CakNun.com

Dato’ Baha Makin Penasaran dengan Maiyah

Fahmi Agustian
Waktu baca ± 4 menit

Langit di Shah Alam tampak mulai menggelap, begitu kabar yang kami terima dari Mas Gandhie yang menemani Cak Nun dan Mbak Via berkunjung ke kediaman Dato’ Baha di Negeri Jiran kemarin. Perbincangan hangat yang begitu akrab, karena memang dua sahabat ini sudah cukup lama tidak bertemu. Seperti yang sebelumnya juga diceritakan oleh Mas Reiza, Dato’ Baha masih sangat terkesan dengan suasana Padhangmbulan di Menturo ketika tahun 1998 beliau hadir saat itu.

Setelah santap siang, obrolan kembali berlanjut. Dato’ Baha benar-benar terkesan dengan Maiyah. Setelah sebelumnya dijelaskan oleh Cak Nun bagaimana forum Majelis Masyarakat Maiyah ini berlangsung, tanpa ada dukungan sponsor, tetapi masyarakat yang datang justru semakin banyak. Rumus ilmu mainstream sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadii di Maiyahan. Jika menggunakan konsep dunia hari ini, tidak mudah menggerakkan massa dengan jumlah ribuan, bahkan sampai puluhan ribu, untuk diajak duduk bersama di sebuah lapangan, dan yang lebih revolusioner, mereka yang datang ke Maiyahan ini diajak mikir.

Cak Nun menjelaskan kepada Dato’ Baha bahwa apa yang dilakukan di Maiyahan, berkumpul bersama masyarakat, yang mayoritas adalah anak-anak muda, adalah mendekonstruksi cara berpikir mereka melalui konsep Sinau Bareng, learn each other. Untuk membangun suasana kondusif di Maiyahan itu tidak mudah, Cak Nun menyampaikan kepada Dato’ Baha, bahwa semua yang dialami di Maiyahan itu bersumber dari kejujuran satu sama lain yang terbangun sejak alam pikiran.

Karena setiap orang yang datang ke Maiyahan adalah orang-orang yang murni, tidak dipaksa, apalagi dibayar untuk datang ke Maiyahan, mereka datang atas keinginan sendiri, dengan modal kemandirian itulah yang memudahkan mereka kemudian menerima khasanah ilmu di Maiyah. Jadi, sejak awal setiap orang yang datang ke Maiyahan memang sudah ikhlas, sudah lega hatinya, sudah merasa aman dan siap mengamankan satu sama lain, maka atmosfer yang terbangun adalah suasana kebersamaan yang sangat kondusif.

Bagaimana anak-anak kecil bahkan ikut menikmati suasana Sinau Bareng, tanpa rewel, tanpa gusar, tanpa menangis. Anak-anak masa depan itu menikmati Sinau Bareng, bahkan serius menyimak apa yang disampaikan oleh Cak Nun dan narasumber lain di panggung. Saat KiaiKanjeng memainkan lagu-lagu, anak-anak pun ikut bernyanyi, ikut shalawatan, ikut bergembira. Berulang kali dijelaskan oleh Cak Nun bahwa di setiap Maiyahan berlangsung, yang bekerja bukan hanya telinga dan kepala kita saja, tetapi sel-sel dalam tubuh, juga pori-pori di badan ikut bekerja menerima gelombang ilmu.

Mungkin terdengar aneh dan akan sulit dibuktikan dengan ilmu akademis, tetapi sudah cukup banyak testimoni yang kita dengar di setiap Maiyahan, bahwa ada yang hanya datang ke lokasi Maiyahan, duduk di pojokan, tidur dari awal acara hingga akhir acara. Tapi materi yang disampaikan tetap terekam baik di kepala mereka. Apakah ini perlu dibuktikan secara ilmiah? Ya boleh saja, tetapi yang jelas bahwa kita sudah mengalami dan mendengar testimoni secara langsung dari para salikul Maiyah itu sendiri.

Dato’ Baha pun makin penasaran dengan Maiyahan. Bagi Dato’ Baha, untuk mengelola forum dengan durasi 6-8 jam, dilakukan di malam hari, waktu yang lazimnya orang untuk beristirahat, untuk mengelola dan menjaga berlangsungnya forum saja sudah cukup sulit, apalagi ternyata Maiyahan di Simpul Maiyah sudah berlangsung puluhan tahun. Mendengarkan ceritanya saja Dato’ Baha sudah geleng-geleng kepala, apalagi melihat sahabatnya sendiri yang terjun di forum itu. Dan satu hal lagi yang juga membuat Dato’ Baha terkagum-kagum adalah bagaimana Cak Nun mampu menjaga kondisi fisiknya.

Dato’ Baha sendiri adalah salah satu tokoh yang sering diminta untuk berbicara di depan publik dengan massa yang banyak di Malaysia. Tetapi, diakui oleh Dato’ Baha bahwa seringkali ia merasa lelah setelah berceramah. Iseng-iseng Dato’ Baha bertanya kepada Cak Nun tentang tips agar staminanya kuat dan tidak cepat lelah.

Cak Nun pun dengan rendah hati menyampaikan kepada Dato’ Baha, bahwa yang dialami saat ini adalah karena Allah belum mengizinkan tubuhnya sakit. Jadi, memang tidak ada hal yang istimewa atau memerlukan ritual khusus. Sering kita mendengar Cak Nun menyampaikan bahwa apa yang dilakukannya selama ini itu karena ngikut apa perintah Allah. Karena, jika kita melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah, maka Allah akan memfasilitasi kita. Kondisi badan yang selalu sehat itu adalah salah satu fasilitas dari Allah yang dirasakan oleh beliau selama ini.

Maka Cak Nun pun kembali mengajak Dato’ Baha datang ke Indonesia, untuk merasakan sendiri atmosfer Maiyahan. Cak Nun menyampaikan ke Dato’ Baha, tidak usah khawatir, pokoknya Dato’ Baha tinggal datang saja ke Indonesia, nanti Mas Gandhie dan teman-teman di Indonesia akan mengatur semuanya.

Di tengah asyik ngobrol, suara petir menggelegar, dan hujan turun dengan derasnya. Ibu Norsiah pun sigap menawarkan untuk nambah kopi. Tapi, kopi tanpa rokok pasti rasanya kecut, Cak Nun pun kemudian memilih untuk keluar sebentar ke teras rumah Dato’ Baha untuk sekadar menghisap rokok. Cak Nun merasa kurang enak jika merokok di dalam rumah, tapi kemudian Dato’ Baha paham bahwa salah satu kebiasaan Cak Nun adalah merokok, maka Dato’ Baha pun mengajak Cak Nun untuk kembali masuk ke dalam rumah dan mengatakan bahwa merokok di dalam rumah pun tidak masalah.

Ada satu tema obrolan antra Cak Nun dengan Dato’ Baha yang cukup menarik, yaitu rencana menulis sebuah buku dengan tema yang sama. Sepanjang obrolan di kediaman Dato’ Baha, salah satu tema yang dibahas adalah keresahan tentang perpecahan masyarakat yang ternyata juga dialami di Malaysia akibat konstelasi politik. Cak Nun menyampaikan kepada Dato’ Baha bahwa keresahan ini juga dirasakan oleh masyarakat di Indonesia. Maka, perlu ada sebuah piweling dari orang tua untuk mengingatkan anak-anak muda agar tidak terjebak dalam konflik horizontal seperti ini.

Dalam hal ini, Cak Nun meminta Mas Reiza untuk turut terlibat dalam proses penyusunan buku ini. Semoga dalam beberapa bulan mendatang buku ini bisa diterbitkan.

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Topik