Al-Birr
Dalam khasanah ilmu Maiyah, kita mengetahui bahwa kebaikan disebutkan di dalam Al Qur`an ada 5 macam; Khoir, Ma’ruf, Birr, Ihsan, dan Shaleh. Khoir adalah kebaikan universal yang bersifat cair, yang murni datang dari Allah. Ma’ruf adalah kebaikan yang sudah dirumuskan dan kemudian disimulasikan, kemudian menjadi norma hukum, sehingga fungsinya berada dalam ranah kehidupan sosial. Birr adalah kebaikan yang sifatnya vertikal, online dengan Tuhan, yang dicapai setiap orang dengan cara ritual ibadah yang bersifat spiritual. Maka dalam Islam, pencapaian seseorang yang melaksanakan ibadah Haji, capaian maksimalnya adalah mabrur.
Sementara Ihsan adalah kebaikan yang lahir dari kemurnian diri manusia, dari sikap tasammuh manusia, dan tidak boleh dijadikan sebuah aturan yang memadat. Perilaku Ihsan adalah sebuah perilaku kebaikan, dimana kita melakukan sebuah kebaikan bukan atas dasar pamrih apalagi atas dasar kewajiban harus melakukan kebaikan, namun kebaikan Ihsan adalah kebaikan yang dilakukan atas dasar keterpanggilan hati nurani. Ketika ada orang miskin yang kelaparan, sebagai rakyat biasa jika kita tidak menolongnya dan tidak memberinya makan, maka kita tidak melanggar hukum Negara, karena kewajiban untuk memberi makan orang miskin tersebut adalah kewajiban Negara.
Dan yang terakhir adalah Sholeh. Sholeh adalah kebaikan yang berupa sebuah rumusan yang berlaku dalam hubungan sosial masyarkat. Tingkat ke-Sholeh-an sebuah kebaikan ditandai dengan semakin sedikitnya mudhlarat yang ditimbulkan seuatu aturan main atau undang-undang yang disepakati bersama. Semakin tinggi mudhlaratnya, maka semakin tidak sholeh undang-undang tersebut. Dan semakin rendah tingkat mudhlaratnya, maka semakin tinggi tingkat ke-sholeh-annya. Sehingga, ketika kita melakukan sebuah perilaku yang kita anggap sebagai sebuah kebaikan, kita masih harus menghitung kembali, apakah kebaikan yang kita lakukan masih mendatangkan mudhlarat atau tidak.
Seperti halnya kebenaran. Tidak akan kita temui sebuah kebenaran yang mutlak. Setiap pencarian manusia hanyalah mencapai pada titik kebenaran yang relatif. Dan posisi kita sebagai manusia yang mencari kebenaran adalah sebagai pihak yang selalu berpijak pada “disemogakan”. Semoga, kebenaran yang kita temukan adalah kebenaran yang kelak mengantarkan kita pada ridhlo Allah.
Kebenaran jika kita kawinkan dengan kebaikan maka akan menghasilkan keindahan. Pendaran ilmu Maiyah mengantarkan kita pada presisi ketepatan nilai, bahwa sebuah kebenaran tidak mungkin berdiri sendiri. Kebenaran apapun, agar menjadi sebuah keindahan maka harus dikolaborasikan dengan kebaikan.
Tentu ada sebuah rahasia yang harus kita temukan, kenapa istilah berbuat baik kepada orang tua di dalam Islam dikenal dengan istilah birrul walidaini. Begitu juga dengan pencapaian tertinggi ibadah haji, kenapa menggunakan kata mabrur. Tidak mungkin Allah serampangan menempatkan kata atau istilah untuk dikenal dan diaplikasikan oleh kita sebagai hamba-Nya.
Maka Birr adalah kebaikan yang sangat inti dari setiap perilaku baik manusia. Kebaikan yang spesifik, dan ia bersifat vertikal juga online dengan Allah. Kata Birr tidak sembarangan digunakan. Tidak semua kebaikan kita sebut dengan istilah Birr. Tidak ada istilah Amar Birr Nahyi Munkar, melainkan yang ada adalah Amar Ma’ruf, Nahyi Munkar. Tidak ada juga istilah Da’wah bi-l-birr, melainkan Da’wah bi-l-khoir. Karena memang setiap kata di dalam Al Qur’an diajarkan oleh Allah untuk diletakkan pada posisi yang tepat. Bukan hanya mempertimbangkan estetika sastrawi semata, namun juga mempertimbangkan momentum ruang dan waktu yang tepat.
Terhadap yang sedang dihadapi bangsa ini tidak cukup hanya di-khusnuzon-i bahwa retaknya persaudaraan, perpecahan, pertentangan, pertarungan bahkan perkelahian fisik terjadi hanya karena antara kebaikan dan kebaikan berbenturan karena perbedaan orientasi politik semata. Lelah dirasakan oleh masyarakat, dipaksa mengikuti ritual demokrasi dengan tontonan permusuhan, perdebatan dan kemarahan. Dan kita telah menyadari bahwa pecahnya tali persaudaraan bangsa Indonesia hari ini adalah ongkos mahal yang harus kita bayar untuk merayakan pesta demokrasi lima tahunan.
Manuver dan aksi teatrikal elite politik yang buruk tidak sebanding dengan ongkos biaya tinggi penyelenggaraan panggung demokrasi yang semestinya mampu menghadirkan pertunjukan yang lebih indah dan menggembirakan masyarakat. Tentu masing-masing kubu politik berusaha sebaik mungkin untuk mendapatkan simpati dari rakyat. Tetapi jika dibalik kebaikan itu ditujukan hanya untuk mengusai rakyat, bagi-bagi kekuasaan dengan kubu lawan paska kemenangan pemilu justru bakal menjadi tontonan penghianatan terhadap rakyat yang telah memberikan dukungan. Meskipun distribusi kekuasaan itu baik untuk meminimalisir perpecahan, namun itu akan semakin memperjelas bahwa pesta politik ini untuk kepentingan elite politik, bukan demi kebaikan, kesejahteraan dan kemenangan Rakyat Indonesia.
Luput dari perhatian masyarakat karena polarisasi, kepentingan oportunis investor politik yang kelak akan menagih keuntungan atas investasi kekuasaan jangka pendek lima tahunan perlu diwaspadai. Bukan dalam rangka kecurigaan, kejelian dalam mengidentifikasi kebaikan sebagai khoir, makruf, birr, ikhsan dan sholeh dapat menjadi penimbang supaya ketepatan kebaikan berikutnya dapat benar dan menjadi indah. Dalam hal investasi kekuasaan, Maiyah meyakini bahwa Investor utama kekuasaan adalah Allah Yang Maha Kuasa. Penguasa didunia hanyalah sebatas yang dipinjami kekuasaan dari-Nya. Karena itu, setiap penguasa akan bertanggung jawab atas kekuasaannya langsung kepada Sang Maha Kuasa, supaya senatiasa mengedepankan kepentingan rakyat yang berada pada wilayah kekuasaan sementaranya.
Maiyah setia untuk terus berproses berjalan menapaki setiap langkah yang semoga sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah. Maiyah terasing dari hiruk-pikuk keriuhan Indonesia. Menjadi bagian yang tidak dianggap, tidak dihitung, tidak diakui eksistensinya. Tetapi, memang bukan itu tujuan Maiyah. Kesetiaan Maiyah menikmati proses merintis benih-benih kebaikan, terus menanam bibit-bibit baru manusia masa depan Indonesia. Entah bagaimana nanti akhirnya, Maiyah memasrahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Dan Maiyah selalu siap sedia jika kapanpun dibutuhkan, dengan pijakan bahwa Maiyah tidak akan pernah menawarkan diri untuk menjadi pahlawan, melainkan istiqomah diperjalankan oleh Yang Maha Memperjalankan.
Dan salah satu pesan yang sangat dalam yang berulang kali disampaikan oleh Cak Nun, bahwa Maiyahan yang hingga hari ini kita ikut terlibat dalam proses perjalanannya, salah satu misi utamanya adalah agar kita mampu menemukan kenikmatan dalam berbuat baik. Kenduri Cinta edisi April 2019 ini, mengajak kita semua untuk menemukan kembali presisi Birr dalam diri kita. Karena sesungguhnya yang kita butuhkan adalah pengakuan dari Allah berupa ridhlo-Nya, bukan pengkuan dari manusia di dunia.