Belajar Tidak Meng-hanya-kan Manusia kepada Pak Is
“Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah. Irji’ii ilaa rabbiki raadliyatan mardliyyah...,” suara itu bergetar. Ketika ajal telah tiba, tidak bisa ia ditunda atau diakhirkan, juga tidak bisa ia dimajukan atau dipercepat. Maiyah memahami ajal tidak sebatas pada momentum datangnya kematian. Waktu yang mengalir dan bergetar adalah serangkaian ajal demi ajal, mata rantai momentum demi momentum–dalam sepersekian milidetik bahkan lebih lembut, bergerak sedemikian rupa dalam ruang yang ditimang-timang oleh Tangan Kasih Sayang-Nya.
Suara yang bergetar itu memenuhi ruang kalbu kita saat mengantarkan keberangkatan Pak Is. Namun, rangkaian ajal demi ajal membuat suara yang bergetar itu merasuki kesadaran: “Wahai jiwa yang muthmainnah kembalilah kepada Tuhanmu Yang Maha Mengasuh dengan ridlo dan diridloi…,” sejatinya juga berlaku bagi kita yang tengah bernafas di dunia.
Pak Is sudah kembali kepada-Nya. Sedangkan kita harus melakoni detik demi detik, ajal demi ajal. Membaca dan menyadari momentum–apakah setiap titik kesadaran telah mengantar kita kembali kepada Tuhan? Menerima serangkaian takdir dengan ridlo sehingga kita diridloi Tuhan (mardliyyah)?
Membaca manusia Pak Is tidak akan pernah selesai. Meneliti seruling dan bagaimana Pak Is meniupnya bisa melahirkan berlapis-lapis ilmu dan berpuluh-puluh buku. Belum lagi belajar dari manusia Pak Is ketika zaman yang serba miring-miring ini dengan gagah berani mengurung makhluk ahsanu taqwim sebagai “hanya” manusia. Pengakuan diri yang meng-hanya-kan manusia–pada konteks dan nuansa getaran tertentu–adalah ekspresi yang rendah hati, walaupun kadang menyatakan sikap yang sebaliknya.
Manusia kok di-hanya-kan. “Maklum, Mas, saya ‘hanya’ manusia biasa,” merupakan pernyataan yang jamak didengar terutama untuk melangsungkan pembenaran-pembenaran. Manusia seolah-olah boleh atau sah-sah saja melakukan pelanggaran. Baik pelanggaran kecil-kecilan hingga pelanggaran yang sangat menusuk jantung hidup orang banyak. Bagi semua pelanggaran itu ruang gelap untuk bersembunyi adalah kamar bernama saya “hanya” manusia.
Tentu saja memerlakukan manusia sebagai sesosok “hanya” adalah sikap yang sembrono. Gagasan Tuhan menciptakan manusia–melalui segala rangkaian evolusi adegan, mulai dari Nur Muhammad, malaikat yang bersujud, cita-cita menjadikan khalifah, perjanjian alastu birabbikum hingga adegan dramatis Nabi Adam turun ke bumi–cukup dipasangi label “hanya” demi melangsungkan penipuan, perampokan dan sejumlah perilaku tamak lainnya.
Simulasi gugatan bisa kita layangkan, misalnya: apakah otak adalah “hanya” alat untuk berpikir? Jantung yang memompa darah “hanya” segumpal organ sebesar genggaman tangan yang kembang kempis dan berisi urat-urat? Padahal ketika sedang merintih-rintih kesakitan yang sakit “hanya” gigi.
Meng-hanya-kan manusia merupakan produk dari sejumlah kenyataan berpikir yang miring-miring alias tidak seimbang. Akibatnya, praktik penindasan menemukan “momentum” pembenaran karena yang ditindas “hanya” segerombolan makhluk bernama manusia.
Manusia Pak Is adalah antitesis dari semua peng-hanya-an itu. Pak Is tidak meng-hanya-kan manusia sehingga Beliau tidak bisa di-hanya-kan. Pak Is hidup di tengah atmosfer zaman ketika setiap tarikan dan hembusan nafas manusia merapal aji-aji kaya, populer dan berkuasa. Ketiga ajian parameter sukses itu diwiridkan setiap detik oleh sebagian besar manusia, merasuk ke tulang sumsum kesadaran agar mereka tidak dipandang oleh manusia lain sebagai “hanya”.
Yang di-hanya-kan Pak Is adalah apa yang dipuja-puja manusia: kaya, alim, pintar, populer, berkuasa.
Alih-alih memoles pencitraan diri, Pak Is malah khusyuk meniup seruling. Berderma kepada manusia melalui ribuan acara Maiyah di ribuan lokasi bersama ribuan manusia. Sikap bebrayan-nya ramah dan blater. Usai Maiyahan saya menyempatkan bersalaman dengan Beliau. Terlepas dari kopiah hitam yang tinggi dan gaya penampilannya yang nyentrik, perhatian saya selalu ditarik-tarik agar mengamati Beliau. Baru saya tahu ternyata tanggal dan bulan lahir saya sama dengan Beliau.
Manusia Pak Is adalah ayat dari Tuhan yang kalau ditadabburi akan menjadi telaga. Kita berkaca diri di atas permukaan airnya yang bening. Yang tidak pintar, tidak kaya, tidak populer, tidak berkuasa belum tentu hina di mata Tuhan. Parameter kemuliaan tidak bergantung pada simbolisme jasad dan penampilan wadag, melainkan pada rahasia cinta yang bersemayam di hati.[]