Kiai Haji dan Khilafah Nada di Banjarnegara
Kegembiraan telah bermula sejak awal. Ketika lelaki muda yang bertindak sebagai pemandu acara menyebut nama Mbah Nun dengan gelar Kiai Haji, hadirin langsung meledak tergelak. Dari sini kita bisa juga mengimpresikan pemaknaan, bahwa Sinau Bareng dan majelis-majelis Maiyah punya posisi menyeimbangkan sakralitas gelar yang terlanjur dikeramatkan. Tentu ini tawa gembira. Bukan tawa merendahkan.
Kita faham belaka bahwa penyematan gelar Kiai Haji yang disebut oleh pemandu acara adalah ekspresi rasa hormatnya, sesuai dengan nilai yang dia tahu. Believe system manusia bisa berbeda-beda dan rasa hormat pada gelar itu juga tergantung pada nilai kepercayaannya, dalam Sinau Bareng kita belajar menampung semua yang berbeda dari kita.
Soal sejarah gelar-gelar tersebut, pada kesempatan yang lebih intelek bisa kita bahas bersama dengan data yang lebih rasional. Sebagai ganbaran kemungkinan besar gelar Kiai lebih banyak ditemukan sejak ada pembagian jenis hak milik tanah yang diatur dalam UU Agraria di parlemen Hindia-Belanda pada 1880. Itu kapan-kapan kita bahas, sekarang kita bergembira.
Dalam Sinau Bareng di Alun-Alun Banjarnegara malam ini, para hadirin yang memadati lokasi Sinau Bareng berkesempatan memetik hikmah sebuah perspektif yang sangat mengasyikkan nengenai konsep khilafah. Konsep yang selama ini, seringnya dibuat sebagai ideologi politik, sehingga sebagaimana lazimnya ideologi politik, konsekwensinya dia membuka kemungkinan untuk dianut atau tidak dianut. Membuka ruang pro dan kontra. Lebih parah lagi, menuai perang wacana yang kemudian sama meruncing ekstrim pada kubu-kubu yang bertikai.
Setelah sapaan-sapaan penuh mesra pada anak cucu di Banjarnegara, Mbah Nun mengajak melantunkan Shohibu Baity. Dan setelahnya, keilmuan deras bersama tawa kegembiraan.
Karena ini adalah Sinau Bareng, Mbah Nun tidak memposisikan diri sebagai sosok penutur yang tahu segala. Melainkan Mbah Nun meminta kolaborasi ilmu dari Kiai Muzammil yang juga hadir kali ini. Mbah Nun menanyakan arti kata “khilafah” pada Kiai Muzammil dan menurut Kiai Madura kita ini, khilafah berasal dari kata khalfun yang artinya dibelakang. Dan impresi maknanya, adalah dia yang manut dan patuh di belakang yang dia anggap pemimpin sejati dalam hidup. Artinya lagi, khilafah adalah sistem syariat universal sunnatullah. Dia bisa bernama apa saja, dari skala paling kecil, lokal hingga global.
Salah satu kepatuhan atau bentuk khilafah penduduk semesta pada dimensi ini, menurut Mbah Nun adalah kepatuhan pada nada. Maksudnya patuh, kita perlu tau sejatinya nafas kebudayaan kita, jenis-jenis nada di berbagai capaian peradaban dan mencoba mengkhalifahi nada itu menjadi kemerduan yang membahagiakan.
Dari sini Mbah Nun mengajak kita berkenalan dengan jenis-jenis nada baik bentuk nada Jawa, Eropa hingga Arab. Ada slendro-pelog, ada solmisasi, ada juga dalam bentuk qiroah misalnya ragam qiro’ah sab’ah.
Dan kita menikmati sholawat Nariyah dilantunkan, tidak hanya merdu dan menggembirakan tapi juga dengan pemaknaannya secara sastrawi serta kita diajak mengerti kekayaan nada di dalamnya. Dan Khotmil Qur’an kemudian dilantunkan oleh KiaiKanjeng, dengan bertambahnya data pengetahuan ternyata apa yang tersaji terasa lebih nikmat. (MZ Fadil)