Berduyun-Duyun Uzlah Ke Maiyah
“Siaga Kapak dan Tongkat” dan “Menderita Karena Maiyah” adalah dua tajuk tulisan Mbah Nun yang sudah dipublikasikan di Caknun.com pada 4 November dan 25 Oktober 2019. Keduanya dipilih dijadikan prolog pada Maiyah Mocopat Syafaat 17 November 2019 kemarin. Bertugas sebagai pemandu prolog diskusi sesi awal Mocopat Syafaat, ada Mas Heri dan penulis sendiri yang mana merupakan wakil dari pegiat NM (Nahdlatul Muhammadiyin). Sementara dari RMS (Rembug Mocopat Syafaat), ada Mas Angga dan Mas Ajik.
Setelah nderes Qur’an yang dimpin oleh Mas Ramli berakhir, kami berempat langsung mengambil posisi duduknya masing-masing. Mengawali sesi ini, kami membuka dengan ucapan salam “Asalamualaikum...” dan disusul jawaban “Walaikum salam...” dari semua jamaah. Salam sendiri merupakan sebuah janji cinta untuk saling menyelamatkan, serta merupakan doa agar rahmat dari Allah berubah jadi barokah.
Sesi sebelum diskusi dibuka, seusai pembacaan tajuk yang berjudul “Siaga Kapak dan Tongkat”, Mas Heri menguraikan hasil tadabburnya. Menurutnya, apa yang dilakukan Nabi Ibrahim ketika menghancurkan berhala yang dituhankan kaumnya ketika itu, tidak lain sebenarnya adalah merobohkan pola pikir materialistik. Sang Khalilullah langsung menghancurkan titik kunci kehidupan, yaitu “ritual menyembah berhala”. Sementara, berhala manusia modern dewasa ini bukan lagi patung dan arca sebagaimana zaman Nabi Ibrahim, melainkan sudah bertransformasi menjadi berbagai macam rupa mulai popularitas, tahta, harta dan segala tipudaya kenikmatan dunia.
Melanjutkan uraian Mas Heri, Mas Angga dari pegiat RMS memberi ekplorasi singkat bahwa pemberhalaan dunia materialisme yang menguasai panggung hari ini, sesungguhnya hanya bisa dikalahkan oleh siapa saja yang menomorsatukan Tuhan. Sehingga menurut Mas Angga, kita, anak-anak Maiyah senantiasa berusaha terus-menerus melakukan penelitian atas diri masing-masing, melakukan identifikasi, hingga meletakkan Allah sebagai pertimbangan dan perhitungan dalam setiap menjalankan peran kehidupan.
***
“Menderita karena Maiyah”, merupakan tajuk yang penulis bacakan selanjutnya. Dalam tajuk ini, ada satu petikan kalimat Mbah Nun yang menurut hemat kami, sangat menyayat hati “Sungguh saya bersedih jangan-jangan dengan ber-Maiyah anak-anak cucu-cucuku menjadi ghuroba, menjadi terasing dari masyarakatnya, bahkan keluarga dan sahabat-sahabatnya”. Dalam hal ini, tersebut dalam hadist riwayat Ahmad, bahwa seseorang bertanya pada Rasulullah, “Wahai Rasul, siapa mereka orang-orang yang aneh (al-Gruroba’)? Beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang tetap berbuat baik ketika manusia telah rusak.”
Mbah Nun yang sudah malang melintang, bergaul dengan siapa saja, beragam latar sosialnya, siang dan malam, paham betul apa yang sedang berlangsung di kehidupan dewasa ini. Memang sudah tidak ada lagi Namrud atau Fir’aun yang terang-terangan memaksa untuk menyembah berhala. Tetapi secara tidak sadar pola pikir kita digiring, dipengaruhi, disihir oleh Namrud, oleh Fir’aun-Fir’aun, oleh Diqnayus modern untuk memberhalakan dunia, menyembah tuhan bernama materialisme. Meski begitu, Mbah Nun tetap memberi kemerdekaan, kedaulatan penuh kepada semua anak cucunya untuk mengambil sikap, seperti yang tertulis di akhir tajuknya, “Berhentilah ber-Maiyah kalau itu membuatmu sengsara dan kesepian!”
Tetapi alih-alih takut menjadi seorang ghuroba karena bersentuhan dengan Maiyah, senyatanya justru semakin berduyun-duyun orang datang ke maiyah. Mau bukti? Silakan saksikan dengan mata kepala sendiri di setiap acara Maiyahan. Kalian akan melihat lautan manusia duduk berjubel tanpa sela, dari berbagai daerah, dari selepas isya hingga menjelang subuh. Terkait fenomena tersebut, Mas Heri berpendapat bahwa Maiyah sudah terbukti menjadi arena pembelajaran bagi siapa saja. Maiyah menjadi forum seribu podium. Di pagelaran Maiyah, guru menjadi murid, murid menjadi guru. Kiai menjadi santri, santri menjadi kiai. Tidak ada yang merasa paling tahu, tidak ada yang dianggap paling dungu.
Persisnya, di Maiyah, orang-orang justru banyak mendapatkan “buah-buahan” dari beragam “pohon” narasumber. Mulai buah ilmu, sikap hidup, solusi, jawaban atas kegelisahan, alternatif sudut pandang dan lain seterusnya, sehingga cukup berasalan jika Maiyah dijadikan sebagai tempat ber-uzlah bagi banyak orang. Maiyah tidak mengikat siapa saja, melainkan orang-oranglah yang justru mengikatkan diri pada Maiyah. Dan terkait bagaimana memperlakukan banyaknya buah di Maiyah, penulis teringat ucapan Cak Zakki pada suatu kesempatan ngobrol, “Nek enak lan cocok kanggo awakmu, untalen. Tapi nek gak doyan, utahke”.
***
Memasuki sesi diskusi, Mas Aji sebagai “wasit”, melempar “bola” berupa kalimat tanya, sebagai pemantik diskusi ke tengah jamaah “Derita macam apa yang pernah Anda alami, sebelum dan sesudah bersentuhan dengan Maiyah”? Tanpa menunggu lama, satu, dua, tiga, empat hingga karena keterbatasan ruang dan waktu, mas Ajik hanya bisa mempersilakan enam orang untuk naik ke panggung Mocopat Syafaat. Penggalian pengalaman jamaah atas perjalanan hidupnya, baik itu dengan dirinya sendiri, keluarga, pekerjaan, dan kehidupan bermasyarakat dieksplorasi oleh mas Ajik dengan santai, penuh humor, tetapi tetap fokus.
Sebelum pada akhirnya sesi diskusi ditutup untuk dilanjutkan pada sesi berikutnya, Mas Heri memberikan semacam kalimat kunci sebagai penutup, bahwa Jama’ah Maiyah mestinya adalah para pelaku tirakat. Harus mampu mengelola penderitaan, menjadi sesuatu yang bisa dinikmati dan disyukuri. Orientasi Maiyah adalah kehidupan sejati setelah mati, bukan “haha hihi” duniawi. Waspada akan propaganda dan tipu daya sihir media. Teguhkan iman, jangan gumunan. Siapkan tongkat otentisitas yang telah dianugerahkan Allah, sebagai fadhilah bagi setiap kita sambil menunggu momentum Allah perintahkan untuk melempar atau memukulkannya.