CakNun.com

Reformasi dan “Mei-sasi” Bangsa Indonesia

Secuil Catatan Otoetnografi Pejalan Maiyah (5)
Ahmad Karim
Waktu baca ± 9 menit

Mengapa Tuhan juga mengirimkan pawang hujan dalam proses persalinan itu? Apa pasal dan fungsinya? Ternyata si pawang hujan inilah satu-satunya orang yang dipercaya si kakak untuk mendinginkan hatinya. Di tengah semua orang yang menghujatnya, sehingga ia bisa sedikit legowo untuk lengser keprabon dan tak mengerahkan seluruh pasukan multi angkatannya untuk membungkam para penghujat itu. Ia juga yang kemudian dipercaya untuk memimpin doa dan mantra agar hujan tidak turun. Karena prosesi kelahiran si bungsu benar-benar darurat dan harus melalui prosedur Caesar. Karena ketuban sudah pecah dan terjadi pendarahan. Bukan di ruang ICU, tetapi di tengah jalan. Di tengah kerumunan orang yang mungkin saja ditembaki oleh pasukan bersenjata yang masih setia kepada komando sang kakak.

Lahirlah si anak bungsu dengan selamat yang ramai-ramai diberi nama Reformasi. Semua berjoget, bergembira, berpesta di jalan-jalan raya, dan tanpa mereka sadari mendadak muncul para pahlawan yang mengaku membantu proses operasi persalinan ibu pertiwi. Padahal tahu HPL-nya kapan saja tidak. Bahkan dengan lantang mereka mendeklarasikan diri melalui konferensi pers yang seluruh media sudah mereka kuasai. Bahwa merekalah penyelamat ibu pertiwi dan mereka siap untuk mengasuh si bungsu nan mungil reformasi.

Para pengasuh dadakan inilah yang merebut secara paksa si bungsu sebelum sempat diadzani oleh 9 orang utusan Tuhan tadi. Mereka inilah yang sebagian besar adalah murni para pedagang ulung yang siap-siap menggelar lapaknya. Menjajakan merah-kuning-hijau-biru aromanis baru di emperan-emperan rumah anak kecil reformasi. Dan satu persatu meniru si kakak senior membuat perusahaan multi usaha mandiri, lengkap dengan Klompencapir dan yayasan-yayasan sosialnya.

9 orang utusan Tuhan itu pun kemudian dilupakan. Kalau perlu dimitoskan saja. Tak satupun nasehat mereka didengarkan agar si bungsu lebih sehat dan tidak mengalami hal-hal seperti yang dialami kedua kakanya. Karena media milik para pengasuh itu lebih pintar menasehati siapapun. Mungkin itulah nasib ibu pertiwidan ketiga anaknya, sehingga 9 orang ini pun memilih pulang ke rumah mereka masing-masing di desa dan lereng-lereng gunung. Bahkan, untuk si pawang hujan, sehari setelah proses persalinan itu, ia langsung bergegas ke pinggiran, membuat kenduri, menabuh perkusi, dan mengajak saudara-saudaranya dari kampung yang tak tahu menahu soal demonstrasi (terutama para penganggur miskin, ibu-ibu di pasar-pasar, para gali di terminal-terminal, serta anak-anak muda yang punya mimpi, keuletan dan keikhlasan namun kurang percaya diri, butuh ditemani dan dibesarkan hatinya, dihibur nuraninya, serta dilembutkan karakternya) untuk Sholawatan bersama, memaknai reformasi dengan caranya sendiri.

Dan itulah yang kemudian dikenal banyak orang sebagai gerakan Maiyah. Gerakan membersamai Allah dan Rasulullah. Membersamai wong cilik untuk terus bekerja lebih tekun, lebih ikhlas, dan lebih bersemangat. Sambil setiap saat mendoakan dengan tulus agar si bungsu selamat dan khusnul khotimah.

Maiyah yang sejatinya lahir sebagai ruh reformasi, keduanya kini sama-sama berulang tahun ke-20. Namun masing-masing memilih menempuh jalur hidupnya sendiri. Yang satu jalur sedekah dan satunya jalur perniagaan dan riba. Yang satu jalur puasa dan yang satunya jalur pesta pora. Serta tentunya yang satu jalur sunyi dan satunya jalur gegap gempita.

Para pengasuh itu sekarang berkuasa dan kaya raya, dan doa khusyuk mereka setiap hari adalah jatuhnya pengasuh lain agar mereka lebih berkuasa dan lebih kaya raya. Sementara ibu petiwi, ia bahkan tak diakui lagi, karena utusan-utusan para pengasuh itu sangat sibuk membagi-bagi komisi dan konsesi. Si bungsu reformasi yang sudah mulai dewasa pun tak lagi diurusi. Satu-persatu dari 9 tokoh itu pun sudah pergi. Dan Si pawang hujan mulai perlahan menepi. Tinggal si mantan gali, kuli, dan para TKI yang hatinya mulai memiliki empati untuk tetap menjaga ibu pertiwi.

Agar tak disebut sebagai orang pesimis, saya masih berhusnudhon bahwa suatu saat para pengasuh itu akan berkoalisi menjadi satu barisan di belakang si bungsu reformasi. Melupakan tijaroh masing-masing dan untung-rugi, dan bersama-sama menggendong ibu pertiwi yang sudah mulai renta dan selalu tersakiti, sebelum sampai akhir hayatnya nanti. Karena kalau tidak, tentunya Tuhan punya cara-Nya sendiri untuk memaksa mereka menyadari. Entah dengan letusan Merapi, Tsunami, atau gempa bumi yang sudah seing terjadi, namun tak juga membukakan hati. Mei-sasi yang seharusnya adalah kembali ke ibu pertiwi yang sejati. Karena sekarang, ibu pertiwi sudah berada di Titik Nadir Demokrasi.

Lainnya

Topik