Guru, kok, Memanjat Kelapa!
Memang ada juga orang-orang tertentu yang tak punya keberatan apa pun atas apa yang dilakukan Pak Mataki, bahkan menganggap bukan hanya wajar, tetapi bahkan suatu kemuliaan.
Sementara sebagian orang lain bersikap netral, tidak bisa berkomentar karena memang kurang tahu bagaimana mesti menilai hal-hal semacam itu. Namun yang jelas, banyak guru lain yang makin hari makin menggerutu. Sikap tidak senang mereka kepada Mataki makin hari makin tampak.
Coba, to, setiap usai subuh, semua orang tahu Mataki pergi mengendarai sepeda dan rengek yang terisi buah-buah kelapa, dari dusun menuju pasar kecamatan.
Kadang-kadang, waktu siang atau sore hari, bahkan juga pada pagi hari kalau kebetulan Pak Mataki tidak harus mengajar, ia sibuk beredar dari rumah Pak Ini ke Pak Itu untuk kulakan buah kelapa, kemudian ia jual di pasar.
Apakah pantas seorang guru setiap hari terlihat penduduk naik pohon kelapa? Pakai celana pendek, kaus butut, ngempit sabit, merambat naik pohon kelapa seperti seorang budak?
Guru macam apa itu!
Guru itu terhormat. Guru itu panutan masyarakat. Ia wajib menjaga perilakunya sehari-hari, tak boleh seenaknya nongkrong di warung, tak boleh berpakaian seperti penggembala kerbau, apalagi memanjat kelapa dan bawa rengek ke pasar!
Apalagi, Pak Mataki melakukan itu semua dengan wajah polos tanpa rasa bersalah. Tersenyum-senyum terus dan mantap sekali, tidak menyadari bahwa korps guru dirugikan oleh ulahnya.
Sudah menjadi bahan pergunjingan macam itu Pak Mataki bukannya insaf, tetapi malah semakin menjadi-jadi. Pada waktu-waktu senggang ia malah membuat berbagai macam barang rumah tangga—sapu, keset, enthong— atau apa saja yang terbuat dari bahan-bahan baku alami yang biasa diperoleh di sembarang tempat di dusun itu. Bahkan, para murid Sekolah Ekstra-nya diajari pula untuk menjadi buruh kecil seperti itu. Beberapa kali misalnya dia memobilisasi anak-anak untuk mengumpulkan apa saja yang terbuang untuk dijadikan barang produksi rumah tangga. Lantas dikumpulkan dan dijual di pasar. Hasilnya dipakai untuk memenuhi keperluan murid-murid di Sekolah Ekstra-nya.
“Pasti sebagian uang itu dimasukkan sakunya sendiri!” kata sebagian guru.
“Itu guru komersial!” sambung lainnya, “Mbok ngajar, ya, ngajar saja, ndak usah macam-macam!”
“Lihat penampilannya itu! Apa bedanya guru dengan tukang angon kambing?”
Akan tetapi, Kepala Sekolah belum menemukan alasan yang cukup untuk mengeluarkannya dari tugas-tugas mengajar, meskipun guru-guru semakin mendesakkan hal itu.
Beberapa kalangan penduduk cenderung membela Pak Mataki. Mereka bahkan berterima kasih putra-putri mereka dididik oleh guru lugu itu untuk punya keterampilan memproduksi sesuatu meskipun kecil-kecil dan remeh. Mereka senang anak-anak itu tumbuh mental wiraswastanya. Juga punya kepekaan untuk mengubah hal-hal yang terbuang, yang kelihatannya tak berguna, menjadi suatu yang berguna bagi masyarakat.
Menurut pendapat mereka, yang dilakukan Pak Guru Mataki justru merupakan panutan bagi orang dusun. Dia mau jualan kelapa, mau memanjat kelapa, mau bergaul dengan penggembala-penggembala dan orang-orang kecil di gardu kampung.
Pak Guru Mataki mengajarkan mental kerja, bukan hanya pandai menghafalkan isi pelajaran sekolah yang mereka belum tentu paham. Pak Mataki memberi contoh jangan malu mengerjakan apa saja, asal halal dan baik bagi masyarakat maupun dirinya sendiri.
Akan tetapi, bagi kebanyakan guru tidaklah demikian. Guru itu statusnya terhormat. Guru itu priayi. Halus dan letaknya lebih tinggi dari orang biasa. Guru itu dijunjung di atas kepala masyarakat. Guru itu lebih tinggi “pangkat”-nya dibanding para pekerja kasar.
Harian Suara Karya, Rabu 6 Februari 1991 dan Buku Gelandangan di Kampung Sendiri