CakNun.com

Menyadari Seruan Langsung dari Allah hingga Resolusi Ahlul Ludruk

Catatan Majelis Maiyah Padhangmbulan, 19 Februari 2019, Bagian 3/habis

Dari pemaparan Cak Fuad kita mencatat sedikitnya tiga poin. Pertama, Al-Qur’an adalah keutuhan yang satu dan padu, komplit dan jangkep, baik pada setiap rangkaian kalimat dan ayat, serta jumlah setiap huruf yang menyusunnya. Kedua, upaya ijtihad untuk menafsirkan Al-Qur’an tidak pernah berhenti. Ia akan berkembang dan terus berkembang sesuai kesanggupan manusia meningkatkan resolusi cara pandangnya terhadap Al-Qur’an dan Islam. Ketiga, tadabur terhadap Al-Qur’an merupakan upaya ijtihad yang bisa dilakukan oleh setiap muslim, sesuai resolusi daya serap, kapasitas, kemampuan, dan penghayatan masing-masing.

Cak Fuad juga menyitir surat Al-An’am: 125, “Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” Ini ayat bukan hanya terkait bagaimana Allah memberikan petunjuk kepada kita. Ungkapan bahwa mereka yang dikehendaki sesat sehingga dadanya terasa sesak yang digambarkan dengan kalimat: ka-annamaa yash-sha’-‘adu fissamaa (seolah-olah ia sedang mendaki ke langit)—membentangkan beragam-ragam penafsiran dan detail-detail kesadaran tadabur yang bisa diberangkatkan dari kenyataan biologis sehari-hari, teori ilmu fisika hingga astronomi.

Usai Cak Fuad memaparkan itu semua, Mbah Nun menyampaikan respon, yang salah satu poinnya perlu kita catat dan renungi bersama. “Jadilah orang yang dicintai orang lain,” saran Mbah Nun. Kita perlu menghitung setiap perilaku kita akan membuat orang lain mencintai kita. Kalau belum sanggup menjadi orang yang dicintai orang lain, minimal kita menjadi orang yang dihormati atau disegani. Apabila dua hal itu belum bisa kita capai, yang perlu diwaspadai adalah upaya menjadikan orang lain takut kepada kita. Tingkat ketiga ini merupakan resolusi paling rendah dari perilaku manusia.

Maka, kita memerlukan panduan untuk membangun kesadaran bahwa Allah menyapa kita setiap saat. Bagaimana caranya? Mbah Nun menyebut formula ini sebagai resolusi tinggi yang berlaku dan bisa diterapkan oleh setiap manusia. Diawali oleh permintaan kepada jamaah untuk menyebut satu kalimat yang Allah menyampaikan langsung kepada kita. Kalimat itu adalah “Yaa ayyuhan-nas. Wahai manusia…” Yang disapa Allah bukan batu, pohon atau ayam, tapi manusia.

Atau “Yaa ayyuhalladziina aamanuu. Wahai orang-orang yang beriman,” merupakan seruan yang ditujukan kepada manusia yang sedang berproses mengolah diri untuk meningkatkan kualitas iman. Kita diseru langsung oleh Allah karena kita memang manusia dan hamba yang mengalami dinamika untuk meningkatkan iman. “Jadi, adakah manusia yang tidak mendapat firman dari Allah?” tanya Mbah Nun. Al-Qur’an itu diturunkan melalui Nabi Muhammad untuk semua manusia. Karena kita adalah manusia dan mendapat firman langsung dari Allah, maka kita harus mentadaburi firman itu sesuai resolusi kemampuan dan kapasitas kita.

Penting mempelajari karya ulama, penting belajar tafsir, penting baca kitab kuning, namun firman itu benar-benar langsung ditujukan kepada kita. Betapa dekat Allah dengan kita.

Sebagaimana setiap malam bulan purnama, saya mencatat dan mengalami kenyataan bahwa pengajian Padhangmbulan tidak berhenti mengembarai cakrawala ilmu, yang oleh Mbah Nun dinyatakan: “Segala wilayah ilmu dan daerah-daerah pengetahuan sudah dikembarai, dipelajari, belajar dari itu semua, dicatat, dianalisis, diobjektifi, dijernihi dan diilmui serta dihikmahi.”

Termasuk menyelami resolusi ludrukan bersama Cak Ketut, Cak Taji, Cak Langgeng.

Resolusi Model Ludruk Wijaya Kusuma

Sebelum ludruk Wijaya Kusuma pimpinan Mas Didik Purwanto menyapa jamaah, Cak Nas melakukan kilas balik sejarah. Diceritakan awal mula perjalanan ludruk yang mengalami evolusi untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan resolusi zaman saat itu.

Cak Ketut, Cak Langgeng dan Cak Taji langsung tancap gas. Jamaah dibuat terbahak-bahak oleh dagelan khas ludruk nJombang. Meluncur kata-kata, seperti nyocot, cangkem, mrongos, atau kalimat: “Ojo nyangkem ae! Lambemu mingkemo! Wes mrongos cangkeme bejat!” yang oleh estetika priyayi modern dituduh kasar dan tidak berbudi. Ini nJombang, Mas Bro!

Gojlok-gojlokan, poyok-poyokan, saling menyindir dan mengejek menjadi kegembiraan manakala atmosfer kasih sayang telah menyelimuti hati paseduluran. Hampir tidak ada dagelan ludruk yang tidak saling “menjatuhkan” atau “menghina” sesama pemain. Menurut Mbah Nun, itu semua berkat resolusi tinggi yang dimiliki pemain dan masyarakat yang hidup bersama budaya ludruk.

Lainnya

Peristiwa Merealistiskan Shalawat

Peristiwa Merealistiskan Shalawat

Pada peristiwa Sinau Bareng seperti di Lamongan malam ini, shalawat ditarik pada keberfungsian sosial yang real dengan kegembiraan dan kemesraan yang membahagiakan.