Di Sinau Bareng, Listrik Jadi Bahan Ngaji
Energi tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan, energi hanya dapat diubah menjadi bentuk yang lain. Begitulah hukum kekekalan energi mengatakan. Sementara itu, setiap benda yang bermassa pastilah menyimpan energi. Melihat semua yang hadir dalam setiap Sinau Bareng, pernahkah kita membayangkan, misalnya, berapa kiranya energi yang terhimpun di dalam sangat banyak manusia yang hadir ini?
Setiap yang hadir membawa energi sendiri. Kemudian bersatu menghimpun energi. Berharap rahman rahim Tuhan meminjamkan kuasa-Nya untuk dimampukan kita belajar mengelola energi yang sedemikian dahsyatnya. Agar tak jadi potensi yang sia-sia tanpa kebermanfaatan. Apalagi merusak dan merugikan liyan, semoga jangan.
Belajar Mengkhalifahi “Kenegatifan” dalam Diri
Malam itu, Mbah Nun meminta salah seorang mahasiswa Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) untuk menjelaskan proses munculnya arus listrik dengan bahasa yang sederhana. “Koen ngkok, lek njelasno nganggo basa akademis lha sing ngurusi (memahamkan) wong-wong koyok ngene ki (orang umum) sapa, Rek?” Kurang lebih begitulah pinta Mbah Nun malam itu. Saya rasa, pesan ini bukan hanya ditujukan untuk mahasiswa PENS itu saja, melainkan juga untuk semua para akademisi, agar berkenan sesekali membumikan bahasa langit keilmuannya, sehingga mudah dipahami oleh orang awam. Meneruskan apa yang telah disampaikan Bapak Mohammad Nuh, yang pernah menjadi Menteri Pendidikan Nasional, Mbah Nun menegaskan bahwa di antara ciri-ciri orang bijak ialah mereka yang mampu menyederhanakan sesuatu yang tampak rumit sehingga dapat membuat orang lain menjadi paham.
Soal listrik dan cahaya itu sederhananya begini, setiap materi mempunyai bagian terkecil yang dinamakan dengan atom, bagian terkecil dari suatu materi yang sudah tidak dapat dibagi-bagi lagi karena saking kecilnya. Atom sendiri tersusun atas nukleus atau inti atom dan elektron, bagian atom yang memiliki muatan negatif. Adapun netron yang tidak bermuatan dan proton yang bermuatan positif merupakan komponen penyusun inti atom.
Idealnya, jumlah proton (+) dan elektron (-) pada suatu atom itu sama. Akan tetapi, kenyataannya, elektron (-) mudah sekali keluar dari lintasan atom ketika mendapatkan kekuatan dari luar. Entah itu karena adanya gesekan, benturan, proses pemanasan, ataupun proses reaksi tertentu.
Nantinya, pergerakan elektron (-) inilah yang akan mempengaruhi munculnnya arus listrik. Ketika tidak ada pegerakan elektron (-) pada suatu atom, artinya jumlah elektron (-) tetap sama dengan jumlah proton (+), maka tidak akan ada muatan listrik. Sebaliknya, jika ada elektron (-) dari luar yang masuk sehingga jumlah elektron (-) lebih banyak dibandingkan jumlah proton (+), maka akan menghasilkan listrik yang bermuatan negatif. Pun ketika elektron (-) terlempar ke luar lintasan atom, sehingga jumlah proton (+) lebih besar dibandingkan jumlah elektron (-), maka akan menghasilkan listrik bermuatan positif.
Yang perlu diingat kembali, cahaya merupakan di antara akibat dari adanya arus listrik. Dan dalam diri kita juga terdapat jutaan atom. Barangkali, ini juga dapat dijadikan sebuah pesan pengingat, agar cahaya dalam diri kita tetap menyala, kita harus belajar bagaimana mengelola sisi kenegatifan dalam diri kita. Karena, nyatanya, yang mempengaruhi munculnya arus listrik adalah pergerakan elektron, bagian atom yang bermuatan negatif itu tadi.
Satu lagi, jumlah elektron dan proton dalam suatu materi tidak akan berubah. Yang ada hanyalah pergerakan elektron dari satu atom ke atom lainnya. Artinya, positif dan negatif dalam diri kita tidak akan pernah benar-benar hilang. Yang bisa kita upayakan hanyalah belajar mengelola kenegatifan dalam diri kita, bagaimana agar dapat menjelma menjadi suatu keindahan.
Berkaca pada firman Tuhan, Allahu nuurus samaawati bukan Allahu yunawwiru. Mbah Nun mengajak jamaah untuk mencoba menelisik kembali, bahwa beda arti antara nuuru dengan yunawwiru. Beda antara cahaya dan mencahayai. Lantas, apakah ini berarti Tuhan akan dapat kita temukan, saat kita mampu mengelola keburukan menjadi keindahan? Wallahu a’lam. Mari kita coba dalami bersama-sama kembali.
Jadi, kalau sudah demikian, kira-kira yang membuat listrik sendiri itu siapa? Manusia itu membuat atau menemukan listrik? Lagi-lagi, Mbah Nun mengajak jamaah untuk lebih jeli kembali, membedakan antara penemu dan pembuat listrik. Bahwa manusia nyatanya hanyalah menemukan, sedang yang menciptakan adalah Tuhan.
“Kira-kira siapa Nabi yang pernah mengalami listrik?” Tanya Mbah Nun kepada jamaah. Sesekali menengok pada yang sudah-sudah, barangkali bisa diambil ibrah, untuk dijadikan acuan dalam melangkah agar lebih terarah.
Barangkali kita juga belum pernah mendengar secara tersurat, nabi-nabi yang juga pernah mengalami peristiwa listrik. Akan tetapi, dalam sinau bareng seperti malam itu, Mbah Nun selalu mengajak jamaah untuk tidak langsung menerima begitu saja apa yang didapatkannya. Coba dikunyah dulu, dan bukannya langsung ditelan begitu saja. “Melihat kemegahan istana Nabi Sulaiman, mosok yo gak onok listrik ta, Rek?” Oiyaya. Jamaah manggut-manggut, seolah hanyut dalam kesadaran barunya.
Sinau Bareng bersama para rohaniawan PENS malam itu (30/08/2019) berlangsung dengan sangat indah. Para “murid” tidak hanya dijejali pengetahuan-pengetahuan, tapi juga diajak untuk belajar mengalami laku melalui workshop-workshop yang telah disediakan. Tak lain, ini hanyalah bagian dari upaya untuk membangun peradaban bersama. Tentu butuh waktu yang tak singkat. Karena membangun peradaban harus dilakukan secara konsisten, bukan hanya sekali dua kali saja. Tunggu dulu, rohaniawan? Iya, rohaniawan. Bukankah semua sepakat kalau cahaya adalah sesuatu yang non materi? Lantas, apa sebutan untuk orang yang mendalami listrik pemantik munculnya cahaya, sesuatu yang bukan materi, kalau bukan rohaniawan itu sendiri?