CakNun.com

Usia ‘Panen’ dan Ragam Fakultas Ilmu di Universalitas Maiyah

Liputan Singkat 11 Tahun Bangbang Wetan, Surabaya 7 September 2017

Semalam bertempat di halaman studio TVRI Jawa Timur Surabaya, berlangsung majelis ilmu Bangbang Wetan (BBW) edisi spesial ulang tahun BBW ke-11. Acara berlangsung asik, meriah, dan penuh antusiasme jamaah. Hal yang membuat mongkoq khususnya bagi teman-teman penggiat BBW.

Foto: Adin.

Betapa tidak! Seluruh Marja Maiyah hadir di Sebelas Tahun Bangbang Wetan semalam. Mbah Nun, Cak Fuad, Syeh Nurshomad Kamba, Kyai Muzzammil, Mas Sabrang, Kiai Kanjeng dan Mbak Novia Kolopaking. Juga kehadiran teman-teman penggiat dari berbagai simpul Jamaah Maiyah dari daerah-daerah lain. Kemeriahan malam tadi pun tidak sekadar seremonial peringatan tahunan pertambahan usia, melainkan pendalaman pengetahuan di majelis ilmu Maiyahan seperti yang dirutinkan setiap bulannya.

Satu yang bisa dicatat terlebih dahulu. Dalam kesempatan Maiyahan belakangan ini, Mbah Nun kerap melontarkan tawaran sesi workshop kepada jamaah. Termasuk di Maiyahan edisi spesial 11 Tahun BBW, di tengah berjalannya acara, Mbah Nun mengajak seluruh jamaah untuk ber-workshop bersama-sama.

Workshop dalam artian membahas sebuah topik berupa komprehensi ilmu tertentu secara metodologis dan saintifik. Yang diworkshopkan kali ini adalah identifikasi ilmu Maiyah menurut jangka usia ‘panen’ ilmunya. Untuk ini, Mbah Nun menggunakan analogi rumput, pohon mangga, dan pohon jati. “Kalau baru Maiyahan sehari, jangan buru-buru ingin membuat rumah dari kayu jati,” demikian Mbah Nun menyampaikan.

Lebih lanjut kemudian Jamaah diajak terlibat untuk mengidentifikasi fakultas-fakultas yang ada di dalam universalitas pembelajaran Maiyah. Dari para jamaah itu di antarannya didapati: Maiyah dan Tauhid, Maiyah dan Kemerdekaan, Maiyah dan Kepenasaran Atas Ilmu, Maiyah dan Musik, Maiyah dan Kesehatan, Maiyah dan Pancasila, serta ada banyak lagi lainnya.

Workshop di tengah Maiyahan pun berlangsung dengan begitu hidup. Jamaah benar-benar antusias. Hal itu terlihat dari respons-respons yang diberikan, juga dari cara duduk dan menatap panggung yang mayoritas begitu stabil tidak ‘pating klosod‘.

Yang menjadi unik, pemandangan antusiasme ber-workshop semacam ini tidak berlangsung di ballroom hotel mewah ber-AC, tetapi di halaman gedung perkantoran. Alas duduk dan konsumsi diusahakan sendiri dan ini berlangsung hingga lewat tengah malam pula.

Surga, Taman, dan Kebun

Selain melalui workshop, pintu bahasan malam ini dibuka melalui ayat Udkhulu fis silmi Kaaffah. Mbah Nun menanyakan kepada jamaah, apakah mungkin kita semua masuk surga secara bersama-sama (kaffah)?

Foto: Adin.

Di dalam keadaan dunia yang serba berbeda dan terpecah ini, mencapai kesamaan langkah dalam kebenaran merupakan hal yang sulit. Dunia terdiri atas bermacam-macam suku, bangsa, dan negara. Di dalam Agama Islam sendiri terdapat banyak golongan dan aliran. Jika seperti itu siapa atau kaum manakah yang masuk surga dengan bersama-sama?  Sementara kondisi di luar diri kita lebih banyak yang mensponsori jalan ke neraka.

Dalam lingkup terkecil, kita perlu menemukan kemerdekaan diri. Karena penting memerdekakan diri terlebih dahulu untuk membantu mewujudkan kemerdekaan bersama. Merdeka yang dimaksud adalah bebas dari keinginan ketika belum bisa tercapai. Ketika dalam takaran individu sudah bebas dari kegalauan keinginan maka kita bisa menemukan keaslian atau substansi berbagai hal.

Lebih lanjut, kemudian Mbah Nun mengajak jamaah untuk mengupas lebih tajam ihwal substansi dan metodologi. “Menurut anda, orang modern melihat alam itu sebagai apa?,” tanya beliau. Jamaah lantas menjawab: sebagai alat.

Di Jawa, alam biasa diperlakukan sebagai sesama manusia. Dihormati keberadaannya sebagaimana manusia seyogyanya memperlakukan sesama. Di dalam Islam, alam diperlakukan sebagai saudara tua karena ia sudah ada lebih dahulu dari manusia. Alam sering dijadikan analogi terbaik untuk belajar kehidupan dan kebijaksanaan.

Jika manusia diibaratkan pohon, ia bisa tumbuh di hutan, di kebun, atau di taman. Hutan adalah tempat segala sesuatu tumbuh begitu saja secara liar. Sementara kebun adalah ketika tumbuhnya sesuatu itu perlu dirawat dan diusahakan sedemikian rupa sehingga menghasilkan kebermanfaatan, dan  taman adalah ketika pohon itu sudah otomatis tinggal dinikmati fungsinya.

Perhatikan kini bahwa Surga (Jannah) dalam bahasa Arab memiliki kedekatan arti kata dengan ‘taman’. Sebab, di sana semua tidak lagi harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan di dalam Maiyah, perjuangan menanam dan merawat pohon lebih dekat analoginya dengan kebun. Selayaknya pohon jati, kita butuh waktu lama untuk benar-benar bermanfaat sesuai fungsi optimalnya. Di sini, jamaah dipandu Mbah Nun untuk melihat tahapan Maiyah secara umum maupun tahapan Maiyah pada diri masing-masing Jamaah.

Beberapa tahap kemudian, Mbah Nun mengajak jamaah untuk menyebut apa saja yang bisa dikaitkan dengan Maiyah dan mengibaratkan bahasan-bahasan tersebut menjadi sebuah ‘Fakultas’. Seperti tersebut di awal, banyak sekali yang dikemukakan jamaah dari ujung ke ujung. Ada sekitar 53 fakultas. Dan dari sekian banyaj fakultas itu terlihat betapa luas nilai-nilai Maiyah mencakup semua yang terlibat di kehidupan kita sehari-hari.

Workshop dan beberapa pembahasan oleh Mbah Nun disambung dengan jeda beberapa nomor lagu dari Ibu Novia Kolopaking bersama KiaiKanjeng. Persembahan yang sangat dirasakan, khususnya bagi teman-teman BBW,  sebagai hadiah istimewa. Kehadiran Bu Via menambah kekayaan rasa di tengah-tengah acara BBW edisi spesial ultah ke-11.

Maiyah Tempat Menarik Bagi Transformasi

Kekayaan fakultas di dalam Universalitas Maiyah itu sendiri yang telah disadari dan dipahami Jamaah lalu diperlengkap oleh pandangan Syaikh Kamba. Menurut Syaikh Kamba, Maiyah adalah way of life. “Di sini semua diajarkan untuk jujur pada diri sendiri. Selalu bertransformasi, mengusahakan untuk menjadi yang lebih baik dari tidak baik,” papar Syaikh Kamba.

Foto: Adin.

Kata kunci transformasi ini memantik Mbah Nun untuk merespons dan mengelaborasi lebih dalam. Tentang transformasi ini, Mbah Nun mengatakan “Hidup adalah merohanikan diri.”

Sejak lama kita terbiasa berpikir dikotomis. Memahami sesuatu sekaligus mempertentangkannya dengan hal lain.  Materi diperlawankan dengan yang Spiritual. Dioposisibinerkan dalam kotak sempit salah-benar. Bukan dilihat dalam spektrum, gradasi, atau dalam bahasa belakangan Mbah Nun adalah gelembung. Transformasi berpikir diperlukan agar kita lebih memahami yang sejati dan semakin dekat dengan Tauhid. “Hidup ini tidak ada pilihan lain kecuali Tauhid,” jelas Mbah Nun.

Roh nguntal (menelan) jasad. Kalimat ini dikatakan Mbah Nun untuk mengungkapkan bahwa manusia perlu melepaskan diri dari sifat jasadiah (benda). Keterlepasan diri dari kebendaan ini berarti tidak terikat oleh kepentingan duniawi. Dari sudut itu, Mbah Nun mengatakan, “Maiyah ini meringankan.”

Di tengah keadaan yang serba materi ini susah bagi kita berharap pada manusia. Sementara saat ini kebanyakan manusia memiliki orientasi duniawi, bahkan tuhan dijasadkan menjadi berhala-berhala. Dengan demikian, tidak ada satu pun manusia yang mampu diharapkan, dan hanya bisa berharap kepada Allah saja:  Wa ilaa robbika farghab.

Perihal transformasi juga dibahas lebih meluas oleh Mas Sabrang. Transformasi berpikir diperlukan untuk memperkecil bias pengetahuan manusia. Jika digambarkan secara ilustratif sebagai piramida, Tauhid terletak di ujung runcing paling atas. Sementara semakin ke bawah, semakin banyak ekspresi pemahaman manusia.

Perbedaan persepsi yang ditemui oleh manusia selama hidup dipengaruhi oleh batasan kemampuan berpikirnya. Kadang, informasi yang tidak lengkap atau perbedaan pemahaman memicu timbulnya perdebatan. Di sini transformasi perlu dilakukan sebagai penyesuaian koordinat kebenaran pada berbagai keadaan dan dari waktu ke waktu.

Kita harus siap ketika kebenaran yang saat ini kita pegang suatu saat berubah dan menemui kebenaran yang baru. Maiyah adalah tempat menarik bagi transformasi, karena di sini kita terbiasa menyerap semua bias. Dan dihubungkan dengan tauhid, Mas Sabrang berpendapat, “Tidak bisa kita mencapai tauhid jika kita masih terjebak berpikir bias.”

Itulah beberapa petikan dari BBW semalam. Masih terdapat banyak mutiara yang dikemukakan baik oleh para narasumber maupun jamaah atau munculan-munculan fenomenal lainnya. Semuanya berpadu menjelma keindahan dan kekhidmatan ultah BBW ke-11. (Viha/Rizki/HM)

Lainnya