CakNun.com

Amar Maiyah, Setoran Kepada Allah untuk Bangsa Indonesia

17 April 2019 telah berlalu, kontestasi Pemilihan Umum telah dilaksanakan. Sekarang, bangsa Indonesia sedang menunggu hasil penghitungannya. KPU sebagai wasit dari pertandingan ini sedang bekerja untuk merekapitulasi seluruh suara yang masuk. Siapa yang terpilih menjadi wakil rakyat, hingga Presiden dan Wakil Presiden akan kita ketahui bersama setelah tanggal 22 Mei 2019 nanti.

Bangsa Indonesia dalam beberapa tahun terakhir melewati tahun-tahun yang cukup melelahkan. Tahun-tahun yang gaduh, perpecahan demi perpecahan semakin meruncing, polarisasi semakin tidak terpetakan. Sumbu pendek, mercon, petasan, kompor mledug, cebong, kampret, babi, monyet, anjing, kotak-kotak, segitiga, lingkaran, bumi datar, bumi bulat, kafir, muslim, liberal, konservatif, radikal, moderat, garis lurus, garis miring, garis tegak, garis keras, garis lucu hingga 01 atau 02 adalah sekian dari bentuk polarisasi yang sangat nyata di tengah masyarakat kita hari ini.

Dahulu, ketika Soeharto masih berkuasa, musuh bersama bangsa ini adalah; Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Ternyata, hari ini musuh bersama kita tidak hanya KKN. Saking banyaknya, kita bahkan semakin tidak mampu mengidentifikasi, siapa yang berada di pihak musuh dan siapa yang berada di pihak kita. Jangan-jangan, tanpa sadar kita juga berada di pihak musuh. Dalam pertandingan sepakbola, lazimnya dua kesebelasan bertanding dipimpin oleh wasit pertandingan yang berlaku adil. Namun, yang kita lihat dalam pertandingan 2019 di Indonesia kali ini, kita tidak melihat wasit pertandingan di tengah lapangan. Lebih parah lagi, pemain masing-masing kesebelasan justru saling berebut, saling sikut, saling jegal, dan berlomba-lomba memasukkan bola, bukan ke gawang lawna, melainkan ke gawang sendiri. Sementara master mind pengatur skor akhir pertandingan, sedang duduk manis di sebuah kursi di tribun penonton.

Menjelang PILPRES 2014 lalu, Mbah Nun sudah menyampaikan banyak peringatan, bahwa Indonesia akan memasuki tahun-tahun yang berat. Momentum pemilihan Presiden yang seharusnya melahirkan pemimpin yang sejati, justru dimanfaatkan oleh para pemuja nafsu kepentingan kapitalisme global. Para kaum elit tidak terbendung kemauannya, masyarakat kelas menengah mengambil peran (untuk dimanfaatkan) memuluskan kepentingan para elit, sementara rakyat di kalangan akar rumput, tetap menjadi kaum mustadl’afin, yang menjadi komoditas utama bagi mereka yang memiliki kepentingan.

Tak perlu lagi orasi singa podium dengan suara menggelegar dan narasi yang menggetarkan untuk menyampaikan pesan bahwa bangsa Indonesia dalam kondisi yang membahayakan. Karena jika kita menyaksikan siaran televisi dan pemberitaan media massa, juga pergunjingan di media sosial hari ini, telah nyata bahwa Indonesia baik-baik saja. Tidak ada ledakan bom, hanya percikan api yang meletuskan petasan-petasan mercon. Bising sesekali, letusan mercon itu lantas berlalu, tanpa bekas. Dan mudah sekali kita melupakannya. Kita malas untuk mengingat-ingat kembali, karena sebentar kemudian ada letusan mercon yang baru, dan sebagian dari kita ikut bersorak menikmati keriuhan letusan mercon itu.

Mbah Nun bersama masyarakat Maiyah memposisikan diri untuk teguh pendirian dalam proses Sinau Bareng, Belajar Bersama. Sebagai manusia, kita adalah pembelajar sepanjang hidup. Jika kita menapaki sejak Padhangmbulan pertama kali dilaksanakan di Menturo, maka Maiyah sedang memasuki dekade ke-3 perjalanannya. Selama itu pula, Maiyah berusaha meneguhkan diri, mengambil peran sebagai relawan evakuasi, siap sedia, stand by kalau-kalau terjadi sesuatu.

Pesta atau Evakuasi. Narasi yang juga pernah dipesankan oleh Mbah Nun menjelang 2014 lalu. Jika pesta, hampir semua orang memiliki kesiapan mental untuk menikmati kegembiraan sebuah pesta. Namun jika yang harus dilakukan adalah evakuasi, tidak setiap orang memiliki kesigapan mental untuk tatag memposisikan diri sebagai pasukan yang mengevakuasi.

Masyarakat Maiyah tidak pernah sekalipun menawar-nawarkan diri untuk menjadi pihak yang paling mampu melakukan perubahan. Dengan semangat Sinau Bareng itulah masyarakat Maiyah selalu berusaha untuk meneguhkan diri untuk terus mencari apa yang benar. Dan karena kebenaran manusia adalah kebenaran yang relatif, maka masyarakat Maiyah tidak memiliki keberanian diri untuk merasa paling benar sendiri. Dengan kerendahan hati, masyarkat Maiyah mencoba untuk terus menemukan formula yang tepat, secara perlahan terus berproses, belajar bersama untuk menciptakan perubahan.

Amar Maiyah adalah sebuah upaya masyarakat Maiyah, sebagai kaum mustadl’afin, mencoba mengupayakan semaksimal mungkin agar tidak menjadi semakin parah terhadap apa yang sedang dialami bangsa Indonesia hari ini. Kedhaliman proses bernegara, ketidak-adilan, ketidak-jujuran, dengan kecurangan-kecurangan yang bersumber dari kekufuran akhlak, pembangkangan terhadap konstitusi, hukum, tata aturan bernegara, serta pelecehan terhadap kejujuran demokrasi dan martabat rakyat Indonesia yang kita alami bersama hari ini adalah syarat yang sudah terpenuhi jika pada akhirnya nanti kita mengalami sebuah kehancuran bangsa.

Doa Tahlukah dan Hizib Nashr menjadi upaya terakhir, setoran kaum mustadl’afin kepada Allah agar tetap menyayangi dan mengasihi bangsa Indonesia. Terhadap segala kecurangan, kedhaliman, ketidak-jujuran yang sudah terjadi, itu merupakan hutang besar bangsa Indonesia yang harus segera ditunaikan. Jika tidak, maka Allah sendiri yang akan menagih hutang tersebut dengan biaya yang berlipat-lipat.

Amar Maiyah adalah upaya kaum mustadl’afin agar ongkos yang dibayarkan atas kesemrawutan dan keruwetan bangsa Indonesia ini menjadi seminimal mungkin. Kaum mustadl’afin Maiyah tidak pernah bercita-cita bahwa apa yang diusahakan hari-hari ini akan menghasilkan perubahan yang cepat dan signifikan. Kaum mustadl’afin Maiyah hanya meneguhkan kesetiaan untuk menjalani proses sebagai manusia, melakukan yang seharusnya dilakukan dan tidak melakukan yang memang seharusnya tidak dilakukan.

Semoga Allah selalu melimpahkan kasih sayangnya kepada bangsa Indonesia. Aamiin.

Lainnya