Belajar Kepada Monyet, Refleksi Diri, Hingga Tadabbur Al-Kafirun
Fahmi Agustian kemudian menjelaskan, bahwa tema Kenduri Cinta kali ini tekanannya adalah bagaimana kita bersama kembali menumbuhkan kesadaran untuk mengakui kesalahan yang ada dalam diri kita. Kecenderungan kita hari ini adalah menghakimi orang lain, tetapi kita justru lupa untuk menghakimi diri kita sendiri. Kita justru lalai dengan kekurangan yang ada dalam diri kita, tetapi kita lebih sibuk untuk menghitung kekurangan orang lain.
Dalam suasana politik akhir-akhir ini kita kembali diperlihatkan betapa masyarakat kita semakin terbiasa menghitung sesuatu berdasarkan materi. Orang Maiyah tidak kagetan dan tidak gumunan terhadap sesuatu identitas. Di Maiyah kita semua mempelajari bahwa Islam-nya seseorang itu tidak bisa dinilai oleh manusia. Serajin apapun orang sholat, kita tidak bisa menilai keislamannya. Sebanyak apapun ayat Al-Qur`an yang dihapal, tidak menjadikan legitimasi bahwa Islamnya lebih baik dari orang lain.
Bagaimana kita hari ini menyaksikan dagelan politik yang tidak ada habis-habisnya. Seperti contohnya ada ulama yang memberi testimoni keislaman salah satu calon presiden, sementara kita di Maiyah justru belajar untuk menumbuhkan kesadaran bahwa setiap ibadah yang kita lakukan posisinya adalah untuk meneguhkan harapan agar semoga kelak dilegitimasi oleh Allah bahwa kita adalah seorang muslim. Contoh lainnya adalah ketika salah satu capres dipertanyakan kapan dan di mana dia sholat jumat? Sampai-sampai BAWASLU menurunkan personel untuk turut mengawasi agenda sholat jumat salah satu capres di sebuah Masjid.
Di Maiyah, ini bukan perkara kita mendukung 01 atau 02. Tetapi perilaku masyarakat kita hari ini pada akhirnya tergiring untuk menilai sesuatu pada hal-hal yang sifatnya materi. Sudah sejak lama melalui Maiyahan kita menemukan kesejatian ibadah di dalam hubungan privat dengan Allah, bahwa yang dibutuhkan oleh orang-orang di sekitar kita adalah perilaku kita, akhlaq kita, moral kita. Serajin apapun kita beribadah, jika tidak menghasilkan perilaku yang baik kepada orang lain, maka kita tidak menemukan esensi dari ibadah itu sendiri. Sholat saja ditegaskan oleh Allah; Innashsholata tanha ‘anil fakhsyaai wal munkar. Secara eksplisit dinyatakan bahwa sholat adalah ibadah yang menghindarkan kita dari perbuatan keji dan munkar. Inputnya adalah ibadah sholat, output-nya adalah perilaku baik kita, tidak berbuat keji dan munkar.
Menjelang akhir diskusi sesi pertama, Cak Nun, Ibu Via dan Mas Sabrang bergabung di sayap panggung sebelah kanan. Beberapa jamaah berebut bersalaman. Duo akustik Bimantoro kemudian mengisi jeda, melalui lagu-lagu 80-90-an, juga memainkan salah satu medley lagu yang di dalamnya terdapat lagu Gundul Pacul, jamaah pun bernyanyi bersama. Setelah Bimantoro, Donny kembali tampil, kali ini bersama Krist. Lagu “Tentang Kehidupan”, sebuah lagu lawas yang ternyata cukup akrab di telinga jamaah dibawakan. Donny yang dulu ketika belum bergabung dengan KiaiKanjeng merupakan vokalis Seventeen, semalam membawakan salah satu lagu Seventeen.
Pedagang kopi hilir mudik, membelah lautan jamaah yang padat. Entah bagaimana mereka dengan mudahnya berpindah dari kerumunan satu ke kerumunan lainnya. Yang pasti Allah membukakan celah untuk mereka mencari rizki. Sekaligus memberi kesegaran pada bayak tatap mata yang sayup-sayup mengantuk ditengah. Pedagang yang membelah lautan jamaah menjadi solusi, tanpa harus beranjak dari tempat ia duduk, ia bisa membeli kopi. Setelah jeda, Fahmi mempersilakan Cak Nun dan Mas Sabrang untuk bergabung ke panggung.
Belajar Kepada Monyet
Membuka diskusi, Cak Nun mengungkapkan kebahagiaannya karena Ibu Via turut menemani Cak Nun hadir di Kenduri Cinta. Kebahagiaan itu semakin lengkap karena juga ada Mas Sabrang. Sejenak kemudian Cak Nun menyampaikan beberapa kegelisahan yang akhir-akhir ini dirasakan. Cak Nun khawatir jangan-jangan doa-doa yang selama ini dipanjatkan, tidak dikabulkan oleh Allah. “Saya khawatir, saya tidak memenuhi harapan Anda di dalam hal apapun saja. Saya khawatir, saya melakukan apa yang seharusnya tidak saya lakukan, dan saya juga khawatir tidak melakukan apa yang seharusnya saya lakukan”, Cak Nun mengawali.
“Saya khawatir Anda salah sangka kepada saya. Saya khawatir Anda ngikut saya (menjadi pengikut saya), padahal Anda punya diri Anda masing-masing dengan sejarah dan kedaulatan Anda masing-masing yang tidak sama dengan saya”, Cak Nun melanjutkan. Melalui pesan ini, Cak Nun kembali menegaskan bahwa setiap individu di Maiyah memiliki kedaulatan dalam diri masing-masing, sehingga apapun informasi yang didapatkan di Maiyahan harus diolah kembali, bukan informasi yang langsung ditelan mentah-mentah. Apalagi menjadi pengikut Cak Nun, hal ini sangat tidak diinginkan oleh Cak Nun. Karena seharusnya yang kita ikuti, yang lebih utama kita teladani adalah Rasulullah Saw.