Sang Purnama Sidhi, Keluwesan Memperluas dan Mempersempit Jarak Pandang
Memperluas Jarak Pandang
Perlunya Kalender Jawa dikoreksi –1 hari setiap 120 tahun ini agar kembali mendekati dengan peredaran rembulan sebenarnya. Karena Kalender Jawa, termasuk Kalender Hijri, keduanya adalah Kalender Aritmatis. Yang dihitung dengan rumus matematis yang pasti yang digunakan untuk catatan administrasi sehari-hari, bukan sebagai Kalender Ibadah. Fungsi kalender aritmatis adalah sebagai ancang-ancang dalam melakukan rukyah (observasi) hilal.
Jika tidak dikoreksi –1 hari setiap 120 tahun, maka Kalender Jawa akan semakin jauh ketinggalan dengan peredaran bulan sebenarnya. Karena secara matematis setiap 127 tahun selisih ini menjadi +1,007588028
hari dalam 127 tahun. Artinya, dalam 127 tahun Kalender Jawa sudah kelebihan atau terlambat 1 hari 0 jam 10 menit 55,606 detik
dari peredaran bulan yang sebenarnya. Selisih ini akan semakin banyak jika tidak dilakukan koreksi.
Seperti yang terjadi pada sekelompok kecil umat Islam yang tersebar di berbagai wilayah, yang kemudian masyarakat umum menyebutnya sebagai “Jamaah Aboge”. Karena mereka menggunakan rumus Kalender Jawa pada periode kurup Aboge (Alip Rebo Wage) dan tidak mau ganti kurup alias tidak mau koreksi –1 hari pada saat seharusnya dilakukan koreksi. Dan digunakan terus hingga sekarang. Kurup Aboge (Alip Rebo Wage) berlaku sejak 1 Sura 1747 s/d 29 Besar 1866 Jawa (20 Oktober 1819 s/d 23 Maret 1936). Setelah itu berlaku rumus Kurup Asapon (Alip Selasa Pon).
Memang pada kurup Asapon ini selisihnya belum terlalu terasa, karena hasil rumus Aboge ini kadang selisih 1 hari, 2 hari, dan kadang masih sama dengan hasil hisab dan rukyah. Contoh, awal puasa tahun ini, hasil rumus Aboge untuk awal Ramadlan 1951 Jawa (1439 Hijri) sama dengan hasil hisab dan rukyah. Yaitu Kemis Pahing, 17 Mei 2018, dan masih satu kali lagi hasil rumus Aboge untuk awal Ramadlan akan sama dengan hasil hisab dan rukyah. Dan ini untuk terakhir kalinya, yaitu Ramadlan 1959 Jawa (1447 Hijri) bertepatan dengan Kemis Pahing, 19 Februari 2026. Karena menurut rumus Aboge, awal Ramadlan selama sewindu memiliki jadwal yang pasti sesuai urutan tahunnya. Yaitu Alip Senen Kliwon, Ehe Jemah Wage, Jimawal Rebo Wage, Je Akad Pon, Dal Kemis Pahing, Be Selasa Pahing, Wawu Sebtu Legi, dan Jimakir Rebo Kliwon. Biasanya dihapalkan dengan singkatan: Anenwon, Hejemge, Walboge, Jekadpon, Dalmishing, Besahing, Wutugi, dan Kirbowon.
Selain kedua kesamaan tadi, secara pasti, selisih hasil rumus Aboge akan semakin jauh dengan peredaran bulan sebenarnya. Contoh: pada tahun ke-819, selisih awal bulan Ramadlan 2565 Jawa (2053 Hijri) mulai mencapai +7 hari. Menurut hasil hisab, 1 Ramadlan 2565 Jawa (2053 Hijri) jatuh pada hari Rabu Pahing, 2 Februari 2614. Tetapi 1 Ramadlan tahun 2565 Jawa (tahun Jimawal) menurut rumus Aboge jatuh pada hari Rebo Wage tanggal 9 Februari 2614.
Hasil hisab di atas dapat kita buktikan dengan misalnya aplikasi Stellarium. Planetarium open source gratis yang dapat kita unduh di stellarium.org. Dapat kita lihat pada maghrib 8 Februari 2614, medan sinar rembulan sudah hampir separuh bulat (46,4%), dan berada di ketinggian lebih dari 67°, karena memang mulai malam Rabu Wage ini sudah memasuki tanggal 7 Ramadlan. Apakah dengan kondisi rembulan seperti ini Jamaah Aboge baru akan mulai berpuasa?
Dalam hal ini, sudah saya buatkan tabel perbandingan hasil hisab astronomis dan rumus Aboge selama 888 tahun untuk semua bulan dari Muharram sampai Dzulhijjah, sebanyak 336 halaman A4. Dengan tabel-tabel panjang ini kita dapat memperluas Jarak Pandang sampai 800 tahun lebih. Sehingga dapat lebih mengerti akan ke mana Kalender Jamaah Aboge jika masih tetap tidak mau ganti kurup.
Jamaah Aboge masih ngotot menggunakan rumus Kalender Jawa kurup Aboge. karena memang itulah yang ada dalam kitab yang ditinggalkan oleh pendahulunya, yang disusun pada kurup Aboge. Kemudian para penerusnya secara pasif mewarisi kitab itu. Menganggapnya berlaku sepanjang masa, tidak bisa dan tidak boleh diubah. Tidak ada koreksi, dan tidak bersedia menerima perubahan. Toh hasil rumusnya kadang sama dengan hasil hisab dan rukyah. Yang demikian terjadi karena tidak bersedia memperluas jarak pandang.
Dalam forum-forum Maiyahan, bukan hanya kita boleh beda pendapat dengan Mbah Nun, bahkan Simbah sendiri tidak mau dianggap pendapat beliau yang paling benar. Jamaah Maiyah dipersilakan untuk terus melakukan pencarian tanpa henti.
Setiap Orang Maiyah menghimpun warisan nilai dan perilaku Maiyah kepada para akselerator hidupnya hingga anak cucu keseribu, namun sesungguhnya para akselerator bukanlah pihak yang secara pasif mewarisi, karena sampai kapanpun setiap Orang Maiyah adalah pewaris yang mewarisi, sebagaimana setiap mereka adalah yang mewarisi dan kemudian mewariskan.”
Di Maiyahan kita juga terus berlatih agar tidak menganggap memperluas jarak pandang selalu lebih baik dari mempersempit jarak pandang. Tidak ada satu pendapat yang dapat berlaku di semua tempat. Tidak ada satu kondisi yang selalu baik untuk semua situasi. Jauh atau dekatnya jaraknya pandang bukan parameter untuk memperoleh hasil pandangan yang tepat.
Membaca buku dari jarak 3 centimeter akan sama tidak jelasnya dari jarak 3 meter. Ada kalanya perlu mengambil jarak menjauh untuk mendapat gambaran yang lebih lengkap. Dan ada kalanya perlu mendekatkan jarak untuk mendapat gambaran lebih jelas. Keluwesan mengambil jarak pandang dalam bersikap ini termasuk PR sepanjang masa bagi anak cucu maiyah.