CakNun.com

Bani Israil Salah Terkam

Pertengahan tahun 2017 hingga awal 2018 saya diberi banyak pengalaman baru. Utamanya sebagai warga baru di suatu desa yang jika Gusti Allah kehendaki bisa jadi tempat saya mengabdi sekian puluh tahun ke depan. Sekian puluh tahun merantau akhirnya merasa ditanam oleh Gusti Allah. Terasa lebih syahdu bahkan melebihi saat berada di tanah kelahiran. Entah karena pengalaman baru yang di luar nalar maupun pengetahuan yang terasa sangat mendesak untuk terus di-update.

Selama enam bulan belakangan saya menggunakan sumber ilmu dari mana saja untuk jadi amunisi menghadapi masalah-masalah di sekitar rumah. Naik gunung turun lembah dalam kondisi hujan deras dengan kuda besi antara hidup dan mati rela dilakoni. Maiyah kudatangi selama bekal fisik ada, sebab batin memang begitu haus akan ketenteraman. Untung saja pernyataan Mbah Nun di Daur II-300Salah Terkam memberi batasan: “jangan berpikir lurus, linier, flat dan lugu”. Hanya saja nasehat itu kuikuti setelah cara rasional tidak juga mampu hadirkan solusi yang bisa diterapkan.

Semestinya pola pikir tadi diletakkan di depan, tepatnya saat niat terbersit di hati. Tujuannya agar tidak sia-sia buang energi dan waktu untuk coba-coba. Mencari ketepatan karena tidak tahu di mana titik finish berada. Walaupun semuanya serba trial and error, keputusan tetap ada pada Gusti Allah. Mati itu pasti, hidup hanyalah janji. Mbah Nun mengingatkan bahwa:

Sebagaimana sampai beberapa detik sebelum maut, belum akan kita tatap presisi ujung Shirathal Mustaqim, meskipun arah Sabil sudah kita tempuh, koridor Syari’ah sudah kita disiplini, dan Ijtihad Thariqah sudah kita geluti dan kreatifi.”

Perjuangan tidak pernah selesai. Nabi Musa sebelum melarikan diri ke Laut Merah saja harus menempuh banyak tahapan sebelumnya. Ia menempa diri dalam satu naungan yang sama dengan calon Fir’aun musuh bebuyutannya. Ketika ia diberi tugas menjadi mandor pembangunan piramida, barulah ia sadar pada kondisi budak yang tak lain adalah kaum eksodus yang dibawa Nabi Yusuf usai paceklik melanda desa Nabi Ya’qub. Di situlah peristiwa murid Nabi Khidlir ini membunuh pengawas yang orang Mesir lantaran reaksi membela kaum tertindas.

Dalam fase mbambung itulah Allah membuat pria berambut ikal ini menjadi penggembala kambing. Dari tadinya diperlakukan bak pangeran di pusat Kerajaan Mesir yang mempelajari berbagai pengetahuan termutakhir, lalu harus mempraktekkan ilmu-ilmu itu di padang gersang. Ketika dirasa cukup, di Bukit Tursina ia menerima perintah Gusti Allah. Kembalilah ia ke Mesir untuk bebaskan kaumnya. Diawali dengan menggunakan logika yang memang spesialisasi anak keturunan Nabi Yusuf ini, segala strategi sudah rapi di pikiran. Nyatanya, pada awalnya ia ditentang para pembesar Bani Israil. Ia berada pada posisi “Kita adalah orang-orang bodoh yang menyingkir dari orang-orang pandai”.

Lantas ia ditemani saudara kandung, Harun yang lembut hati, menemui Ramses II, Fir’aun yang sedari kecil jadi teman sepermainan Musa. Dengan mengedepankan negosiasi sama-sama senang dan menang, ia beri tenggat waktu saudara angkatnya untuk bebaskan budak-budak Bani Israil. Usai ditolak mentah, barulah pembelah Laut Merah ini menyerahkan kuasa pada Gusti Allah. Dimulailah hal-hal tidak masuk akal menimpa sepanjang Sungai Nil. “Tetapi dalam posisi seperti itu pun kita masih menghibur mereka dan bersikap bijaksana: dengan informasi ‘salah terkam’”. Saat anak laki-laki sulung bangsawan termasuk sang Fir’aun mati, Musa datang menghibur dan mendesak untuk penuhi permintaan Musa. Ia ingatkan bahwa untuk “…jangan coba-coba menerkam atau merayu”.

“Kita sudah hapal peta, strategi,… untuk kita antisipasi atau runtuhkan. Tetapi kita takut kepada kemudlaratan massal dan terikat oleh amrullah.” Alasan itu yang buat Musa seolah menahan cara Allah bekerja seperti yang pernah Ia lakukan pada kaum-kaum pembangkang. Entah menenggelamkan dengan badai pasir, banjir lava, sampai tsunami yang hanya sisakan penumpang kapal Nuh saja. Ketika sabil, syari’ah, dan thariqat yang ditempuh Musa menemui jalan buntu, barulah ia menyaksikan sendiri bagaimana Allah meruntuhkan penguasa dunia tengah yang ribuan tahun menjajah negeri-negeri di sekitarnya ini.

Akhirnya jutaan keturunan Ishak itu mampu lolos dari kejaran rezim pengagung infrastruktur raksasa. Ditinggal sebentar untuk mencari petunjuk Allah, titipkan umat pada Harun, berbuah Samiri yang hidupkan patung sapi emas barang sebentar. Berkah tanah bekas pijakan Malaikat Jibril saat membelah Laut Merah justru berbuah dosa terbesar agama tauhid, menyekutukan keesan-Nya. Tahu bahwa memukul kepala Harun sia-sia, sang nabi mengancam umatnya akan hukuman Allah. Maqbul, pengungsi ini tersesat selama 40 tahun di gurun pasir saat tengah ‘on the way‘ ke Yerussalem.

Tak heran gelar Bani Israil ditimpakan pada keturunan Nabi Ibrahim via Ishak ini. Para pejalan malam yang seringkali keras kepala, bahkan zaman kemudian membunuh nabi-nabi. Masih saja kembali melakukan dosa-dosa yang sebenarnya sangat sederhana, tersusun dalam 10 kalimat saja. Bayangkan posisi Nabi Musa yang kemudian wafat di tengah lontang-lantung di gurun pasir ini. Ia sudah mengajak, mengingatkan, menemani, tapi tetap tidak dianggap umatnya. Tak ubahnya Maiyah. Tak heran Mbah Nun menuliskan “Allah meletakkan kita di sudut kegelapan, di lorong keremangan, di jalan sunyi”.

Semoga saya “salah terkam” dengan maksud Daur yang Mbah Nun tulis. Jika saya mengambil Musa sebagai konteks jalan sunyi, yang ‘sad ending‘, semoga maksud Mbah Nun adalah Kanjeng Nabi Muhammad Saw yang ‘happy ending‘ via Peradaban Madaniyah. Semua sudah kita miliki untuk bekal perubahan, baik cara halus maupun kasar, tapi untuk skala masifnya tetap ada di Kekuasaan Gusti Allah. Jika memang sudah waktunya, jangankan menjadi kapak Ibrahim, jadi semut pemadam api Namrud saja kami ikhlas.

Lainnya

Trending… Ooh Trending….

Trending… Ooh Trending….

“Manusia dibekali akal dan diperintah untuk mencerdasi dan mengijtihadi kehidupan, tetapi ada batas pengetahuan dan ilmu yang ia tak mungkin menguaknya.” – Mbah Nun, IT Jannati – DAUR-156

Sebuah pesan masuk melalui aplikasi WhatsApp, seorang teman menyapa; “Bro, sedang mantau trending topic di Twitter?”.

Menampung Ilmu

Menampung Ilmu

Pertama kali saya pikir Daur II-317 – Tanah Liat Tiga Gunung adalah petunjuk keras untuk para penulis agar segera menuliskan ilmu-ilmu yang telah puluhan tahun Simbah kucurkan untuk anak-cucu.