Dari Disrupsi ke Disrupsi
Sebuah peralihan peradaban yang pernah dialami umat manusia adalah momentun ketika ditemukannya tulisan. Demikian Mas Sabrang menyampaikan di atas panggung Sinau Bareng di Universitas Airlangga Surabaya tadi malam.
Lebih lanjut Mas Sabrang menyampaikan bahwa ada sebuah aspirasi dasar yang dimiliki manusia, yakni: Hiduplah lebih lama dari usiamu.
Aspirasi tersebut merupakan dorongan universal dan dorongan itu terbantu sekali ketika momentum ditemukannya tulisan terjadi. Sebab, melalui tulisan, seorang manusia bisa memiliki usia berupa karya yang umurnya lebih panjang ketimbang usia fisik.
Peradaban pun terus bertransformasi, peralihan demi peralihan, disrupsi demi disrupsi. Sampai kita menjumpai perkembangan teknologi informasi secanggih hari ini. Hadirnya Youtube, misalnya, memenuhi aspirasi dasar manusia untuk hidup lebih lama. Sepanjang server belum mbleduk, seorang manusia akan tetap masih eksis keberadaannya di dalam konten yang mereka unggah.
Milenial selalu antusias membicarakan kemajuan teknologi. Masih di sesi awal, Pak Suko mengajak jamaah untuk ikut urun pemikiran dan berbagi pandangan. Dari proses tersebut, ditengarailah bahwa pertanyaan dan topik perbincangan yang membuat milenial antusias adalah selain teknologi informasi dan artificial intelegence (AI) juga adalah isu klasik sepanjang masa, yakni: hakikat cinta.
Di hadapan panggung tampak bangunan gedung rektorat Universitas Airlangga kampus C gagah menjulang. Di bawahnya, seisi halaman penuh oleh tumpah ruah jamaah, di posisi yang lebih belakang yakni pada sisi sayap dan sela-sela bangunan kampus juga nampak pemandangan jamaah yang mencoba merangsek masuk berharap mendapatkan tempat yang bisa dipakai untuk duduk dengan tetap mendapatkan view panggung atau minimal dapat melihat giant screen. Veri, seorang penggiat Bangbang Wetan, menuturkan di acara yang sudah digelar beberapa tahun di Unair ini, populasi jamaah yang hadir malam ini memecahkan “rekor” ramainya dari tahun-tahun sebelumnya.
Di tengah sesi berlangsung, Mas Patub dan Mas Jijid ikut melibatkan diri. Membawakan sebuah fragment experiental learning melalui permainan “Black magic”. Pada saat permainan berlangsung, dari sisi samping Mbah Nun memasuki panggung. Ketika rombongan mendekati panggung, jamaah yang duduk pada rute yang akan dilalui tersergap berdiri tetapi tetap tertib kondusif. Semua orang yang hadir tentu menyimpan rindu kepada Mbah Nun, tetapi mereka sanggup menahan diri sehingga tertib pun tetap terjaga.
Mbah Nun kemudian bergabung di atas panggung dengan alur sesi tetap berjalan dengan baik. Di antaranya Mbah Nun menyampaikan tentang falsafah yang diugemi masyarakat Jawa: Jadilah tua tanpa harus menunggu tua.
Falsafah itu relevan dengan proses elaborasi yang sedang berlangsung di mana Mas Sabrang sebelumnya membahas bagaimana perasaanmu ketika melihat status medsos dua tahun yang lalu? Sebagian jamaah menjawab malu ah, alay sekali.
Mbah Nun kemudian bercerita tentang buku pertama Beliau yang terbit tahun 1979, yakni: Indonesia Bagian dari Desa Saya. Buku itu sekarang dicetak ulang dan masih mendapat sambutan yang sangat baik dari masyarakat.
Ketika membacanya lagi, Mbah Nun menyampaikan bahwa dirinya tidak merasa malu atau lucu, karena ketika menulis saat itu sudah diproyeksikan untuk relevan dalam waktu sangat lama. Saya pun sepakat dengan itu, betapa tulisan beberapa dekade yang lalu tetapi hari ini masih begitu presisi relevansinya. Betapa kala menulis itu Mbah Nun sudah berfikir begitu ‘tua’ meskipun saat itu masih berusia belia.
Malam ini adalah malam yang khusus, ungkap Mbah Nun. “Brang! Sing penting arek-arek iki nduweni proyeksi ke depan,” Beliau menyampaikan kepada Mas Sabrang. Dengan kata lain, Mbah Nun mengajak kita untuk memiliki Grand design of life. Sebab kita sendirilah yang membentuk aliran hidup kita. Oleh karenanya, sebuah proyeksi masa depan adalah hal yang sangat penting. Sebuah proyeksi tentang masa depan yang ia melampaui potensi umur fisik kita. Apa saja yang mesti diperhatikan mengenai proyeksi ke depan? Saya mencoba merangkum secara sederhana seperti berikut ini.
Pertama: Milikilah kesadaran bertumbuh
Betul bahwa dalam hidup kita membutuhkan memahami kebenaran agar memiliki pegangan. Namun, janganlah kita terjebak pada obsesi untuk mendapatkan kebenaran absolut. Demikian Mas Sabrang menuturkan.
Yang penting carilah kebenaran yang efektif, yang dengan itu kita bisa berpindah dari sebuah keadaan menuju keadaan yang lebih baik. Bahwa di masa datang kita menemukan kebenaran yang baru. Memang dalam kaidah akademis juga berlaku demikian. Selalu terbuka pada penemuan kebenaran baru.
Selain mengupayakan pencarian kebenaran efektif, Mas Sabrang menggenapkan prinsip ini dengan menekankan pentingnya curiousity alias rasa ingin tahu. Sekarang kita memasuki era artificial intelegence (AI) yang begitu canggih. Rupa perilaku manusia nyaris semua bisa digantikan oleh AI. Satu yang tidak bisa dipunyai oleh AI dan manusia punya adalah: curiousity. Ya, rasa ingin tahu adalah alat untuk belajar lebih cepat, supaya kita dapat terus bertumbuh.
Kedua: Futurologi tidak boleh lepas dari taqwa
Mbah Nun mengajak kita untuk mentadabburi Surat Al-Hasyr ayat 18. “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Demikianlah, proyeksi masa depan apabila tidak dibekali dengan takwa, maka ia menjadi inpresisi. Time will tell.
Ketiga: Sungai tak pernah lepas dari hulunya
Peradaban modern mengajak kita menjadi kereta api. Lokomotifnya di depan, menarik gerbong-gerbong. Maka tak heran bila orang hidup dipenuhi oleh tarikan obsesi-obsesi. Padahal kompatibelnya aliran hidup manusia ibarat sungai. Alirannya dapat mengalir kemana-mana, tetapi ia tidak pernah melepaskan diri dari hulunya.
Hulu kehidupan adalah Allah Swt. Pun begitu muaranya. Maka sekaligus Mbah Nun memberi rekomendasi kepada Universitas bahwa nanti pada saatnya ketika sudah siap bertransformasi Universitas dapat menyusun kurikulum baru, misalnya setahun pertama pembelajarannya adalah fokus pada ilmu sangkan paran dengan maksud agar pendidikan kembali pada fungsinya, bukan alat mencari penghidupan semata melainkan alat untuk sinau cara hidup yang benar.
Keempat: Diri, keluarga dan bangsa mempunyai jangkauan proyeksi yang berbeda-beda
Mbah Nun mengajak membuka pikiran jamaah untuk menghitung jangkauan berpikir ke depan. Kalau individu sampai serapa jauh seharusnya proyeksinya. “Lalu untuk ukuran keluarga, misalnya, bahwa setiap keluarga menurut saya harus berfikir tiga generasi ke depan. Kemudian universitas harus melihat lebih jauh lagi ke depan. Negara pun begitu,” pesan Mbah Nun.
Mbah Nun kemudian menyampaikan, “Saya melihat masa depan tidak sebagai diri saya, bahkan tidak hanya sebagai Bangsa Indonesia. Saya melihat ke depan sebagai umat manusia di seluruh dunia yang nasibnya terlunta-lunta karena kesalahan-kesalahannya sendiri.”
Demikianlah, kesungguhan menyusun proyeksi masa depan diri, keluarga dan sosial kita mestinya akan membuat kita tidak kagetan menghadapi disrupsi demi disrupsi peradaban yang masih akan terus terjadi ke depan.
Milenial sudah mendisrupsi generasi sebelumnya. Dan selalu bersiaplah milenial nantinya akan didisrupsi oleh generasi yang akan datang. Mas Sabrang memberikan piweling.