CakNun.com

Menciptakan Energi Permanen di Maiyah

Catatan Majelis Ilmu Padhangmbulan 1 April 2018 - Bagian 1

Hujan baru saja mengguyur desa Mentoro. Tanah basah. Udara malam terasa dingin. Jamuan pengajian Padhangmbulan telah dimulai sejak Maghrib usai. Para pedagang bersiap di sepanjang jalan menuju area pengajian. Penjual tahu solet dengan lampu oblek yang khas menyapa ramah

Area halaman pengajian Padhangmbulan mulai dipadati jamaah. Beberapa jamaah bahkan telah bersila di depan panggung. Mbah Nun pinarak di teras ndalem kasepuhan. Di samping kanan beliau duduk seorang Bapak tua tapi masih kenthing fisiknya. “Ini Guk Denan,” ucap Mbah Nun. Nama yang tidak asing. Beberapa kali nama Guk Denan disebut dalam rangkaian cerita yang dikisahkan Mbah Nun.

Manusia Otentik dari Mentoro

Guk Denan—saat ini berusia 80 tahun—adalah teman, sahabat, partner Mbah Nun dalam tim sepak bola desa Mentoro. Generasi zaman milenial usia 30-an belum tentu menang push-up lawan Guk Denan. Pernah berangkat dari Jombang ke Yogyakarta sambang ke rumah Mbah Nun naik sepeda ongkel.

Guk Denan adalah nyawa dan spirit tim sepak bola Mentoro. Tanding di lapangan stadion Jombang, tim desa Mentoro kebobolan tiga gol. Guk Denan datang menjelang akhir babak pertama. Pada babak kedua Guk Denan membayar ketinggalan tiga kosong itu.

“Itulah zaman keemasan ketika identitas seseorang dibangun oleh personalitas yang otentik,” ungkap Mbah Nun. “Berkebalikan dengan zaman sekarang: personalitas ditentukan oleh identitas materialisme.” Guk Denan adalah salah satu sosok manusia otentik dari Mentoro, selain tentu saja bisa kita sebut sejumlah nama misalnya, Cak Markesot dan Guk Nuri. Bercermin kepada generasi old seperti Guk Denan, kekacauan personalitas dan identitas bisa diurai, ditadabburi dan dipelajari kembali.

Malam itu hujan kembali mengguyur desa Mentoro. Jamaah Padhangmbulan terus mengalir berdatangan. Mbah Qoyim melantunkan tadarus Al-Quran. Bersambung dengan Mahallul Qiyam yang dipandu Cak Luthfi. Saya tidak lagi duduk di teras ndalem kasepuhan. Berdiri bersama jamaah lainnya, kami merasakan getar Marhabanan: menyambut dan merasakan kerawuhan Rasulullah di hati kami masing-masing.

Itu momentum hingga saya menulis catatan ini selalu gagal membahasakannya. Yang tidak bisa ditampung oleh bahasa, kalimat, kata-kata, serta idiom-idiom kebudayaan biarlah merasuki ruang sunyi hati kita.

Cak Yus, Mas Amin dan Cak Rudd membuka dialog awal. Bentuknya adalah simulasi poin-poin yang telah dipetik selama mengikuti pengajian Padhangmbulan atau Maiyahan. Naik ke panggung beberapa anak muda. Mas Amin dan Cak Rudd memandu lalu lintas komunikasi.

Alur, nuansa, gaya dan dialektika mohon tidak dibayangkan serupa pakem diskusi para pakar dan akademisi. Yang membayangkan hal itu pasti akan kecelek–diskusi diselingi gelak tawa, poyok-poyokan, walaupun muatan substantif pemikiran tetap menjadi pijakan. Buat apa berdiskusi, bertukar pikiran dan sinau bareng kalau tidak dengan hati bergembira.

Di antara mereka yang terlibat dialog itu baru pertama kali hadir di pengajian Padhangmbulan. Mereka mengetahui Maiyah dari media sosial. Nge-klik setelah menyimak kalimat kunci dari Mbah Nun, hati menjadi tenteram, cara berpikir seimbang, menjadi pintu bagi terbukanya hidayah dari Allah.

Mengapa orang zaman now mudah marah dan mudah saling bertengkar? Apakah sikap mudah berbenturan itu dipicu oleh fakta internal dari dalam diri ataukah didorong oleh faktor eksternal? Mengapa kita gampang kintir sehingga saling bertabrakan? Begitu pertanyaan yang saya simpulkan dari tema pengajian Padhangmbulan, 1 April 2018 di Mentoro.

Yang Sunyi Jangan Engkau Anggap Tiada

Energi lingkaran dijadikan titik pijakan awal oleh Mbah Nun. Energi lingkaran terbesar di bumi terdapat di Makkah. Energi thawaf tidak pernah berhenti. Mbah Nun mengaitkan Ka’bah sebagai pusat thawaf dengan kenyataan faktual persoalan Indonesia yang bukan hanya kompleks tapi juga nyaris tak terselesaikan oleh kapasitas kemampuan manusia.

Keadaan Indonesia yang “darurat” diungkap Mbah Nun tidak untuk menambah sikap pesimis. Di depan jamaah Padhangmbulan Mbah Nun menyatakan upaya keilmuan dan rasionalitas metode mungkin berguna untuk menyelesaikan semua itu. Namun, ada pula upaya lain, yakni menyembah Allah sehingga Dia memberikan jalan keluar dan menyelesaikan setiap persoalan.

Mbah Nun menyitir surat Qurasiy: “Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (Q.S. Quraisy: 3-4) Untuk membereskan persoalan-persoalan, tempuhlah dengan menyembah Pemilik Ka’bah. Allah akan menghilangkan lapar dan mengamankan kita dari ketakutan.

Saya tidak benar-benar mengerti: Mbah Nun memilih surat Quraisy sebagai salah satu formula untuk meneguhkan penghambaan kita kepada-Nya. Pilihan surat itu nyambung dengan pembicaraan saya dan anak-anak. Kami ngobrol ala kadarnya tentang isi surat Quraisy sebelum berangkat ke Mentoro. Ah, sudahlah. Tidak benar-benar mengetahui justru lebih berkah.

Melanjutkan energi putaran, Mbah bergerak ke lingkaran Maiyah. “Dalam hidup ini yang kelihatan dengan yang tidak kelihatan banyak mana?” tanya Mbah Nun. Tentu banyak yang tidak kelihatan. Kalau cara pandang ini digunakan untuk menatap lingkaran Maiyah, akan banyak lingkaran yang tidak kelihatan dibandingkan yang kelihatan.

Yang tidak kelihatan pun tidak hanya terkait dengan lingkar Maiyah. Ada jasa yang kelihatan dan tidak kelihatan. Ada pahlawan yang kelihatan dan tidak kelihatan. Yang tidak kelihatan itu bukan hanya orang: mekanisme, faktor, komposisi tidak dihitung sebagai pihak yang berjasa.

“Mangkane ojo mbagusi,” tegas Mbah Nun, “karena yang tidak kelihatan justru lebih berjasa dari yang kelihatan.”

Energi Permanen Maiyah

Lingkaran-lingkaran Maiyah, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, sedang dan akan terus menghimpun energi: energi batin, energi budaya, energi politik, energi alam. Pertanyaannya, apakah kita masih melingkar usai mengikuti Maiyahan? Kalau tidak melingkar apakah masih melingkar? Bagaimana caranya tidak melingkar tapi tetap bisa melingkar?

Simulasi pertanyaan tersebut memantik kesadaran yang luas dan dalam. Tidak terpikir sebelumnya sehingga sedetik kemudian pintu pun terbuka: Maiyah bukan formalisme lingkaran yang memadat. Maiyah bukan sekadar peristiwa jamaah berbondong-bondong memadati sudut ruang pengajian. Maiyah bukan hanya semua itu.

Itu memang bagian adegan Maiyah, tapi adegan Maiyah bukan hanya itu. Maiyah memang lingkaran, tapi lingkaran Maiyah bisa ditemukan dalam kesadaran yang lebih substantif dan rohaniah.

“Siapa yang tidak pernah absen di setiap partikel, petak ruang dan jengkal waktu?” tanya Mbah Nun. Allah selalu hadir. Supaya lingkaran kita tetap melingkar seyogianya kita menghadirkan Allah dan Rasulullah. Kita tidak pernah tidak melingkar bersama Allah dan Rasulullah.

Ketika kita melingkar dan berapa pun jumlah orang yang hadir, lalu kita menghadirkan Allah dan Rasulullah, maka lingkaran kebersamaan itu akan menjadi energi yang permanen–walaupun usai Maiyah kita bubar dan terpisah pada ruang yang berbeda.

Bagaimana hal itu diaplikasikan? Mbah Nun menyarankan ketika dua orang Maiyah bertemu dan bersalaman, salah satu dari mereka mengatakan: “Laa ilaaha illallah.” Lalu temannya menjawab: “Muhammadur-rasuulullah.” Allah dan Rasulullah hadir sejak pertemuan ketika kedua telapak tangan bersalaman. Tidak ada yang bisa memisahkan persaudaraan di mana Allah dan Rasulullah hadir.

Atau menggunakan salam shalawat. Sambil bersalaman satu orang mengucapkan: “Allahumma shalli wa sallim ‘alaa sayyidinaa Muhammad.” Kawannya menjawab: “Allahumma shalli ‘alaih.” Pokonya, dalam setiap penciptaan energi lingkaran kita tidak meninggalkan Allah dan Rasulullah. Semua aspek kehidupan kita pada skala pribadi atau keluarga pasti akan terkena energi positif perjumpaan itu.

Kita tengah disatukan oleh tali yang tidak kelihatan. Syahadat tauhid dan syahadat rasul tidak mungkin dan mustahil dipisahkan. Bacaan shalawat dan jawabannya tidak mungkin dan mustahil dipenggal. Kalau jamaah Maiyah yang melingkar adalah butir mata tasbih, maka syahadat tauhid dan syahadat rasul, doa shalawat dan jawabannya adalah tali yang menghubungkan dan mengikat butir mata tasbih itu.

Energi permanen yang dihasilkan oleh lingkar Maiyah bukan utopia, karena energi itu berasal dari rabba haadzal bait–Tuhan Pemilik Ka’bah. (Achmad Saifullah Syahid)

Lainnya