Wajah dan Harga Diri

Cak Nun memang pintar bikin orang bingung. Kalimat sederhana diolah sedemikian rupa dan diucapkan secara cepat, agar yang mendengar menjadi tambah bingung.

Pernah dalam sebuah kesempatan Cak Nun mengatakan, “Saya adalah orang yang sudah ketika belum dan orang yang belum ketika sudah.”

Dalam kesempatan berbeda ada lagi kalimat Cak Nun yang bikin bingung, “Saya kalau tidak ketemu teman-teman seniman merasakan kesepian yang rindu. Tapi begitu ketemu teman-teman seniman saya merasakan kegembiraan yang sepi.”

Pernah pula bersama KiaiKanjeng ketika pentas di Sleman, Cak Nun melontarkan satu pertanyaan: kenapa kalau orang kentut yang ditutupi wajahnya? Padahal yang kentut bokongnya.

Karuan saja, tak ada yang bisa menjawab. Cak Nun sendiri juga tidak memberikan jawaban karena langsung bergeser ke tema lain. Tapi saya penasaran. Pertanyaan itu terkesan sepele, tapi maknanya dalam. Makanya ketika ada kesempatan, saya dolan ke tempat Cak Nun di Kadipiro.

Saya bertanya, apa penjelasan Cak Nun mengenai pertanyaan itu. “Raine awak dewe kui harga diri, derajate menungsa anane neng rupa,” jawab Cak Nun. Makanya ketika kentut yang ditutupi wajahnya, bukan pantatnya.

Jawaban itu kemudian saya kembangkan. Benar juga kata Cak Nun, wajah adalah harga diri manusia. Sebab di wajah ada mata, ada mulut, ada hidung. Wajah kita juga yang pertama kali terlihat ketika lahir, dan ketika seorang penjahat tertangkap dan dimuat di koran yang ditutupi adalah matanya. Bukan telinga maupun tangannya.

Tapi kenapa jika wajah adalah harga diri manusia justru keluarnya dari tempat yang kotor dan jorok? Bukankah manusia lahir di atara dua tempat: dubur dan saluran air kencing. Mungkin agar manusia tidak lupa pada asal usul. Ya, mungkin juga.

Januari 2018