Terbang Tinggi Indonesiaku
Bagaimana ini. Tak saling paham satu sama lain. Indonesia berlari amat cepat, sedangkan aku terseok-seok di belakang ekornya. Bahkan Indonesia sedang terbang amat tinggi mengarungi masa depan, melompati pagar-pagar cakrawala.
Sementara kakiku terantuk-antuk batu, kaki kanan dan kiriku terus-menerus saling menyerimpung satu sama lain. Pesawat tol udara Indonesia membalapku tak alang kepalang. Melintas-lintas, menembus seribu cakrawala, sementara aku terpuruk di kotak kekerdilanku sendiri.
Semakin tua renta semakin tak terkejar laju Indonesia olehku. Terlalu banyak yang aku tak paham dan tak mampu. Aku minta tolong anakku: “Nak, kasih aku sepuluh kata yang paling kunci untuk mengejar laju kurun milenial ini”.
Anakku mengirim sepuluh kata: “block chain”, “cryptocurrency”, “artificial intelligence”, “big data”, “hyperloop”, “post-truth politic”, “black-hole collision”, “stem cell”, “red ocean, blue ocean”, “patreon”…
Lhadalah. Ciker bungker matek mlungker bagaimana mungkin aku paham itu. Melesat amat jauh Garuda Milenial Airways. Terbang teramat tinggi Indonesiaku. Ya kemantapan hidupnya. Ya daya juangnya. Ya keyakinannya. Ya ilmunya. Ya utangnya. Ya takhayul dan khurafatnya.
Sungguh Iblis menyusahkan hidupku. Siapa yang bisa kusalahkan, kalau bukan Iblis demit dimemonon lengèng. Yuwaswisu fi shuduri. Aku mati ngenes meratapi perkara akal sehat, kedaulatan, kepribadian, ketepatan cita-cita dan formula penyelesaian masalah – Iblis menjebakku: ternyata bukan itu perkaranya.
Di masa muda dengan sombong kutulis puisi “Dunia sudah habis bagiku. Tak ada yang melezatkanku. Ruang dan waktu hanya menipu. Hidup mati menjebakku...”. Sekarang terbalik: “Kau sudah habis bagi dunia. Baginya kau tiada. Ruang dan waktu bukan untukmu. Mati menjebak hidupmu...”
Inilah aku, Ahmaq, anak didik Iblis. Otakku “bluluk“. Yakni buah kelapa ketika masih berupa semacam calon-buah. Seperti bongkahan kecil. Belum ada detail struktur dan pembagian fungsi. Komponen-komponennya belum jadi. Setiap unsurnya masih “gejala”. Potensialitas pun belum. Jadi sebenarnya entah aku harus hidup berapa kali lagi untuk menempuh pembelajaran dan pengalaman lagi agar “menjadi” dan “berfungsi”.
Berbeda dengan “cengkir“, yang sudah ada beda antara kulit luar dengan sabutnya, meskipun kulit “bathok“-nya belum jadi bener. Juga belum ada “krambil” atau “daging” kelapa yang bisa diparut dan menghasilkan santan dan ampas. Ketika evolusinya sampai ke “degan“, airnya sudah nikmat diminum, tapi tetap masih belum bisa memproduksi santan.
Sebagai manusia “otak bluluk” pastilah aku kagum dan cemburu kepada Indonesia yang ber-“otak kelapa”. Semua cerdik pandai di dunia, yang terdidik dan beradab, tentu mampu mensimulasikan sendiri betapa dahsyat dan “sempurna”-nya otak kelapa Indonesia.
Inilah aku. Ahmaq. Tak bisa kutemukan gradasi, koridor, jarak konteks, ketidakpersisan satuan atau bias dan kerancuan – antara berbagai hal yang tampaknya sama di dalam praktik kehidupan. Umpamanya antara identitas dengan personalitas. Aku tidak punya naluri analitik untuk membedakan antara aku-manusia dengan aku-status-sosial, aku-suami, aku-bapak, aku-warga negara, dan kompleks aku-aku lainnya, yang tidak sederhana.
Kabur di penglihatanku aku-individu dan aku-sosial. Aku-makhluk dengan aku-Khalifah. Aku-alam dengan aku-nasib. Aku-pejuang dengan aku-takdir. Aku otentik dengan aku profesi. Aku-makhluk dengan aku-hamba. Atau antara aku-bumi dengan aku-langit. Aku-pangkat dengan aku-derajat. Aku-profesi dengan aku-aktualisasi. Aku-ingin dengan aku-butuh. Aku-amanah dengan aku-ambisi. Aku-cinta dengan aku-mencintai.
Inilah aku. Ahmaq Sarjana Utama. Tidak bisa menemukan jarak antara partai PKI dengan orang PKI. Antara PKI Indonesia dengan Partai Komunis Dunia. Antara aktivis komunisme dengan anggota BTI. Antara keluarga PKI dengan ideolog PKI. Serta berbagai “sama tapi tidak sebangun” lainnya.
Sebagaimana aku juga susah memilah antara Islam dengan Arab, Arab dengan Saudi, Saudi dengan Wahabi, Wahabi dengan Takfiry. Bahkan antara Quraisy dengan Badwy, termasuk antara kostum Nabi Muhammad dengan pakaian Abu Jahal. Atau antara Raja dengan Lembaga Kerajaan, Ratu dengan Nilai Keraton, Keraton sebagai Pusaka dengan Keraton sebagai benda, Keraton sebagai sejarah dengan Keraton sebagai komoditas. Kusandang pisau di pinggangku sebagai pusaka, kupakai keris untuk mengirisi bawang.
Inilah aku. Profesor Doktor Ahmaq. Aku tidak bisa melihat perbedaan prinsipil antara Pemerintah dengan Negara. Tak mengerti pilah antara Keluarga dengan Rumah Tangga. Tidak mengerti tata kewajiban dan hak antara Aparat Sipil Negara dengan petugas Pemerintahan atau bawahan pejabat. Antara kas Pemerintah dengan kas Negara. Antara Bendahara dengan Kasir. Antara Lembaga Negara dengan perangkat Pemerintahan. Juga level dan skala otoritas antara pengabdi permanen hingga pensiun dengan tenaga outsourcing lima tahunan.
Indonesia berlari amat cepat, sedangkan aku terseok-seok di belakang ekornya. Bahkan Indonesia sedang terbang amat tinggi mengarungi masa depan, melompati pagar-pagar cakrawala. Di satu koordinat angkasa aku berpapasan dengan Indonesia. Aku bertanya: “Globalisasi?”. Ia menjawab: “Nggak ah, globalisasi kok”. Aku mengangguk-anggukkan kepala: “O, kupikir globalisasi”.
Yogya, 29 September 2017