awal dan akhir radatan.
Kesenian Hadrah Kualitas Internasional
“Profesor musik dunia pasti kesulitan menemukan irama pukulan hadrah. Mereka tidak akan berhasil merumuskannya,” ungkap Pak Nevi Budianto, sesepuh KiaiKanjeng, di sela persiapan acara.
Kesenian hadrah juga tidak bisa dirumuskan ke dalam not balok nada. Menurut Pak Nevi, irama ini terjalin berkat kekompakan penabuh terbang yang ajur ajer serta kerelaan menyesuaikan diri dengan irama lagu shalawat.
Tidak berlebihan kiranya Mbah Nun mengapresiasi teman-teman ISHARI. Ini kesenian bisa “menunda” kiamat.
Selain itu, kita bisa belajar dari kesenian hadrah, terutama menyatukan sambung rasa dengan sesama. “Hati para penabuh, ketrek, dan cerik sudah menyatu. Hasilnya adalah irama kekompakan yang padu,” tutur Mbah Nun.
Dipesankan pula, pelaku kesenian hadrah tidak perlu mencari keunggulan, misalnya, mencatatkan diri di Museum Rekor Indonesia (MURI). Hadrah harus tegak dan memiliki harga diri di hadapan Allah dan Rasulullah. Apalagi ini di Jombang, Ibu Kota spiritual Indonesia.
Apresiasi juga diberikan oleh Bapak-bapak dari KiaiKanjeng. Mas Ari, Pak Jijit, dan Pak Bobit menyampaikan pandangan mengenai kesenian hadrah. Intinya, dunia akademisi musik dan pakem musik modern akan kesulitan melacak apalagi merumuskan kekhasan dan keunikan kesenian hadrah.
Untuk itu, seni hadrah dan sejarah Jombang tidak bisa dipisahkan. Mbah Nun menegaskan, pelajarilah sejarah secara runtut dan urut. “Jangan sampai sejak angka satu sudah salah. Nanti angka dua, tiga, empat dan seterusnya ikut salah,” ungkap Mbah Nun.
Jombang adalah akronim dari Ijo (hijau) dan Abang (merah). Penyatuan identitas antara Ijo dan Abang. Fakta inilah yang pernah dan akan menyelamatkan Indonesia.