74
Tuhanku
susah payah berjalan, dari hari ke hari, hanyalah
karena percaya bahwa aku akan sampai.
batu-batu mengiris, racun dan duri di sepanjang
jalan mendaki bukit, melangkah aku tersaruk-saruk,
berpedoman langit
masuk kota, panas gemerlap, direguk teknologi, kaget
aku ditikam dari belakang ketika kau tersenyum
dan mengulurkan tangan,
maka kuminum tuak—sebab apa lagikah, sehabis
terkecoh selain mabuk menggelegak, sambil terus
berjalan, berteriak-teriak.
Tuhanku,
dari kulit batinku keluar bintik-bintik darah, kuusap,
keluar lagi, kuusap, dan keluar lagi.
laut sunyi, kuarungi tanpa bisa mati-mati, kemudian
tiba di pantai, sisa perahu kandas, tangis dari
jauh, kayu-kayu rapuh, diembus angin dari
masa silam, dari awal mula dendam
sejak hidup disabadakan.
dan hutan, pohon-pohonan, rimbun
daun serta kegelapan—aku tak
menoleh karena laut tak lagi bisa ditanyai
sedang langit tak sempat menanti.
kutempuh segala yang menyakitkan, gunung-gunung
dan batu karang, dan sepi menikamku berulang kali.
dan kakiku terluka, dan tak pernah tersembuhkan
dan aku terus berjalan
senantiasa terus berjalan.
aku mabuk—karena yakin sudah, Kau pasti kutemui,
sesudah memburu cakrawala, pastilah sampai
ke tepi.
wajahku memar, kotor
dan tak bisa dibasuh, tapak
kakiku menebal, kulitku robek-robek
mataku merah terbakar tak bisa dicuci—Kasih
tidak cukupkah semua ini, sungguh, tak sejumput pun
aku putus asa mencari.
dan kini berabad sudah, aku tertegun di kamar,
sesudah beku berhari-hari, kubuka daun jendela dan
kupandang keluar: lihatlah, bintang-bintang
berkedip!—aku menggigil—Kekasihku,
Kau jugakah dulu yang duduk menatapi Adam
ketika pertama dilemparkan. Kau jugakah yang
setia menunggu zaman demi zaman?
bintang-bintang berkedip
hanya bintang
hanya kedip—