Karena Cak Nun Saya Menjadi Nahdliyin
Ditakdirkan oleh Allah lahir dan besar di lingkungan yang tidak mengenalkan apa NU, Muhammadiyah dan lain sebagainya membuat saya bisa masuk ke mana saja. Masa kecil di Kampung yang punya sejarah merah, besar di ibu kota, sekolah di Muhammadiyah dan ngerasain nyantren di Pesantren NU pada akhirnya menyisakan ruang hampa, karena semua serba setengah. Nyantri 3 tahun, berkutat dengan kitab kuning, tahlilan, subuh selalu qunut, shalawatan, dan tak lupa sarungan ke mana-mana juga tak berhasil membuat saya merasa menjadi warga NU. Tetap saja ada yang kurang.
Tiga tahun berikutnya saya habiskan di sekolah Muhammadiyah, ikutan Hizbul Wathan, setiap minggu dapat pelajaran Kemuhammadiyahan, dididik dengan kultur dan disiplin Muhammadiyah ternyata tak juga berhasil membuat saya mau ikut terlibat di struktur ketika seorang teman mengajak.
Reformasi bergulir, di tengah keriuhan saya diperdengarkan dengan Kado Muhammad, kaset yang kemudian membawa saya menjelajahi semesta. Sejak itu saya mulai mengkoleksi buku-buku Cak Nun. Sejak itu pula saya menyelami NU. Kisah-kisah yang diceritakan Cak Nun dalam banyak esainya menegaskan bahwa Cak Nun amat sangat dalam dengan NU, bukan saja secara nasab-historis, tapi lingkup pergaulannya. Saya kenal nama-nama besar Kyai NU itu ya dari tulisan-tulisannya Cak Nun, saya tahu sejarah besar NU ya dari tulisan-tulisannya Cak Nun, saya menjadi sehati dengan NU ya gara-gara tulisannya Cak Nun.
Dahulu maiyahan yang rutin saya datangi hanya Kenduri Cinta Jakarta, bahkan sebelum kata Maiyah atau Maiyahan lahir. Di Maiyahan, pengetahuan dan kecintaan saya kepada NU makin dalam, karena Cak Nun sering mengutip cerita-cerita yang berlatar NU, baik dalam guyonan mau pun bab-bab serius. Dan di saat yang sama, kecintaan saya kepada Muhammadiyah, Persis, dan organisasi apa pun bahkan NKRI, menjadi lebih kuat dan kokoh.
Cak Nun berhasil mengajak saya untuk tahu mana api dan mana asap, mana washilah mana ghayah, mana emas mana tinja, mana Desa mana Indonesia, mana yang haq dan mana yang bathil. Sejatinya saya jadi paham apa makna ummatan wasathan, wasit yang tahu semua aturan dan peraturan sebagai modal munggah kelas menjadi Abdullah, syukur-syukur Khalifatullah. Itu yang diupayakan Cak Nun selama ini, setidaknya kepada saya.
Di kuliah lanjutan saya mengenal rumusan, bahwa untuk membuat sesuatu sederhana anda harus paham kompleksitasnya. Paparan Cak Nun, baik tulisan, ceramah, atau apa pun saja amat renyah, sederhana hingga mudah dikunyah tapi tetap mengepung. Materinya pun bukan sekadar tentang kebudayaan seperti yang sering kali diidentikkan kepadanya. Cak Nun sangat dalam berbicara tentang Islam dari akar hingga ranting-rantingnya, teknologi, politik, ekonomi, dan semua segi peradaban manusia, bahkan ilmu-ilmu ghaib seperti sejarah, perdukunan hingga ilmu lintas dimensi bisa beliau uraikan dengan mudah dicerna oleh saya yang awam. Ketika itu saya menyadari apa yang sedang beliau lakukan, menambal retakan perahu Nusantara, memastikan Bangsa ini dan anak-cucu kelak selamat dan sentosa. Penderitaan setiap kita adalah tangis panjangnya.
Janggal memang, kita hidup di zaman yang sepertinya tak mungkin lagi menemukan ada manusia yang wali. Manusia yang menangisi manusia lainnya, manusia yang mampu meninggalkan dunia beserta isinya, manusia yang seluruh energinya disedekahkan untuk menjamin keselamatan manusia lainnya. Tapi Allah mempertemukan saya dengan Cak Nun, dan Cak Nun mengenalkan saya kepada Syaikhona Kholil Bangkalan, KHR As’ad Syamsul Arifin, Gus Miek, Gus Dur, Gus Mus, dah bahkan nama-nama yang orang NU sendiri tidak kenal. Saya pun jadi hobi ziarah ke makam-makan Wali dan Leluhur, bahkan dipertemukan dengan Wali-wali kehidupan, semua berkat Cak Nun.
Jadi, kalau ada upaya memisahkan Cak Nun dengan NU, bahkan ingin membenturkannya, saya khawatir para Wali, Leluhur, Kyai khos, dan Ulama-ulama NU terdahulu akan marah besar dan turun ke bumi tuk menyelesaikan dengan cara mereka sendiri, karena saya yakin Mereka amat mencintai Cak Nun. Saya hanya bisa berdoa saja tuk kebaikan semua, sebagaimana Cak Nun ajarkan, sebarkan kelembutan silmi kepada siapa pun.