CakNun.com
Daur-II242

Tidak Percaya Diri Terhadap Al-Qur`an

Kebanyakan Kaum Muslimin hari ini, entah karena atmosfer pendidikan keIslaman yang bagaimana: semakin tidak “merasa memiliki” Al-Qur`an secara langsung dan otentik pada dirinya masing-masing maupun bersama-sama sebagai Ummat. Mereka tidak berada dalam hubungan primer dengan Kitab Suci yang mereka yakini.

Hak mereka atas Al-Qur`an diwakili atau diwakilkan oleh dan kepada sebagian sangat kecil orang-orang di antara mereka, yang disebut Ulama. Mereka bisa langsung bersentuhan dan menikmati Al-Qur`an, tetapi sebatas untuk membacanya, bukan untuk memaknainya. Mereka seperti tidak punya tugas untuk memaknai. Bagian mereka adalah membacanya. Puncak prestasi Ummat Islam adalah menghafalkan Al-Qur`an.

Kata pertama “Iqra`” mandek. Berlangsung stagnasi pemaknaan atas kata itu. Karena pendidikan yang melatih mereka di Sekolah maupun pengajian adalah “membaca” berdasarkan wacana dari sekolah-sekolah itu. Banyak di antara mereka menyatakan keheranannya kenapa ketika diwahyui “Iqra`” Muhammad hanya menjawab “ma ana biqari`[1] (HR.Bukhari —Jawaban Nabi Muhammad tiga kali atas perintah Iqra`dari Allah yang disampaikan oleh Jibril). Aku bukan orang yang bisa membaca. Bahkan diartikan secara lebih wantah kepada mereka: “Aku buta huruf”.

Sampai tiga kali beliau Baginda Muhammad merespon Malaikat Jibril dengan menyatakan “ma ana biqari`”. Terjemahan harafiah menjadi “aku buta huruf” menjadi tembok kemandekan atau pembuntu ghirrah ijtihad. Paling jauh dieksplorasi dengan pemaknaan “yang dimaksud membaca bukan hanya atas huruf, kata, kalimat, teks, buku, wacana-wacana. Tetapi maksudnya membaca kehidupan secara keseluruhan.

Padahal beliau sangat berpengalaman hidupnya. Sangat tinggi jam terbang interaksi sosialnya, sehingga dilatih oleh masyarakat sebagai Sarjana Al-Amin. Di hadapan Jibril, sehingga konteks dan proporsinya adalah juga di hadapan Allah: seluruh pengalaman Muhammad Al-Amin itu “masih segumpal darah”.

Lainnya

Sastra Yang Membebaskan: Sebuah Pengantar

Sastra Yang Membebaskan: Sebuah Pengantar

Buku ini disusun tidak dengan berangkat dari teknik pembaganan atau sistematisasi permasalahan, melainkan merupakan rangkuman suatu konteks yang tak berbeda, serta diusahakan antara satu tulisan dengan lainnya memiliki alur.