CakNun.com

Menjaga Nalar di dalam Tali Allah

Catatan Majelis Maiyah Juguran Syafaat, 23 Februari 2019

Semenjak awal tahun terhitung di Kota Purwokerto ini telah terselenggara dua kali dialog publik. Forum dialog tersebut diselenggarakan oleh dua lembaga yang berbeda tetapi mengangkat wacana yang sama, yakni perihal nalar. Forum yang satu bertema “Nalar Demokrasi Kita: Antara Akal Sehat dan Akal Miring”, sedangkan forum lainnya mengusung tema “Mengokohkan Kebangsaan: Menjaga Nalar Sehat dan Berbudi.”

Di tengah arus deras informasi digital yang menginvasi gadget kita, nampaknya masyarakat kita telah mulai sadar bahwa peran nalar memang sangat penting adanya. Penalaran yang sehat membimbing kita menyimpulkan sesuatu secara presisi mendekati kebenaran. Benar atau tidaknya kesimpulan atas suatu hal tergantung cara bernalar serta fakta pendukung argumen alias premisnya. Metode penalaran juga memungkinkan kita menghindari tabiat prejudice berupa like, comment serta share sesuatu secara asal-asalan.

Setelah dengan ribet Saya membongkar membongkar file pelajaran lama tentang silogisme (logika formal) dan penalaran induktif (logika material) yang sudah barang tentu telah terkubur di dasar memori bersama reruntuhan kenangan kisah pilu masa lalu, kemudian saya mencoba beralih rekreasi dengan mendatangi forum Juguran Syafaat.

Juguran Syafaat edisi 71 tanggal 23 Februari 2019 kemarin rupa-rupanya kedatangan tamu band musik Punk-Rock bernama “Fire Cracker“. Berbicara mengenai fakta pendukung argumentasi alias premis, kehadiran teman-teman Punk malam ini bisa menjadi contoh praktis bahwa setelah mengenal Lukman Satrio Nugroho (vokal), Ade Budi Kristianto (gitar),  Agung Mugiono (drum), dan Aris Yanu (bass) dari dekat membuat prasangka dan stigma Saya terhadap Punk-Rock menjadi perlahan bergeser. Ini bisa terjadi akibat saya memperoleh fakta dan informasi baru setelah perjumpaan langsung dengan mereka.

Punk mempunyai ideologi, etika, prinsip hidup yang berlandaskan pada “Do It Yourself!” Begitu penjelasan Lukman, sang juru bicara “Fire Cracker” yang berasal dari Ajibarang itu. Anak-anak Punk mengorganisasi sendiri setiap kegiatan yang mereka lakukan, seperti membuat rekaman, membuat pertunjukan musik serta menciptakan media independen. Mereka menolak bergabung dengan label besar karena hakekat musik Punk adalah musik perlawanan atas hegemoni kekuatan dominan. Punk memposisikan sebagai antitesis kebudayaan atas tesis budaya popular.

Malam hari itu pada suasana njugur yang penuh warna turut hadir pula Alan Asprilla, seorang creative videomaker Guyon Banyumasan asal Wangon yang sempat booming dengan content “Hiyyaaa!!!”. Awal proses kreatifnya dalam memproduksi video lucu menurutnya bermula saat dirinya mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). “Andai Alan tak mengalami peristiwa pahit semacam itu, tentu perjalanan hidupnya akan menjadi lain”, sergah canda Karyanto, moderator Juguran Syafaat yang lantas disambut tawa seluruh yang hadir di Pendopo Wakil Bupati Banyumas itu.

Alih profesi Alan dari seorang karyawan biasa yang kemudian banting setir menekuni produksi content video lucu memantik rasa penasaran Budhi, dari Dukuhwaluh. Ia penasasaran mencari tahu bagaimana awal mulanya memperoleh ide atau inspirasi. Sekedar urun rembug untuk Budhi, yang malam itu memang kerap kali berdiskusi bareng saya dengan berbisik-bisik, bahwa menurut Yusuf Qardhawi, jalan untuk mendapatkan inspirasi atau ilham bisa lewat usaha rohani maupun tanpa usaha. Quraish Shihab menulis pemahaman tentang ilham atau intuisi datang secara tiba-tiba tanpa disertai analisis sebelumnya, bahkan kadang tidak terpikirkan sama sekali. Potensi ini ada pada setiap insan, walaupun kekuatannya berbeda antara seseorang dengan yang lain. Ilham dalam bahasa Muhammad Nursamad Kamba adalah bisikan Ilahi. Intuisi, bagi yang segan menggunakan istilah bisikan Ilahi, inilah potensi maha dahsyat yang dimiliki manusia.

Sebagai makhluk surga yang tengah menjalani “outbond” di bumi, manusia tidak hanya diberi bekal perjalanan berupa akal (logika) untuk bernalar, tapi dilengkapi pula fitur hati nurani (metafisika) sebagai radar pendeteksi bisikan Ilahi. Hati nurani dalam kamus spiritual Agus Sukoco disebut “kitab teles”. Di lain sisi menurutnya ada “kitab garing” yang berwujud mushaf Al-Qur`an. Dua fasilitas istimewa ini, yakni nalar dan nurani apabila berfungsi secara optimal bisa menghantarkan pada peran strategis manusia sebagai Khalifatullah fil ardh.

Seiring perjalanan waktu, sesi pertama Juguran Syafaat berakhir. Kemudian melangkah ke sesi kedua yang dalam kesempatan ini dirawuhi oleh sumber mata air ilmu yang absah secara otoritatif. Malam itu hadir Beliau dari Pondok Pesantren Ar Ridwan, Kalisabuk, Kecamatan Kesugihan, Cilacap yakni Gus Aziz. Sekitar 45 menit beliau menyampaikan wacana keislaman dan tanpa menyertakan satu pun dalil. Rohman Syarif Fajrin, salah seorang Penggiat Maiyah asal Purbalingga kemudian ngresulah akan keresahannya dengan fenomena mainstream beragama saat ini yang begitu tekstual-literalistik yang sedikit-sedikit dalil.

Menjawab pertanyaan Rohman atas fenomena formalistik dalam beragama, menurut Agus Sukoco, hal itu disebabkan selama ini kita menempatkan mushaf Al-Qur`an sebagai titik awal. Akibatnya mirip sesorang siswa yang hanya sibuk menghafal kunci soal jawaban ujian alias apalan. Idealnya, mushaf Al-Qur`an diposisikan sebagai titik sampai. Langkah taktisnya bermula dengan pembacaan realitas sosial-historis lebih dulu, lantas mencari korelasinya dalam teks-teks kitab suci melalui panduan akal dan hati.

Memahami teks dan konteks akan membawa seseorang pada sikap yang elegan, luwes, serta tahu empan papan. Nyambung dengan Agus Sukoco, Gus Aziz ikut menimpali dengan contoh singkat, padat, kongkret, dan menghujam bumi. “Misalkan Kanjeng Nabi terlahir di Jawa, pastinya juga beliau memakai baju batik dan blangkon, kok. Berbusana sesuai lokalitas itu termasuk sunnah“. Ungkap Gus Aziz tanpa mau mengutip dasar dalil sunnah berpakaian berdasar lokalitas. Padahal sebetulnya saya pribadi sudah menanti dasar dalilnya.

Generalisasi, analogi dan hubungan kausal merupakan tiga varian menu dalam model penalaran induktif. Agus Sukoco, spiritualis sekaligus budayawan dari Purbalingga pada kesempatan malam hari itu lebih sering memakai pendekatan analogi dalam menjelaskan posisi Al-Qur`an bagi orang yang buta huruf Arab. Ia kemudian melanjutkan bahwa cinta adalah dasar penciptaan manusia oleh Tuhan, yang berhak membenci Fir’aun adalah Allah Swt, manusia hanya boleh membenci perilaku negatifnya.

Peralihan malam menuju pagi ditandai oleh pantat dan tulang belakang yang mulai susah diajak berkoalisi. Sekitar pukul 02.00 dinihari kemudian moderator memungkasi forum. Saya yakin semua puas dan bisa menatap hari esok dengan lebih gemergah. Momen acara terbilang sukses jika menengok bersihnya piring-piring wadah jajanan pasar yang dihidangkan di tengah-tengah jamaah, karena orang yang doyan makan hanya dimiliki oleh orang yang bahagia.

Pembahasan “Wa’tashimu bihablillah” yang menjadi tema malam hari itu memang kurang mendapat porsi yang memadai. Namun, ditinjau dari kebhinnekaan latar belakang sosial yang hadir pada malam hari itu rasanya hakikat wa’tashimu bihablilah secara riil malah sudah terjawab. Peristiwa mahal di dunia yang seperti saat ini adalah manakala sebuah forum bisa menyatu-padukan Gus dari pesantren, budayawan, seniman, pedagang, PNS, petani, salesman, mahasiswa, Punkers dan orang-orang yang gelisah untuk bersama-sama menjaga sehatnya nalar di dalam persaudaraan yang diikat erat oleh tali Allah SWT.

Usai menulis reportase ini saya termenung sejenak, rasanya akan lebih afdhal jika pendekatan ilmu logika dalam tulisan ini mengacu pada ilmu logika dalam khazanah keilmuan dunia Islam yaitu: mantiq. Sebab, mantiq lebih lengkap dan merupakan ilmu tingkat akhir. Tapi apa mau dikata, dibesarkan dalam lingkungan pendidikan umum membawa saya untuk lebih mengenal ilmu logika warisan filsuf Yunani Kuno. Dan, ah, memang saya masih harus lebih banyak belajar lagi. (Febri Patmoko/RedJS)

Lainnya

Lima Minggu #DiRumahSaja, Ngapain Saja?

Lima Minggu #DiRumahSaja, Ngapain Saja?

Awakmu kuwi sopo-sopo wae?”, Febri mengambil pertanyaan workshop dari Mbah Nun pada sebuah kesempatan Sinau Bareng beberapa waktu lalu untuk merespons mengalirnya diskusi Selasaan virtual dua hari lalu.