CakNun.com

Yang Muda Yang Bersilaturahmi

Catatan Maiyahan Juguran Syafaat, Purwokerto 11 Maret 2017
Juguran Syafaat
Waktu baca ± 3 menit

Masa muda adalah masa yang berapi-api. Demikian ditulis seorang legenda hidup musik perdangdutan Nusantara, Rhoma Irama. Rhoma menangkap fenomena ini dan kemudian dituliskan pada sebuah lirik lagu yang masih enak didengar hingga kini, padahal lagu itu ditulisnya tahun 1977. Tentu dengan alasan tertentu beliau menuliskannya.

Bung Karno sendiri semasa hidupnya menyebutkan berkali-kali, “Beri aku sepuluh pemuda maka akan kuguncang dunia.” Sebuah jargon spektakuler di zamannya dan masih diingat sampai kini, menangkap semangat muda yang menyala untuk berjuang berdikari bersama.

Yang Muda Yang Bersilaturahmi

Dan mungkin inilah yang sebagian manusia muda Purwokerto lakukan kemarin. Saat ketika mungkin beberapa kawannya asyik menikmati kopi di sebuah café sosialita dan bercas-cis-cus tanpa arah, atau terjebak di sebuah kegiatan luar outdoor tak penting, beberapa pemuda khusyuk berkumpul, bersilaturahmi rutin bulanan dalam sebuah forum bernama Juguran Syafaat.

Forum ini memang tidak setua forum-forum kakak dan orang tuanya seperti Mocopat Syafaat, Gambang Syafaat, Bangbang Wetan, Kenduri Cinta atau PadhangmBulan, tapi bentuk kemandirian dan semangat mudanya terus-menerus dilatih setiap bulannya. Forum yang menginjak usia edisi ke 47 ini, yang berarti bulan depan berumur 4 tahun, mencoba menjadi oase di tengah zaman yang mulai menua. Rutinan ini diselenggarakan rapi dan mengalir setiap Sabtu akhir pekan kedua di Pendopo Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas.

Potret kepemudaan tidak hanya tampak sekadar pada penggiat penyelenggaranya saja, namun juga pada mereka yang turut hadir mengikuti forum hingga akhir acara. Banyak sekali perwakilan komunitas-komunitas yang ikut termagnet dalam ajang Juguran Syafaat ini, beberapa diantaranya dari organisasi mahasiswa, komunitas jelajah alam hingga komunitas musik. Tentu banyak juga mereka yang tidak mewakili instistusi, dan hanyalah mewakili pribadi saja.

Dan bertambah elok, ketika yang dibahas sebagai tema kali ini adalah “Revolusi Silaturahmi”. Tema ini tergagas dari sebuah keprihatinan akan kondisi manusia modern saat ini, yang betah berlama-lama diskusi dengan media gadget dengan berbagai aplikasi percakapan, tapi malas bertemu tatap muka. Dan ini bagi kaum muda saat ini sudah ditahbiskan menjadi sebuah silaturahmi. Sebuah potret dekadensi zaman yang terlihat sekarang. Fenomena yang sangat diresahkan oleh orang tua saat ini.

Juguran Syafaat 11 Maret 2017

“Kita sehari dua hari ditinggal istri kuat, tetapi ketingggalan handphone 2 jam rasanya sudah tidak karuan”, ujar Agus Sukoco sebagai awalan. Agus memotret bahwa ada kenikmatan kultural yang hilang ketika teknologi informasi berkembang dan dijadikan sarana  berkomunikasi. Padahal, orang tua kita dahulu mewarisi tradisi tahlilan dan kenduren sebagai upaya silaturahmi yang sangat efektif. Bahkan peribahasa Jawa kuno “Mangan ora mangan asal kumpul”, adalah bentuk pernyataan bahwa silaturahmi itu lebih primer daripada perihal ekonomi. Sebuah paradigma yang nyatanya sudah dilupakan oleh generasi muda sekarang.

Di sela-sela diskusi yang padat, mereka dihibur oleh kelompok musik sederhana yaitu KAJ, yang lagi-lagi digawangi oleh pemuda-pemuda. Dengan nomor yang masa kini dan enak didengar, bisa mengistirahatkan pikiran yang sedari tadi dipaksa turut kencang bekerja mengelaborasikan tema bersama.

Yang menarik lagi adalah hadirnya Titut Edi, manusia langka asli Banyumas ini adalah bintang tamu yang tampaknya harus wajib hadir selama Juguran Syafaat terselenggara. Meski beberapa waktu terakhir tidak hadir dikarenakan aktivitas utamanya berkesenian, hari ini beliau hadir penuh tenaga dan guyonan-guyonan segar. Keotentikan dirinya dalam berbicara di khalayak umum, dalam bahasa Banyumasan yang eksotik, gestur tubuh khas orang teater dan guyonan lawas yang sangat unik dan gayeng. Kali ini Titut ikut menuturkan pengalamannya bahwa dirinya sebagai petani setiap hari selalu bersilaturahmi dengan tanah, air, dan tanaman sebagai bentuk perwujudan rasa sayangnya kepada alam yang memberikan dia dan keluarganya kehidupan.

Juguran Syafaat 11 Maret 2017

Tampaknya Maiyah memang menjadi wadah kerinduan akan kegiatan-kegiatan kultural dahulu. Jika mungkin para pemuda ini tidak mendapati hal-hal seperti berkumpul saling bersilaturahmi dan gendu-gendu rasa pada lingkungan sekitarnya, setidaknya forum Maiyah seperti Juguran Syafaat diharapkan bisa menampung itu semua.

Jika media sosial berkembang begitu pesatnya, yang bagi anak muda sekarang menjadi sebuah metode silaturahmi, maka yang hadir di sini mencoba untuk menaikkan sedikit derajat silaturahmi. Bahwa media sosial hanyalah bentuk pintu menuju silaturahmi yang hakiki, yaitu saling kunjung tatap muka. Bagaimanapun, tulisan tidak bisa merekam semuanya, mimik muka, gestur tubuh, salam-salaman dan transfer energi kebahagiaan.

Mereka yang datang merindukan sekali kesejatian. Terpancar jelas di wajahnya. Para pencari cahaya kebaikan. Ikhlas berdiam diri, menyimak jalannya diskusi hingga pukul 2 dini hari. Meski tanpa ada kesimpulan bersama, tapi pada dasarnya mereka menyimpan kesimpulan sendiri masing-masing. Dan mengendapkannya untuk kemudian bisa digali lagi lain waktu. Hikmah dalam setiap pertemuan yang selalu coba mereka dapat. Kegembiraan. Kebersamaan. Beberapa menjadi jalan rezeki bahkan jodoh. Saling mengunduh ilmu-ilmu langit. Mereka adalah yang muda, yang bersilaturahmi. (Hilmy Nugraha)

Lainnya

Ziarah di Makam Syaikhona Kholil

Ziarah di Makam Syaikhona Kholil

Sebelum acara Sinau Bareng di Pondok Pesantren Ibnu Kholil di Bangkalan Madura malam ini (Minggu, 31 Maret 2019) dalam rangka memeringati haul KH.

Helmi Mustofa
Helmi Mustofa

Topik