CakNun.com

Gagasan Piagam Maiyah yang Membuat Hati “Plong”

Catatan Majelis Ilmu Padhangmbulan, 2 Januari 2018 (Bagian 1)
Achmad Saifullah Syahid
Waktu baca ± 3 menit

Apa yang terbesit dalam pikiran kita kalau mendengar Piagam Madinah? Dikenal dengan istilah Shahiifatul Madinah atau Konstitusi Madinah merupakan dokumen perjanjian yang lahir dari kepiawaian Rasulullah Muhammad Saw mengharmonisasi suku dan kaum di Yastrib. Perjanjian yang tidak terutama lahir dari tangan kekuasaan Rasulullah, melainkan tumbuh dari “arus bawah” untuk menata kesepakatan hidup bersama.

Begitu rendah hati sikap Rasulullah sehingga beliau cukup menjadi “fasilitator” dan “katalisator” bagi lahirnya perjanjian yang menyatukan manusia. Kita simak, setelah Muqadimah, Bab Pembentukan Umat Pasal 1 menyatakan: “Sesungguhnya mereka satu bangsa, bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.”

Mencermati bab dan pasal Piagam Madinah kita akan berjumpa dengan butiran-butiran silmi: sikap saling menghargai, ngajeni, dan memanusiakan manusia. Perjanjian definitif antar suku dan kaum yang sama sekali tidak garang dan tidak beraroma “takbiiiir…!”.

Lantas apa kaitan itu semua dengan Majelis Ilmu Padhangmbulan? Malam itu, ketika langit malam dihiasi supermoon, telah berkumpul ribuan jamaah di pelataran halaman Padhangmbulan. Langit cerah. Bulan purnama tampil sempurna. Di tangan saya ada tiga lembar kertas: tulisan Tajuk: Merintis Terwujudnya Gagasan Piagam Maiyah, contoh kolom usulan gagasan Piagam Maiyah dan kolom lembar isian gagasan.

Kami bertiga, Mas Amin Bangbangwetan, Mas Hari Telo dan saya sendiri merundingkan alur workshop agar dalam waktu yang terbatas gagasan butiran Piagam Maiyah dari jamaah bisa ditampung secara efektif.

Sesaat kemudian Mbah Nun rawuh. Kami bersalaman. Di panggung Padhangmbulan bapak Abdullah Qoyim darusan membaca  Al-Qur`an. Suasana di teras ndalem kasepuhan hening. Mbah Nun menyimak ayat-ayat yang dibaca. Mata beliau seperti membaca sesuatu.

Terkait dengan workshop mewujudkan gagasan Piagam Maiyah, Mbah Nun menekankan usulan-usulan yang otentik dari jamaah. Boleh tidak sama dengan piagam-piagam lain yang sudah ada, boleh tidak serupa misalnya dengan Anggaran Dasar Rumah Tangga (ADRT) ormas atau yayasan. Pokoknya benar-benar murni dari hati, demikian Mbah Nun menegaskan.

“Gagasan Piagam Maiyah akan memerlukan waktu yang panjang. Tidak langsung sekali jadi. Harus benar-benar matang dan diberangkatkan dari aktualitas pikiran dan hati terdalam jamaah,” saran Mbah Nun. Tentu saja, dan pasti, saya mengamini saran Beliau. Pada tahap awal rintisan Piagam Maiyah harus berlangsung secara alamiah. Murni dari suara hati jamaah.

Pada sesi dialog bersama jamaah Cak Fuad, Mbah Nun dan Kyai Muzammil akan menawarkan cara pandang dan metodologi untuk menakar kembali bobot manfaat-mudarat sebagai manusia. Apa manfaat dan mudarat Maiyah bagi diri kita, keluarga, lingkungan paling dekat hingga Indonesia.

Tugas menjaring gagasan, cikal bakal usulan Piagam Maiyah dari jamaah, benar-benar berat saya rasakan. Usai menyimak saran dari Mbah Nun hati saya jadi tenang. Apa pasal? Workshop yang sebentar lagi akan digelar, sesuai saran Mbah Nun, berjalan secara apa adanya—mengalir dalam keikhlasan dan kegembiraan bersama.

Selain Mas Amin dan Hari Telo, teman-teman Bangbangwetan lainnya siap memandu dan melayani jamaah. Ketika saya membacakan Merintis Terwujudnya Gagasan Piagam Maiyah, jamaah telah duduk melingkar. Satu lingkaran berisi 15-20 orang. Beberapa lingkaran yang lain bahkan terlihat lebih banyak isinya. Di atas panggung dua lingkaran workshop siap beraksi.

Setiap lingkaran memegang tiga lembar kertas seperti yang saya bawa. Lembar terakhir terdapat empat kolom: Nama Pengusul, Peristiwa/Kasus, Sikap Seharusnya, Draft Butir Piagam. Lembar panduan ini sesuai dengan panduan hasil kesepakatan bersama pada Rembug Maiyah yang digelar awal Desember 2017.

Mas Amin naik turun panggung, memandu jamaah. “Teman-teman berdiskusi serius sekali,” bisiknya. “Mungkin sampai pagi workshop ini belum selesai.” Selain itu, berulang kali saya menyampaikan agar empat kolom itu diisi secara disiplin. Tidak langsung njujug pada draft butir piagam, tetapi berangkat dari “peristiwa/kasus” dan dilanjutkan dengan “sikap seharusnya”. Usulan draft piagam yang dituangkan adalah semacam kesimpulan yang disampaikan tidak berupa kata atau istilah, tetapi rangkaian-rangkaian kalimat.

Beberapa kali saya perhatikan jamaah mengikuti alur berpikir itu. Tidak heran apabila usulan draft piagam cukup beragam—sesuai ragam peristiwa atau kasus yang tengah berlangsung atau mereka hadapi sehari-hari. Validitas-aktual usulan butir piagam dari jamaah rasanya tidak diragukan lagi. Saya merasa “plong”. Alhamdulillah. (Achmad Saifullah Syahid)

Lainnya

Topik