Mengabarkan Tadabbur Maiyah di San Diego
Suhu udara yang cukup bisa diterima kulit manusia Jawa menyambut kami ketika keluar dari bandara internasional San Diego, California. Dibandingkan Chicago, kota yang berada di tepi Samudera Pasifik dan sepelemparan batu dari Meksiko ini, meskipun musim dingin, cukup kami hadapi dengan jaket yang sama saat berada di wilayah pegunungan Wonosobo.
Sedangkan angin Chicago, dalam suhu 1°C bisa menyebabkan real feel-nya terasa -11°C. Ngudud di luar pun tak terasa nikmat. Baru sehisap dua hisap, ujung jari terasa sakit. Apalagi kalau rokoknya kretek, tidak tuntas secepat rokok putihan. Satu batang kretek habis, mungkin jari ini bisa hipotermia. Bisa sih sambil pakai sarung tangan, tapi tidak praktis karena harus yang windproof dan waterproof seperti yang dipakai di kutub utara. Pun kalau difoto bergaya, merokok dengan gloves seperti itu, enggak ada macho-machonya sama sekali.
Tapi saya kali ini tidak hendak bercerita perihal per-udud-an di San Diego. Kedatangan kami ke sini adalah untuk menghadiri konferensi AAR dan IQSA. Acara ini merupakan event pertemuan tahunan AAR (American Academy of Religion), sebuah komunitas akademis dalam studi agama-agama di Amerika yang memiliki 8000 anggota.
Acara yang juga dihelat bersama oleh SBL (Society of Biblical Literature) ini berlangsung sejak 23 sampai 26 November. Bertempat di San Diego Convention Center, tempat yang teramat sangat luas di mana San Diego Comic-Con International yang masyhur bagi pecinta komik itu juga digelar.
Ada lebih dari 1000 event kali ini yang terbagi dalam diskusi, workshop, pertemuan, dan ekshibisi 130 penerbit. Dihadiri oleh 10.000 pengunjung yang menjadi ajang perjumpaan ilmuwan-ilmuwan studi agama dari seluruh penjuru dunia.
Pada pra acara tanggal 22 November 2019, bersamaan dengan berbagai diskusi-diskusi IQSA (International Qur`anic Studies Association) di banyak ruangan lain, kami (lebih tepatnya istri) dijadwal dalam launching buku terbitan OneWorld Publishing tentang Communities of the Qur`an: Dialogue, Debate, and Diversity in 21st Century yang terbit beberapa bulan lalu. Ringkasnya, buku ini berupaya menangkap gambaran bagaimana berbagai komunitas muslim dan non-muslim (dalam hal ini umat agama relatif baru yakni Baha’i) di berbagai negara dalam berinteraksi dengan Al-Qur`an di zaman modern.
Ada belasan ilmuwan yang berpartisipasi dalam buku yang dieditori oleh Emran El-Badawi dan Paula Sanders ini. Dan di antara ragam komunitas itu, Maiyah menjadi satu-satunya representasi Indonesia. Fokus yang coba ditangkap adalah perihal upaya Tadabbur yang digerakkan Cak Nun di Maiyah, yang dituangkan dalam bagian The Reception of the Qur’an in Popular Sufism in Indonesia: Tadabbur among the Ma’iyah Community, ditulis oleh Lien Iffah Naf’atu Fina dan Ahmad Rafiq, PhD.
Gambaran mengenai chapter itu dapat pembaca yang budiman simak melalui review berjudul Mendialogkan Al-Qur`an dengan Pengalaman Empiris: Membincang Tadabbur Maiyah di website ini.
Pada kesempatan peluncuran buku di event ini, respons beberapa hadirin menyambut baik kehadiran buku ini. Meskipun buku ini masih merupakan langkah awal untuk memberikan gambaran dinamika empiris atas Al-Qur`an dan komunitas muslim di tengah bias-bias politik dan distorsi informasi atas Islam dalam beberapa dekade terakhir.
Acara yang berlangsung satu jam ini, selain editor dan perwakilan penerbit, dihadiri juga oleh beberapa penulis lain. Di antaranya Ali Asani, Todd Lawson, dan Reza Aslan.
Setiap manusia adalah pelaku sejarah dalam hidupnya dan menjadi bagian dari sejarah dunia. Dalam perjalanan sejarah itu, khususnya dalam konteks interaksi dengan Al-Qur`an, Cak Nun dan Masyarakat Maiyah menawarkan alternatif lain melalui upaya Tadabbur. Masyarakat Maiyah tahu, Al-Qur`an adalah rujukan utama dalam mengupayakan kehidupan yang baik di dunia yang ambyar kuadrat ini. Maka semua orang berhak–dengan tidak mengesampingkan tafsir-tafsir yang ada dan penuh penghormatan kepada para mufasair — untuk memiliki “akses” langsung kepada Al-Qur`an melalui jalan Tadabbur.
Dan melalui buku ini, oleh penulisnya, Maiyah mencoba mengabarkan kepada masyarakat dunia sebuah upaya Tadabbur Al-Qur`an.
San Diego, 23 November 2019