Kendaraanmu, “Kebetulan” dan Kebenaran
Kalau engkau sopir taksi, angguna, atau angkota lainnya, atau barangkali engkau tukang becak dan pada menit dan jam tertentu siang itu engkau melintas di jalan tertentu lantas pada detik tertentu muncul seseorang dari gang kampung dan melambaikan tangan memanggil kendaraanmu, aku bertanya: siapakah yang mengatur pertemuan kalian pada detik itu?
Seandainya kendaraanmu itu melintas beberapa detik lebih cepat, atau orang dari gang itu nongol lebih lambat beberapa detik, sehingga yang ia panggil adalah taksi berikutnya yang lewat, aku bertanya: siapakah yang mengatur adegan itu, dan apa makna pengaturan itu?
Atau dalam situasi dan kejadian-kejadian lain dalam hidupmu, tentu sering engkau mengalami pertemuan atau kemelesetan pertemuan antara “kebutuhan” dan “pemenuhan”. Biasanya engkau mengatakan, bahwa peristiwa semacam itu bernama kebetulan.
Akan tetapi dalam bahasa dan budaya komunikasi kita, “kebetulan” itu dipahami sebagai sesuatu yang tidak disengaja. Istilah Inggrisnya accidently—terjadi karena suatu “kecelakaan”.
Aku ingin mengatakan kepadamu bahwa kejadian semacam itu benar tidak sengaja. Artinya, engkau tidak bisa menyengajainya, tetapi Allahlah yang sengaja menciptakannya.
***
Terkadang Allah itulah yang bernama kebenaran, atau al-haq sebagaimana seluruh proses, sistem dan irama penciptaan alam semesta dan kehidupan ummat manusia ini adalah disengaja oleh Allah. Saham kesengajaan Allah itu ada yang seratus persen, ada yang kurang dari itu, karena sisanya dimandatkan untuk menjadi kewenangan khalifah-Nya yang bernama manusia. Benda alam ini dengan seluruh sistemnya disengaja seratus persen oleh pola penciptaanNya. Tapi bahwa kemudian terjadi ketidak-seimbangan ekologis, terjadi kebakaran di hutan, banjir karena ketidaktertataan pembangunan, pelubangan ozon, udan salah mongso, dan lain sebagainya— itu tanda bahwa Allah berbagi kepada manusia, memberi mandat kepadanya untuk mengerjakan sesuatu, tapi diperintahkan agar disesuaikan dengan kehendak-Nya.
Sama dengan rambut lurusmu itu, hidung mancungmu itu, kokoh tanganmu itu, disengaja seratus persen oleh Allah. Tapi, Ia memberimu persentase pinjaman (haq) juga kepadamu, dan engkau pergi ke salon mengkritingkan rambutmu, engkau ke toko emas memasang anting-anting di hidungmu, serta engkau ikut fitnees untuk lebih mengokohkan badanmu.
Sekarang engkau kembali ke taksi. Hitunglah sesekali berapa persentase kesengajaan Allah atas kejadian-kejadian yang engkau alami, dan berapa persentase yang engkau upayakan sendiri. Mungkin pada jam tertentu engkau meluncurkan taksimu ke depan stasiun atau ke tempat-tempat tertentu yang engkau perhitungkan akan banyak pe-numpang. Dan itulah yang namanya ikhtiar, kreativitas, budaya dan sejarah. Tapi tetaplah jangan sampai engkau mengabaikan bahwa di sisi semua sepak terjang sejarahmu—sesungguhnya—peran kesengajaan Allah atas nasibmu tetap sangat tinggi.
Dan bagaimana Allah menyengajakan model nasib atasmu, bergantung pada dua hal. Pertama, pada hak mutlak Allah untuk menentukan apa saja. Kedua, pada kualitas dan moral pergaulanmu sendiri terhadap Allah.
***
Terkadang engkau tidak memperhitungkan bahwa Allah berperan atas nasibmu, dan peranNya itu amat dilatarbelakangi oleh sifat kasih sayang. Tapi engkau lupa atau tidak yakin, sehingga diam-diam engkau berpendapat bahwa hanya engkau sendirian yang bisa menolong nasibmu. Maka engkau berupaya dengan segala cara: menyerobot sana-sini, mencurangi teman, ngentol penumpang dan lain sebagainya. Kalau engkau bersedia niteni, meneliti, dan mengingat-ingat apa peran kesengajaan Allah atas hidupmu, engkau akan menemukan berbagai “kebetulan” yang nanti harus engkau pahami sebagai “kebenaran”.
Kalau hatimu berzikir dan mengonsentrasikan diri pada fungsi kesengajaan Allah yang penuh kasih sayang atas naik turunnya nasibmu, engkau—InsyaAllah—dibimbing untuk senantiasa berada di dalam atau dekat kasih sayang-Nya itu. Pikiranmu akan dituntun oleh-Nya untuk memasuki ide-ide atau gagasan dalam mengendalikan setir mobilmu yang sesuai dengan kasih sayang-Nya. Kakimu, tanganmu, alam pikiran, dan perasaanmu —insya-Allah— akan senantiasa dipanggil oleh-Nya ke dalam cinta-Nya.
Dengan demikian, engkau tak perlu menyerobot kasih sayang Allah yang di anugerahkan kepada teman atau pesaingmu. Karena, di samping kasih sayang-Nya juga tersedia buatmu, juga karena kalau engkau mencuri rahmat yang diterima oleh saudaramu, maka nanti engkau harus membayarnya. Mungkin keharusan membayar itu membuat kasih sayang Allah urung menaburi hidupmu.[]
**Diambil dari buku “Tuhan Pun ‘Berpuasa’”, diterbitkan oleh penerbit Zaituna, 1997