Menyembuhkan Luka Bangsa: Cak Nun-KiaiKanjeng di Era Reformasi
Tampuk kekuasaan Soeharto langgeng selama 30 tahun. Banyak sendi kehidupan berbangsa tanpa sadar dipengaruhinya. Orde Baru membentuk dan dibentuk segala lini. Termasuk pendidikan, sosial politik, dan ekonomi.
Generasi muda yang mulanya dididik di bawah kurikulum Orde Baru, pada penghujung tahun 1990-an, menggeliatkan oposisinya. Sektor ekonomi yang kian melesu semenjak 1993 karena dampak global akhirnya mencapai titik kulminasi. Dampaknya meluas hingga menggoyahkan kestabilan politik.
Drama panjang Orde Baru berakhir usai epilog reformasi dipidatokan. Negarawan yang tampil selama proses lengsernya Soeharto berperan signifikan. Di balik dinding istana, gerakan mahasiswa di tiap kota yang konsisten meluber sepanjang hari, turut pula menyuarakan agar Soeharto segera pensiun.
Pada masa transisi menuju era milenium itu, Anne K. Rasmussen, dosen musik berkebangsaan Amerika Serikat, melakukan penelitian lapangan. Meskipun situasi politik masih mencemaskan, selama dua tahun ia tetap mengumpulkan data. Risetnya seputar fenomena seni musik Islam.
Anne mengasumsikan terdapat keterkaitan antara musik islami dan politik nasional. Ia melihat dentuman musik berbasis nilai-nilai Islam di Indonesia mulai menyeruak sejak akhir 1980. Hal demikian berpaut erat dengan posisi Soeharto sebagai pemegang kekuasaan mulai merangkul kelompok muslim.
Sebelum itu, Islam, baik individu maupun atribut simbolik lain, dialienasikan karena pertimbangan politik Soeharto. Pada ranah gerakan sosial, ICMI yang dibentuk sebagai representasi masyarakat Islam menengah ke atas, diberi tempat oleh Soeharto. Titik balik ini membuka keran kaum muslim di tengah konstelasi nasional pada tahun-tahun setelahnya.
Musik islami lahir atas situasi tersebut. Gerakan selawat, nasyid, dan kelompok musik populer lain semakin menunjukkan batang hidungnya di altar publik. KiaiKanjeng tak luput dari kenyataan sosial demikian. Anne, karenanya, terdorong untuk menarasikan gerakan seni musik Islam lewat penelitiannya.
Sebanyak 25 halaman kuarto Anne mendedah fenomena musik Islam. Ia memberi tajuk kertas kerjanya The Arab Musical Aesthetic Islam in Indonesia dan diterbitkan oleh VWB (Verlag für Wissenschaft und Bildung).
Dipublikasikan secara prosiding dalam Musical Reverberation from the Encounter of Local and Global Belief Systems tahun 2005, tulisan Anne cukup memberi gambaran empiris bagaimana musik islami di bumi Nusantara berkembang dan menginduk pada tradisi Timur Tengah.
Arab, menurut Anne, menjadi faktor determinan kecenderungan musik islami di Indonesia. Namun, dari sekian versi, KiaiKanjeng dianggapnya relatif unik karena mengadopsi unsur-unsur Jawa. KiaiKanjeng jelas menarasikan shalawat dan gita bahasa Arab. Tapi pada praksisnya ia mengorkestrasikannya lewat gamelan dan instrumen modern.
Perjumpaan antara musik tradisional dan modern dalam satu komposisi menandai betapa KiaiKanjeng memiliki pijakan yang dinamis. Kehendak multidimensional tersebut menempatkan KiaiKanjeng berada pada dua kutub yang acap dikaitkan banyak orang sebagai dua hal yang kontradiktif.
Musik sebagai derivasi atas kreativitas manusia meniscayakan pelbagai kemungkinan artistik. Apa yang dilakukan KiaiKanjeng adalah mengonstruksi musik secara cair. Hal ini mengimplikasikan otentisitas musik ala KiaiKanjeng sebagai hal yang berbeda dengan kebanyakan. Identitas kultural yang diwacanakan KiaiKanjeng, bagi Anne, menjadi menarik dikaji secara saintifik.
Sebelum melakukan penerokaan lebih lanjut, Anne memotret sketsa relasi antara musik dan agama. Menurutnya, hubungan keduanya saling berkelindan. Agama sebagai format sekaligus tata cara transenden yang diberikan Tuhan agar manusia lebih mengenali-Nya, pada perkembangan historisnya, berdampak terhadap produk budaya partikular.
Dengan kata lain, agama sebagai kesatuan otonom, bebas di-tadabburi sehingga meniscayakan beragam versi. Musik, dengan demikian, berkedudukan sama sebagai produk kreativitas manusia terhadap agama yang telah dihayati secara intens. Itu kenapa Anne berpendapat, “Music accompanies the practice of any religion” (hlm. 67).
Salah satu variabel penelitian Anne adalah peran KiaiKanjeng sebagai “gamelan dakwah”. Pada Era Reformasi, situasi politik yang pelik, sebagaimana disinggung di awal, membuat tatanan sosial di masyarakat sedikit bergoyah. Masyarakat kecil, terutama, seakan-akan “memendam luka dan kegelisahan diam-diam” karena akibat kejatuhan Soeharto.
Jamak di antara mereka tak berani berpergian karena suasana masih mencekam: penjarahan, pembunuhan, pemerkosaan, dan beragam kekerasan fisik serta nonfisik lain terpampang jelas di depan mata. Sebagai respons atas kekacauan itu Mbah Nun dan “mini” KiaiKanjeng melakukan turun tangan ke perkampungan demi perkampungan di Batavia. Mereka tergerak untuk melakukan penyembuhan hati rakyat kecil dengan melalui diskusi dan shalawat bersama.
Peristiwa reformasi yang harus menumbalkan kekacauan dicatat Anne. Ia melihat Mbah Nun dan KiaiKanjeng melakukan gerakan sosial melalui musik dan shalawat. Bejibun orang berduyun-duyun berkerumun. Kenyataan demikian, setidaknya, bisa saksikan lewat video selawat Mbah Nun dan KiaiKanjeng di YouTube. Terutama Sidnan Nabi. Video ini besutan Himpunan Masyarakat Sholawat (HAMAS) dan cukup mempertontonkan realitas saat itu.
“Emha’ s music capitalizes on local musical aesthetics by featuring the gamelan ensemble, the local gong chime ensemble that is known in traditional art music circles, but generally not in Islamic circles. In addition to showcasing the reality of Indonesian music culture—the rich Gamelan tradition—Emha showcases the reality of Indonesian social and political culture poverty, corruption, hard work, and daily life in urban and rural settings” (hlm. 82).
Kumpulan video yang disatukan dalam satu kaset ini diberi judul Berhijrah dari Kegelapan. Ia diproduksi tatkala gejolak Mei 1998 berkecamuk. Pertimbangan tersebut kemudian dihimpun Anne sebagai pelengkap data penelitian. Menurut analisis Anne, kata hijrah di sini merujuk pada perpindahan Rasulullah Saw dari Madinah ke Mekkah.
Bila dikaji melalui perspektif semiotik, perpindahan dalam konteks tersebut juga mengindikasikan perubahan dari “kegelapan” menuju “kecerahan” atau “pertikaian” ke “perdamaian”. Pilihan tajuk dalam album KiaiKanjeng tersebut menyiratkan harapan pascareformasi.
Asumsi Anne terbukti: musik mewakili sekaligus merespons realitas sosial-politik tertentu. Diskursus ini hendak mengatakan pula harapan masyarakat usai reformasi yang mengorbankan banyak segi itu dengan secercah hari depan yang lebih baik. Narasi-narasi yang dikehendaki demikian dipidatokan Mbah Nun lewat videonya.
Menurut Anne, keunikan album tersebut, selain menghimpun ekspresi musik dan shalawat, yakni juga ujaran moral mengenai sosial, politik, agama, pendidikan, ekonomi, dan budaya dalam cakupan nilai-nilai universal sehingga bisa berterima banyak pihak. Di sini Mbah Nun membawakannya secara ciamik dan penuh ujaran artistik.
Bukan hanya dimensi suara, Anne juga mendedah latar visual video. Kejelian ini turut memperkaya buah penanya, meski tema besar yang melingkupinya seputar persoalan seni musik Islam.
Realitas sosial Jakarta yang sedemikian padat tercitra jelas: kemacetan yang mengular, para buruh di balik dinding industri, hentakan kaki para demonstran di gedung parlemen, dan bocah penuh tangisan karena kelaparan. Semuanya itu dihimpun dalam Berhijrah dari Kegelapan sebagai bagian inheren KiaiKanjeng manakala mewacanakan kenyataan pelik reformasi.
“These images of Indonesian reality are interspersed with scenes of Emha Ainun Nadjib in the studio, offering excerpts of his Pidato Dakwah (Islamic sermons), singing in Arabic and Indonesian, and scenes of his group playing the context in which they are most comfortable” (hlm. 82).
Anne berhasil meneroka rekam jejak Mbah Nun dan KiaiKanjeng selama reformasi berlangsung. Ia mendekati pokok masalahnya bukan sekadar peristiwa politik, melainkan juga bagaimana narasi musikal KiaiKanjeng dan pidato kebudayaan Mbah Nun menjadi penerang bagi rakyat kecil.
Ulasan multidimensional yang dijadikan pijakan Anne dalam risetnya membuat pembaca mampu mengimajinasikan ontologi seni musik Islam yang melampaui batas-batas perayaan seremonial maupun hiburan. Musik, setidaknya lewat kajian Anne, “menemani” manusia untuk menjernihkan pikiran dan menenangkan hati lebih privat. Apalagi subjek kajian Anne adalah rakyat kecil yang gelisah karena turbulensi reformasi.