CakNun.com

Hujan Laron di Tahun Waspada

Indra Agusta
Waktu baca ± 2 menit

Musim penghujan selalu menawarkan kerinduan bagi penelisiknya tersendiri, termasuk bagi saya pribadi. Hujan merupakan limpahan rahmat dari Sang Khalik, bukti konkret bahwa cinta-Nya dapat dirasakan semua mahkluk.

Ada sawah-sawah yang kemudian tergenang, hutan-hutan yang basah semakin pepat, tegalan yang dibenihi akan segera menjulur tunasnya, atau laron-laron yang berdansa riang menyambut tanah yang mulai rekah, seperti kidung cinta tarian mereka di bawah Cahaya, sekalipun kita sebagai mahkluk lain tahu tak seberapa usianya. Dan  memang dunia fana tidak ada sesuatu yang Kekal.

Menyenangkan memang menghabiskan waktu menikmati sisa hujan, sambil berselancar di dunia maya, lalu munculah pemberitahuan bahwa Vlog kesayangan saya sudah meng-upload video barunya.

Mbelshow“, demikian nama program tersebut, Rubrik di bawah bendera Letto management yang menampilkan guyonan renyah khas anak 90-an. Dipandu oleh host ternama Imam besar ‘Mbelshow’, mas Darto dan sang gitaris Letto, mas Patub.

Rubrik kali ini bertemakan Tahun Baru, dimulai dengan lagu Letto berjudul “Ephemera”, ya ketidakkekalan laron dan dunia terasa pas ketika saya membuka video ini. Ephemera secara harfiah memang berarti tidak kekal. Lalu poin-poin soal tahun baru dibahas dalam guyonan nan serius.

Memaknai Tahun Baru setiap orang boleh menafsirkan menurut interpretasi manusianya masing-masing. Bagi orang Maiyah, simbah 2 bulan lalu menitipkan pesan lewat Daur.

Sebaiknya kalian masuki 2018 dengan mulai belajar bertaqwa. Taqwa itu artinya: waspada” –Daur II-25 – Kami Ini Lebih Pribumi

Waspada dalam khazanah Jawa adalah sikap berhati-hati dalam menyikapi segala sesuatu, teteg tidak gampang kabur kanginan melihat dan mendengar berbagai peristiwa, bahkan kalau perlu selangkah lebih maju siap dengan berbagai kemungkinan.

Manusia memonopoli bumi, daratan dan lautan.

Setidaknya akan ada 175 pemilihan di tingkat provinsi, kota dan kabupaten. Akan ada arus besar dukung-mendukung yang terkadang dilakukan dengan cara-cara yang berpotensi memecah rajutan kerukunan sesama Anak Bangsa. Banyak tokoh yang akan mencari popularitas dengan berbagai metode kampanye. Lalu jalannya berbagai proyek yang entah kelak akan dinikmati siapa. Belum lagi soal akan bertebarannya isu-isu dunia maya yang membenturkan kita satu sama lain. Seperti tahun-tahun kemarin praktik polarisasi demi Kekuasaan dan kekayaan terjadi yang aslinya juga Ephemeria, tidak kekal.

Namun sebagai rakyat akhirnya memang tidak bisa menghentikan apa-apa, malah kadang dijadikan kambing hitam jika ada persoalan, dijadikan tumbal supaya citra mereka tetap terjaga.

Muspika, Muspida jajaran birokrasi Jin saya bersih dari semua itu dan sama sekali tidak terlibat. Jin juga ada yang serakah, tapi tak ada yang seserakah manusia”–Daur II-25 – Kami Ini Lebih Pribumi

Sebagai orang Maiyah alangkah baiknya tetap waspada dalam menempuh Jalan Sunyi, supaya pandangan tetap jernih, dan tidak tergesa-gesa dalam mengikuti arus tertentu. Atau meminjam ilmu dari laron-laron tadi yang dalam kegelapan tanah diijinkan Tuhan untuk menuju Cahaya. Begitulah, zaman yang begitu gelap mengetes kita, lulus atau tidak dalam merengkuh Cahaya atau ikut serta bermandi kegelapan.

Inilah hari-hari di mana kegelapan mengepung demi memberimu ilham tentang cahaya. Di mana keedanan memuncak untuk menawarkan kepadamu kewarasan. Di mana kebuntuan-kebuntuan menabrakmu dan mengundangmu untuk menjebolnya.” –Cak Nun, Titik Nadir Demokrasi.

Selamat berlatih ngelmu laron, juga temukan sela-sela ruang di guyuran hujan yang lebat supaya tetap eling bahwa segala di dunia ini hanya Ephemera.

Seperti petikan bait Serat Kalatidha, karya Raden Ronggo warsito: “Sak begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lan waspada“. Seberuntung-beruntungnya mereka yang “lupa” diri, tergerus nafsu, tetap beruntung mereka yang tetap “ingat” pada Tuhan dan senantiasa waspada”.

Kleco Wetan, 15 Januari 2018

Lainnya

Krisis Brakodin

Krisis Brakodin

Entah apa yang merasukiku. Maaf ini bukan sedang menyanyi. Tapi ini semacam bentuk keheranan kepada diri sendiri.

Muhammadona Setiawan
Muhammadona S.
Siapa yang Membelenggu Setan?

Siapa yang Membelenggu Setan?

Ba’da sholat Isya’ berjamaah, Pakdhe Dalkeji, Lik Mindzakir, dan Bardan tidak langsung pulang.

Muhammadona Setiawan
Muhammadona S.

Topik