KiaiKanjeng Antara Fusi Barat dan Timur
Menjelang abad ke-20, perjuangan fisik melawan kolonial lambat-laun diganti dengan pertarungan wacana. Struktur perjuangan dari atas hingga bawah dikonstruksi bukan lagi lewat militer, melainkan juga pendidikan, politik, ekonomi, bahasa, musik, dan ekspresi budaya lain.
Strategi hegemoni demikian berlangsung panjang dan tetap menuai gesekan kepentingan antara dua belah pihak. Penjajah dan terjajah berseteru tanpa mengenal final sebelum orientasi utama mereka tercapai.
Ki Hadjar Dewantara tak luput dari catatan sejarah. Sebagai figur yang terkenal sebagai pejuang pendidikan, pemilik nama asli Suwardi Suryaningrat ini, ternyata melakukan perjuangan budaya. Tahun 1916 ia menyusun komposisi musik yang dinamai sebagai Kinanthie Sandoong. Karya artistiknya itu Ki Hadjar konstruksi guna menegaskan politik identitas melalui musik.
Terobosan kultural yang dilakukan Ki Hadjar didedah oleh Franki S. Notosudirdjo lewat artikel ilmiahnya berjudul Kyai Kanjeng: Islam and the Search for National Music in Indonesia. Hasil penelitian Franki itu dipublikasikan oleh Verlag Für Wissenschaft und Bildung (VWB) dalam Jurnal The World of Music, Vol. 45, No. 2 tahun 2003.
Franki menemukan sejumlah catatan perjuangan Ki Hadjar, terutama komposisi musik Barat dan Timur, dengan karaktertistik yang sama dengan musik KiaiKanjeng. Asumsinya didasarkan atas denyut pencarian identitas musik nasional era 60-an. Periode ini kemudian diteruskan hingga tahun 90-an manakala Era Soharto berada di ujung tanduk.
Awal 90 Soeharto mulai mengakomodasi kepentingan Islam lewat jalur politik. Sejarah mencatat, pendirian ICMI, secara implisit, merupakan perluasan politik Soeharto untuk mengakomodir umat Islam–tak seperti masa sebelumnya tatkala Islam, baik dari sisi simbol maupun praktis, acap dialienasikan ke dalam konstelasi politik Soeharto.
Musik “Islami” diungkap Franki mulai menunjukan batang hidungnya di tahun 90-an. Periode ini dianggapnya sebagai peluang besar gerakan Islam untuk melakukan diskursus di segala bidang, termasuk musik sebagaimana dilakukan KiaiKanjeng.
Kemunculan KiaiKanjeng itu pula relatif unik karena selain membawa nuansa Islam lewat shalawat, ia juga mengelaborasikan musik modern Barat dan tradisional Jawa. Fenomena inilah yang menarik perhatian Franki untuk melakukan kajian lebih mendalam.
Franki menulis, “One of the most significant endeavours to introduce Islamic contemporary music as a form of national music can be discerned in the music of Kyai Kanjeng, a group of experimental gamelan musicians founded by Emha Ainun Najib (b. 1953), a poet-singer, essayist and informal Muslim leaader...” (h. 01).
Penulis sekaligus peraih penghargaan Festival Film Indonesia ini menyimpulkan bahwa Ki Hadjar dan KiaiKanjeng memiliki kesamaan dalam mensintesiskan musik Barat dan Timur sebagai dua unsur utama pembentuk identitas nasional.
Kendatipun keduanya melakukan kreativitas dengan mencari kemungkinan bentuk musik modern, mereka juga memfondasikan diri terhadap sendi-sendi kultural. Potret demikian Franki ungkap sebagai strategi kebudayaan.
Ihwal musik nasional, Ki Hadjar telah mendefinisikannya sejak masih menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pertama Periode Soekarno-Hatta. Menurutnya, musik nasional adalah fusi dari beragam musik daerah.
Hal ini senada dengan pernyataan Mbah Nun mengenai kedudukan Indonesia sebagai kumpulan dari “bangsa-bangsa” di Nusantara: Jawa, Madura, Dayak, Sunda, Asmat, Minang, dan lain sebagainya. Pandangan ini berlaku di semua bidang, apalagi musik sebagai derivasi dari ekspresi budaya.
Franki mengawali kajian akademiknya dengan menelusuri kecenderungan Orde Baru selama memerintah. Sejak Supersemar diteken sebagai legitimasi politik, Soeharo memprioritaskan kepemimpinannya untuk pembangunan ekonomi, stabilitas politik, dan ekspansi budaya ke konstelasi global.
Segala unsur kebudayaan Nusantara Soeharto tetapkan demi identitas nasional. Ia menginginkan suatu tatanan yang legal dan mapan agar potensi Indonesia diperhitungkan di dunia. Bila semula Soekarno anti terhadap Barat karena merupakan sumber dari neoliberalisme, Soeharto justru mulai rekonsiliasi dengan Barat, terutama Amerika Serikat.
Investasi Barat Soeharto buka seluas-luasnya atas nama pembangunan. Tak heran jika di masa kepemimpinannya itu ia akrab dengan tokoh Barat; tidak seperti kepemimpinan sebelumnya yang protektif oleh kepentingan eksternal. Kecenderungan ini tak luput dari introduksi Franki.
“Along with the introduction of Soeharto’s New Order period in the mid-1960s, which gave emphasis to economic growth, national stability and global culture, the effort to seek Indonesian national music entered a new phase of aesthetic and ideological complexity” (h. 05).
Franki menyebut KiaiKanjeng sebagai musik kontemporer yang pada praksisnya mengenalkan nilai-nilai Islam dan budaya. Hal demikian ia dasarkan atas empat alasan sebagai berikut.
Pertama, konsep KiaiKanjeng yang mendialogkan Barat dan Timur mirip seperti komposer lain antara lain Frans Haryadi, Slamet Abdul Sjukur, dan Tony Prabowo. Mereka menggunakan dimensi lokalitas (musik tradisional) dan dikolaborasikan dengan musik modern.
Kedua, berkelindan dengan poin pertama, KiaiKanjeng berangkat dari musik tradisional (gamelan) sebagai unsur fundamental dalam penciptaan musik. Franki melihat realitas ini sebagai suatu antitesis pengkunoan musik tradisional yang semula ditinggalkan banyak orang. KiaiKanjeng, dengan demikian, merevitalisasi kelampauan dengan aransemen kreatif sehingga menghasilkan otentisitas yang sesuai kebutuhan kekinian.
Harmonisasi tradisional dan modern tersebut perlu digiatkan, menurut Franki, dalam rangka, “traditionally trained musicians in the search for the aesthetics of Indonesian national music, a phenomenon absent in the previous” (h. 05). Keseimbangan dua unsur itu difungsikan menjadi terobosan bagi diskursus musik nasional.
Ketiga, sekalipun menggunakan gamelan dan instrumen Barat seperti violin, bass, drum, maupun keyboard, elemen musik KiaiKanjeng sangat kuat napas islami. Kenyataan ini Franki komparasikan dengan kreativitas Rhoma Irama yang memfusikan narasi-narasi Islam pada musik dangdut.
Keempat, keberterimaan KiaiKanjeng di segala ranah, walaupun dipisahkan oleh identitas agama, budaya, gender, dan aliran kepercayaan. Khalayak umum telah menerima KiaiKanjeng sebagai daya cipta baru dalam permusikan di Indonesia. “For this reason, the notion of art music in Indonesia has a new connotation and cannot be associated with the elite any longer” (h. 05).
Poin terakhir yang diajukan Franki bisa diteropong di masyarakat: tatkala KiaiKanjeng dimainkan di forum Maiyah, baik dusun maupun kota, peserta diskusi membeludak hingga ribuan orang dengan identitas masing-masing. Mereka tak merasa asing karena di Maiyah semua individu dilihat sebagai manusia yang berdaulat atas dirinya sendiri.
“Kyai Kanjeng was one of only a few groups of musicians who consistently crit- icized the New Order regime and corrupt elements within Indonesian society. They primarily accomplished this through Emha’s poems and lyrics” (h. 06).
Sepanjang rekam jejak KiaiKanjeng, sejak permulaan tahun 1990, bersama Mbah Nun, bermacam friksi ditengahi. Franki melihat ini sebagai musik plus yang tak sekadar penghibur masyarakat, tetapi juga penengah konflik melalui dialog egaliter dengan spirit artistik dan kultural.
Di sini terpampang jelas betapa musik merupakan perwujudan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. “Kyai Kanjeng has developed a distinctive style of composition that blends nicely the idea of poetry recital and experimental gamelan music” (h. 07).