Benci yang Berujung

Berawal dari rasa benci dan berujung di sebuah pengharapan akan sebuah nilai tentang kenapa saya hidup dan memberi makna kehidupan. Di awal mengenalnya, dia adalah sosok yang tidak jelas penuh retorika dan khayalan yang bagi saya dahulu is nothing!!! Ditambah pribadi saya yang pemberontak, jangankan cuma pemerintah Tuhan-pun saya gugat. Dan bisa dibilang saya tidak pernah mengenal kultur budaya leluhur sama sekali.

Sekitar empat tahun di medsos saya tidak pernah aktif untuk melihat-lihat isinya. Pada suatu momen tidak sengaja saya melihat foto sosok itu kembali dan ramai di kalangan teman yang mengingatkan akan kelihaiannya dalam berinteraksi dan berujung terbawa mimpi yang sampai sekarang belum terwujud untuk menerima perintah beliau.

Rasa penasaran yang tinggi dan diliputi rasa benci yang tak terjawab, saya beranikan datang ke Kenduri Cinta, itu pun diajak teman junior saya yang mengagumi beliau. “Jangan malu jadi orang Jawa karena Tuhan mengutusmu jadi orang jawa itu spesial…”. Itu kalimat pertama dari beliau yang menampar muka saya dan membalik pemikiran saya tentang leluhur saya yang kebetulan Ibu dan Bapak keturunan Jawa. Saya sempat berpikir nyeleneh, “Spesial opone…”, gumamku.

Triger “Special Opone” itulah yang mengendurkan ego saya, untuk lebih mempelajari sejarah leluhur. Dan melalui sekumpulan paseduluran Maiyah lah saya makin mengenal sejarah leluhur. Bangbang Wetan, Padhangmbulan, Mocopat Syafaat, dan melalui YouTube acara Suluk Maleman dan Juguran Syafaat serta acara-acara Maiyah lainnya. Yang paling dekat dengan aktivitas saya adalah Kenduri Cinta yang dahulu senior saya di dunia fotografi sering menyambangi dan memberikan resume-resume yang sedikit pun tidak saya gubris.

Dari kekacauan batin dan letihnya saya meihat kondisi politik, kebingungan saya akan kelucuan negeri ini, tanpa saya sadari di saat senggang saya buka YouTube. Entah kenapa batin ini selalu ingin mengetik “Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng” hari demi hari. Dan cuma itu yang saya tonton hingga tuntas, dari mulai wacana yang masuk akal sampai kelucuan beliau berkelakar tentang negeri ini dan lainnya. Tapi dalam kelakar beliau itu saya menemukan ilmu-ilmu tersembunyi yang memang banyak pertanyaan-pertanyaan saya tentang semua hal. Kelakar-kelakar beliau dapat membuka pori-pori berpikir saya yang sempat mati rasa.

Sampai detik terakhir saya menulis ini, cuma beliau yang bisa saya dengarkan, pelajari dan jalankan. Bahkan kalau beliau mengizinkan, saya menganggapnya sebagai sosok Guru yang selama ini saya antipati kepada idiom guru, mursyid atau lainnya karena keegoisan pribadi.

Terima kasih Bapak, Mbah atau Cak Nun (Maulana Muhammad Ainun Nadjib). Salam hormat yang sedalam-dalamnya. Maafkan saya yang pernah membencimu yang berujung menjadi cinta yang teramat dalam menemani saya untuk menggapai ridho Allah dan Syafaat Rosulullah.